Tajuk Utama

Simbol Kebebasan

Komandan Angkatan Darat A.S. di Jepang membagikan bagaimana penyelamatan keluarganya dari Saigon memicu keinginannya untuk melayani

Mayor Jenderal Viet Xuan Luong

Peristiwa dan gambaran pada 30 April 1975, tetap segar dalam benak Mayor Jenderal Viet Xuan Luong. Buku-buku sejarah menyebutkan tanggal itu sebagai jatuhnya Saigon, hari ketika Komunis Vietnam Utara dan Viet Cong merebut ibu kota Vietnam Selatan, memaksa Vietnam Selatan untuk menyerah, dan mengakhiri Perang Vietnam. 

Bagi Luong, komandan Angkatan Darat A.S. di Jepang, tanggal itu selamanya akan dikenal sebagai hari ketika hidupnya dan hidup keluarganya berubah selamanya. Pada tanggal itulah Luong yang berusia 9 tahun dan keluarganya menemukan diri mereka berada dalam situasi yang sepertinya sudah tidak memiliki harapan di bandara Tan Son Nhut, Saigon. Pada saat teman-teman Amerika dari ayah Luong, seorang perwira infanteri Marinir Vietnam, telah berhasil membantu mendapatkan dokumen yang diperlukan keluarganya untuk meninggalkan negara itu, bandara itu telah ditutup.

“Kami pikir kami sudah ditakdirkan untuk mati,” kenang Luong pada Desember 2018 saat wawancara dengan History Channel Jepang dan FORUM di Yama Sakura, latihan bilateral tahunan antara Jepang dan Amerika Serikat. “Kami dibombardir tidak hanya dengan serangan udara dan pengeboman pesawat terbang, tetapi juga dengan tembakan artileri dan mortir. Kami kira kami pasti akan menemui ajal.”

Tanpa diketahui keluarga Luong, Operasi Frequent Wind sedang berlangsung. Operasi yang dipimpin A.S. itu merupakan evakuasi helikopter terbesar dalam sejarah. Dalam waktu kurang dari 24 jam, 81 helikopter menyelamatkan lebih dari 1.000 warga Amerika dan hampir 6.000 warga Vietnam ke kapal induk di lepas pantai Vietnam, demikian menurut History.com.

Keluarga Luong termasuk di antara mereka yang diangkut ke USS Hancock.

Luong mengingat “dengan sangat jelas” saat mendarat di kapal induk itu. Luong mengatakan bahwa kebanyakan orang mengira mereka telah dibawa ke suatu pulau di lepas pantai Vietnam karena kapal itu sangat besar.

“Saya menarik-narik baju ayah saya, dan saya mengatakan, ‘Di mana kita berada?’” kenang Luong, mencoba menahan air mata ketika tetesan air matanya mulai jatuh ke pipinya. “Dan ayah saya mengatakan, ‘Nak, kamu berada di atas USS Hancock, kapal induk dari Armada ke-7.’”

“Dan karena masih kanak-kanak, saya tidak tahu apa artinya itu. Saya bertanya kepada ayah saya, ‘Apa artinya?’’” Ayah Luong menatap putranya dan menjawab: “Itu artinya tidak ada apa pun di dunia ini yang dapat membahayakan dirimu sekarang.”

“Kisah itu mungkin tampak agak dibuat-buat, tetapi saya tahu berdasarkan pengalaman saya saat itu bahwa saya akan membalas utang budi terhadap negara kita, dan saya tahu saya akan bergabung di militer agar mampu melunasi utang budi itu,” tutur Luong. “Saya mencintai apa yang saya lakukan. Saya terus melayani setiap hari dan melakukan yang terbaik yang saya bisa, dan saya mengakui bahwa saya ini semacam simbol dari siapa diri kita sebagai suatu bangsa dalam hal harga kebebasan, dalam hal konsep tugas, dalam hal harus melangkah maju untuk melakukan apa yang kita lakukan.”

Dia mengambil alih komando Angkatan Darat A.S. di Jepang (U.S. Army Japan – USARJ) pada Agustus 2018, setelah menjabat sebagai wakil komandan jenderal bidang operasional di Angkatan Darat Kedelapan di Korea Selatan. Sebagai komandan USARJ, dia bertanggung jawab atas 2.500 Prajurit, warga sipil, dan anggota keluarga di 16 instalasi di Jepang daratan dan Okinawa.

Luong memuji Pasukan Bela Diri Darat Jepang (Japan Ground Self-Defense Force – JGSDF) atas profesionalismenya serta Prajurit dan alutsistanya yang luar biasa. Latihan-latihan seperti Yama Sakura menekankan kekuatan hubungan dekat yang sudah lama dimiliki Amerika Serikat dengan Jepang dan JGSDF.

“Kami berkomitmen penuh terhadap pertahanan Jepang,” ucap Luong. “Kami tidak hanya terikat oleh perjanjian, tetapi juga oleh kehadiran kami di sini selama lebih dari 70 tahun. Kami memiliki hubungan militer ke militer yang luar biasa, tetapi yang lebih penting, kedua negara kita memiliki hubungan hebat yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.”

Luong mengakui bahwa Pedoman Program Pertahanan Nasional terbaru Jepang akan memungkinkan JGSDF untuk lebih responsif, lebih mematikan dalam hal pembelian persenjataan, dan mengatur ulang cara mereka melakukan pengorganisasian.

“Semuanya benar-benar baru bagi pasukan Jepang, dan semuanya akan menjadi lebih baik,” ujar Luong.

Luong membuat perbandingan antara A.S. dan JGSDF. Luong mengatakan bahwa bagi A.S., prioritas tinggi ditempatkan pada kualitas sumber daya manusia dan cara pasukan beroperasi — dengan kepercayaan dan memungkinkan para pemimpin junior untuk membuat keputusan.

“Orang Jepang dalam banyak hal serupa,” tuturnya. “Jika mereka belum mencapainya, mereka akan mencapainya, dan benar-benar menyenangkan bekerja sama dengan mereka.”

Luong ingin Jepang tahu bahwa pasukan A.S. berkomitmen untuk melayani bersama-sama dengan mereka dan mempertahankan konsep Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.

“Hanya dengan berada di sini, kami menunggu untuk mempertaruhkan nyawa kami guna melindungi Jepang dari ancaman apa pun berdasarkan perjanjian yang dimiliki oleh kedua negara kita. Yang kami minta hanyalah pengertian dan dukungan mereka, karena kadang-kadang cara kami berlatih, dan kadang-kadang cara kami bertarung, dan tembakan peluru tajam kami serta pesawat terbang kami bisa dianggap menimbulkan ketidaknyamanan,” ungkap Luong. “Tapi saya akan memberi tahu Anda, sedikit ketidaknyamanan demi memperoleh kebebasan bukanlah hal yang terlalu berlebihan. Jika kebebasan Anda tidak pernah direnggut, agak sulit membayangkan seperti apa rasanya. Ada kalanya, ada hal-hal yang layak untuk dipertukarkan, ada hal-hal yang layak untuk dikorbankan, dan tentu saja ada hal-hal yang layak untuk dilakukan meskipun menimbulkan sedikit ketidaknyamanan.”

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button