Tajuk Utama

Produksi Tercemar

Republik Rakyat Tiongkok gagal melindungi warganya dari produk makanan dan kesehatan yang terkontaminasi, mengikis kepercayaan pada pemerintah

Staf FORUM

Pada awal Tahun Baru Tiongkok 2019, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengungkapkan bahwa produk darah yang terkontaminasi HIV telah didistribusikan kepada warganya. Satu batch imunoglobulin manusia intravena tercemar, yang terutama digunakan untuk merawat pasien yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh, dijual dan didistribusikan di provinsi Jiangxi di bagian timur Tiongkok oleh pemasok produk darah medis terbesar kedua di Tiongkok, Shanghai Xinxing, yang diawasi oleh perusahaan induknya yang merupakan badan usaha milik negara.

“Batch yang tercemar terdiri dari 12.229 botol plasma berukuran 50 ml [mililiter] yang akan kedaluwarsa pada Juni 2021,” demikian menurut laporan di surat kabar South China Morning Post. Penyelidik dari Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok menghentikan produksi dan memerintahkan penarikan kembali produk darah itu meskipun lembaga yang sama yang membuat pengumuman awalnya, Badan Produk Medis Nasional, kemudian mengumumkan bahwa hasil tesnya negatif untuk HIV, virus yang menyebabkan AIDS, dan untuk berbagai jenis hepatitis.

Laporan yang saling bertentangan itu semakin memicu kekhawatiran pasien dan konsumen Tiongkok atas keamanan pasokan makanan dan medis negara mereka. “Pengalihan masalah selalu dilakukan dengan cepat. Tak lama kemudian mereka akan mengatakan bahwa menyuntikkan produk ini baik untuk kesehatan Anda,” tulis Cui Yongyuan, seorang pembawa acara dan produser televisi Tiongkok, di situs microblogging Sina Weibo, mengomentari sebuah laporan tentang hasil awal penyelidikan, demikian menurut surat kabar The New York Times. “Susu bubuk tercemar, tidak ada masalah. Vaksin tercemar, tidak ada masalah. Inokulasi tercemar, tidak ada masalah,” tambahnya, merujuk pada serangkaian masalah kesehatan di Tiongkok dalam dekade terakhir ini. “Singkatnya, jika beberapa orang mati, tidak ada masalah.”

Warga yang Marah

RRT terus dilanda skandal keamanan produk dan manufaktur meskipun Partai Komunis Tiongkok (PKT) baru-baru ini berulang kali memberikan janji reformasi. Ketakutan akan plasma yang terkontaminasi itu hanyalah salah satu insiden terbaru. Berbagai skandal vaksin dalam beberapa tahun terakhir ini telah membahayakan anak-anak yang masih kecil dan keluarga mereka dan juga menempatkan populasi secara keseluruhan dalam risiko dengan memungkinkan terjadinya wabah.

Seorang anak menerima vaksinasi di rumah sakit di Huaibei, provinsi Anhui, pada Juli 2018 setelah kasus penipuan vaksin memicu kembali kekhawatiran publik akan keamanan obat.
AFP/GETTY IMAGES

Pemerintah mengungkapkan pada Januari 2019 bahwa lebih dari 145 anak-anak Tiongkok di provinsi Jiangsu telah menerima vaksin polio kadaluwarsa dari puskesmas setempat, memicu protes dari ribuan orang tua yang marah di luar puskesmas setempat dan kantor pemerintah. Pengungkapan itu terjadi hanya enam bulan setelah skandal besar terungkap pada Juli 2018 ketika Changchun Changsheng Life Sciences, anak perusahaan dari badan usaha milik negara Changsheng Biotechnology, salah satu produsen vaksin terbesar di negara itu, memproduksi dan mendistribusikan lebih dari 250.000 vaksin yang cacat untuk difteri, batuk rejan, dan tetanus (DPT). Vaksin itu diberikan kepada ribuan bayi di bawah program RRT di provinsi Shandong pada tahun 2017. Penyelidik juga menemukan bahwa Changchun Changsheng Life Sciences telah memalsukan catatan produksi pada lebih dari 100.000 vaksin rabies dan telah melakukan penipuan pelaporan data vaksin selama lebih dari empat tahun, demikian menurut South China Morning Post.

Mo Li, berusia akhir 20-an, adalah orang tua dari seorang anak yang mungkin telah menerima salah satu dosis vaksin DPT yang cacat itu. “Saya memikirkan semua orang yang terlibat, mulai dari perusahaan vaksin hingga regulator. Mereka tidak bisa disebut sebagai manusia. Mereka adalah iblis di neraka,” ujar Mo kepada surat kabar The Guardian pada akhir Juli 2018 setelah berita skandal itu pecah.

Orang tua yang marah seperti Mo memprotes di depan Komisi Kesehatan Nasional RRT pada Juli 2018, menuntut pengawasan yang lebih baik terhadap industri farmasi Tiongkok. Inspektur menemukan vaksin yang rusak pada tahun 2017 tetapi tidak mengungkapkan informasi itu hingga Juli 2018.

“Masalahnya tidak terpecahkan,” ungkap He Fangmei, ibu dari seorang bayi perempuan berusia 2 tahun kepada The New York Times setelah unjuk rasa pada bulan Juli itu. “Kekhawatiran kami belum diatasi.”

Warga awam Tiongkok, yang bukan merupakan persentase kecil dan istimewa anggota PKT yang berkuasa, menjadi semakin frustrasi dengan kelemahan RRT dalam melindungi kesehatan masyarakat. Meskipun RRT mengklaim telah membentuk sistem regulasi berkelas dunia, lembaganya gagal melindungi penelitian, produksi, distribusi, dan pemberian vaksin dan obat-obatan lainnya.

Ketidakpuasan orang tua Tiongkok yang meningkat dengan janji-janji RRT yang tidak terpenuhi tampaknya tidak perlu diragukan lagi. Segera setelah terjadinya skandal Changsheng, regulator mengungkapkan bahwa Institut Produk Biologi Wuhan yang dimiliki oleh pemerintah juga menjual vaksin yang tidak efektif. Pada Mei 2018, perusahaan itu mulai menarik sekitar 400.000 dosis dan diperintahkan untuk membayar denda yang tidak diungkapkan, demikian menurut Bloomberg.com. Sebelum serentetan insiden baru-baru ini, RRT mengungkapkan pada tahun 2016 bahwa jutaan vaksin yang mengalami cacat produk, kira-kira senilai 1,27 triliun rupiah (90 juta dolar A.S.), telah diberikan kepada anak-anak Tiongkok secara nasional. Pada tahun 2015, vaksin yang sudah kedaluwarsa menyebabkan dua kematian dan masalah kesehatan parah pada hampir 400 anak di provinsi Henan, demikian menurut Radio Free Asia. Pada tahun 2010, vaksin yang tidak disimpan dalam lemari pendingin menewaskan empat anak di provinsi Shanxi dan membuat 70 orang lainnya jatuh sakit, demikian yang diungkapkan oleh surat kabar China Economic Times. Masalah dengan kualitas vaksin telah ada sejak lama dan “semua orang di dalam sistem itu mengetahuinya,” ujar seorang direktur pusat pengendalian penyakit Tiongkok yang menangani sekitar setengah juta orang kepada South China Morning Post.

Reformasi yang Gagal

RRT membentuk Administrasi Makanan dan Obat Tiongkok pada Maret 2013 untuk mengatasi masalah seperti itu, tetapi skandal terus muncul. Usai terjadinya setiap skandal vaksin, regulator tidak memberi tahu masyarakat secara tepat waktu dan juga tidak melakukan banyak tindakan pada awalnya untuk menghukum perusahaan atau pejabat mereka. Dan usai terjadinya setiap krisis, RRT menerapkan langkah-langkah yang seharusnya meningkatkan keamanan makanan dan obat-obatan, tetapi skandal terus berlanjut hingga tahun 2019. Dalam salah satu upaya reformasi terbarunya, RRT mengumumkan pada April 2018 bahwa pihaknya akan mereorganisasi Administrasi Makanan dan Obat Tiongkok ke dalam Administrasi Obat Tiongkok, yang akan diawasi oleh lembaga baru Administrasi Negara untuk Pengawasan Pasar. Sementara itu, tanggung jawab untuk mengatur makanan akan dialihkan ke lembaga lain.

Orang-orang yang anak-anaknya meninggal akibat meminum susu yang tercemar memegang poster bertuliskan: “Kembalikan anak saya. Menuntut keadilan yudisial” di luar pengadilan di provinsi Hebei pada Januari 2009. Keluarga yang terdampak skandal susu beracun di Tiongkok menuntut pembalasan, kompensasi, dan jawaban ketika mereka menunggu penjatuhan hukuman terhadap eksekutif perusahaan yang bertanggung jawab atas kematian tersebut. REUTERS

Sebagian besar sebagai upaya respons yang jelas terhadap protes dan kegemparan publik, RRT menjatuhkan denda sebesar 18,34 triliun rupiah (1,3 miliar dolar A.S.) pada Oktober 2018 terhadap Changsheng Life Sciences dan melarang 15 anggota eksekutif, termasuk ketuanya, untuk bekerja dalam industri obat-obatan, demikian menurut Reuters. RRT juga mendenda Changsheng Biotechnology sekitar 1,26 miliar rupiah (89.000 dolar A.S.). Reuters melaporkan bahwa perusahaan induk itu berencana untuk membayar pasien yang dirugikan oleh vaksin sekitar 409 juta rupiah (29.000 dolar A.S.) hingga 1,35 miliar rupiah (96.000 dolar A.S.) sebagai kompensasi. RRT juga sedang menyusun undang-undang yang memungkinkan warganya untuk menggugat produsen obat guna mendapatkan ganti rugi punitif jika vaksin yang rusak itu menyebabkan penyakit serius atau kematian, tetapi sampai undang-undang tersebut diterapkan, keluarga korban tidak memiliki jalan lain.

Secara historis, orang tua yang memprotes produsen vaksin telah menerima perlakuan yang lebih keras daripada eksekutif dan perusahaan yang melakukan pelanggaran yang melanjutkan produksi setelah membuat permintaan maaf secara publik atau membayar denda relatif kecil yang rata-rata nilainya mencapai 19,8 miliar rupiah (1,4 juta dolar A.S.), demikian menurut analisis The New York Times. Pada awalnya, Changsheng hanya didenda 7,05 miliar rupiah (500.000 dolar A.S.) untuk vaksinnya yang rusak hingga keluhan di jejaring sosial WeChat, yang dihapus sehari kemudian, mengungkapkan rinciannya secara publik, demikian yang dilaporkan The Guardian. Surat kabar itu juga melaporkan bahwa RRT membungkam atau menahan orang tua yang memprotes. Meski demikian, RRT tidak mampu meredam protes di media sosial dan di tempat lain dalam satu tahun terakhir ini terhadap penanganan pemerintah di bidang kesehatan masyarakat, demikian menurut berbagai laporan media. Orang-orang yang berkecimpung dalam industri itu dan pakar kesehatan mengatakan bahwa masalah sistematis itu masih ada.

Warga dari negara lain juga harus waspada. Kegagalan RRT memiliki implikasi global karena Tiongkok juga memproduksi obat-obatan yang didistribusikan di negara lain. Pada akhir Juli 2018, misalnya, Zhejiang Huahai Pharmaceutical, produsen obat tekanan darah Tiongkok Valsartan, dipaksa untuk melakukan penarikan obat secara internasional setelah bahan aktif di dalamnya ditemukan terkontaminasi dengan zat penyebab kanker, demikian menurut CNN. Perusahaan Tiongkok itu menyediakan lebih dari setengah pasokan obat di Amerika Serikat, dan merek itu juga diresepkan secara luas di Eropa. “Tidak hanya ada potensi dirugikan dari produk yang telah ditarik itu, masalah kedua adalah adanya ketidakcukupan pasokan produk yang belum ditarik di luar sana,” ungkap Craig Beavers, koordinator farmasi klinis kardiovaskular di University of Kentucky Medical Center, kepada situs web WebMD.com.

Merongrong Kepercayaan

Aliran potensi bencana yang mengalir tanpa henti terus mengikis kepercayaan pada RRT dan keyakinan pada kemampuan Presiden Xi Jinping untuk mereformasi sistem produksi makanan dan obat-obatan Tiongkok yang korup. Banyak analis mengatakan bahwa meskipun Xi telah bekerja keras untuk meyakinkan warganya mengenai kampanye kekuasaan otokratis terkonsolidasinya dengan berjanji untuk mengurus rakyatnya, skandal kesehatan yang berulang terus merusak kredibilitas dan legitimasinya.

“Skandal vaksin sekali lagi menunjukkan kegagalan pemerintah Tiongkok dalam penegakan hukum dan pemantauan industri perawatan kesehatan, bahkan setelah adanya laporan selama bertahun-tahun mengenai kasus-kasus lain,” ungkap Patrick Poon, peneliti masalah Tiongkok di Amnesty International, kepada The Guardian.

Seorang pria menangani bagian-bagian babat daging sapi beku dari Brasil di jalan belakang Hong Kong sebelum diselundupkan ke Tiongkok daratan pada Juli 2015. Bulan sebelumnya, otoritas Tiongkok menyita 100.000 ton daging beku selundupan di Tiongkok. Sebagian berusia 40 tahun dan mulai mencair, demikian menurut surat kabar milik pemerintah China Daily. REUTERS

Mayoritas keluarga Tiongkok hanya memiliki satu anak karena kebijakan RRT di masa lalu yang membatasi ukuran keluarga. Oleh karena itu, pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah yang memengaruhi kesehatan anak-anak dianggap sangat mengerikan, demikian menurut Merriden Varrall, seorang pakar Tiongkok di Lowy Institute, kelompok cendekiawan di Australia.

“Bagaimana hal ini masih terjadi di Tiongkok ketika masyarakat diberi tahu bahwa pemerintah benar-benar berada di jalur yang tepat untuk melakukan peremajaan?” ungkapnya kepada The New York Times pada Juli 2018. “Skandal seperti ini sama sekali tidak akan lagi diterima sebagai hal yang normal.”

Tragedi Masa Lalu

RRT memiliki sejarah panjang dalam membiarkan produk berbahaya untuk menjangkau konsumen Tiongkok. Hingga saat ini, lebih dari satu dekade setelah tragedi susu formula bayi, banyak orang tua tidak mau memberikan susu formula yang diproduksi di Tiongkok kepada bayi mereka, demikian menurut berbagai laporan media. Pada tahun 2008, susu formula bayi yang terkontaminasi melamin, bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan plastik dan pupuk, menewaskan enam bayi dan membuat lebih dari 300.000 bayi lainnya jatuh sakit di Tiongkok. Zat kimia tersebut menyebabkan batu ginjal, yang jarang terjadi pada anak-anak dan sangat menyakitkan, dan pada akhirnya gagal ginjal dan kematian. Setidaknya 1.200 bayi di Tiongkok kemudian didiagnosis menderita penyakit ginjal serius. Reuters melaporkan bahwa penyelidikan menetapkan 22 perusahaan Tiongkok terkait dengan susu formula yang tercemar, termasuk beberapa perusahaan milik negara.

Salah satu pelaku utama, Sanlu, mengetahui sejak Agustus 2008 bahwa peternak setempat telah menambahkan melamin ke dalam susu mereka untuk meningkatkan kadar proteinnya. Susu formula dari peternakan ini ditemukan memiliki lebih dari 4.000 kali tingkat melamin yang dapat diterima, demikian menurut pedoman Organisasi Kesehatan Dunia. Perusahaan itu telah menerima keluhan tentang produknya selama setidaknya sembilan bulan sebelum kejadian itu, demikian menurut laporan pada Juli 2018 di Quartz, sebuah situs web yang mengumpulkan dan mengorganisir berita berdasarkan topiknya. Karena Tiongkok menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas di Beijing tahun itu, Sanlu, yang memegang hampir 20 persen pangsa pasar susu formula, berupaya meredam berita itu. Quartz melaporkan bahwa Sanlu pada awalnya didirikan sebagai perusahaan milik negara dan kemudian berkembang menjadi perusahaan patungan dengan menjual 43 persen sahamnya ke perusahaan Selandia Baru.

Eksekutif utama Sanlu, Ketua Tian Wenhua, juga menjadi anggota Partai Komunis Tiongkok, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena memproduksi dan menjual susu formula yang terkontaminasi bahkan setelah perusahaan mengetahui bahwa susu itu bisa mengakibatkan kematian, demikian yang dilaporkan The New York Times. Beberapa eksekutif lainnya menerima hukuman yang lebih ringan. Pada tahun 2009, seorang peternak sapi perah dan pemasok yang telah mendistribusikan produk yang terkontaminasi dieksekusi, demikian yang dilaporkan The Guardian. Pada tahun yang sama, Sanlu mengajukan kepailitan, demikian menurut situs web china.org.cn.

Sebagai akibat dari kontribusi dan kesalahan RRT dalam mengelola krisis itu, lebih dari 53 persen konsumen masih lebih menyukai merek asing untuk susu formula bayi, demikian menurut survei tahun 2017 terhadap 10.000 orang di 44 kota Tiongkok yang dilakukan oleh McKinsey & Co. Quartz melaporkan bahwa permintaan itu kuat cukup sehingga menyebabkan kekurangan susu formula di Hong Kong. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Tiongkok membeli setengah dari pasokan susu formula ritel Australia melalui saluran konsumen-ke-konsumen, demikian menurut surat kabar The Washington Post. Pada tahun 2015, nilai penjualan susu formula ke Tiongkok lebih dari 2,82 triliun rupiah (200 juta dolar A.S.), demikian yang dilaporkan surat kabar The Sydney Morning Herald.

Ketakutan HIV Berkelanjutan

Tiongkok juga diguncang skandal HIV sebelumnya yang menimpa seluruh masyarakat. Pada tahun 1990-an dan 2000-an, ribuan warga Tiongkok tertular HIV setelah menjual plasma mereka atau menerima transfusi atau produk yang terbuat dari produk darah tercemar yang dikumpulkan di tempat yang disebut RRT sebagai pusat donasi ilegal. Kontaminasi terjadi karena fasilitas tersebut tidak memiliki prosedur yang aman untuk mengambil plasma dan mentransfusikan produk darah, demikian menurut laporan National Public Radio, sebuah organisasi berita nirlaba yang berkantor pusat di A.S. Lebih dari 43 persen orang yang mendonorkan darah di pusat-pusat tersebut terkena HIV, demikian yang dikatakan Kementerian Kesehatan Tiongkok. Warga di provinsi-provinsi tempat pengambilan darah itu masih menderita akibat AIDS, demikian menurut Sixth Tone, sebuah perusahaan rintisan media Tiongkok, yang dengan jelas menggambarkan apa yang disebut sebagai desa-desa AIDS yang diciptakan oleh bencana itu.

“Akar penyebab AIDS di Tiongkok adalah pasar plasma,” ungkap Gao Yaojie, seorang dokter yang membantu mengungkap penyebab epidemi itu di provinsi Henan, kepada The New York Times pada tahun 2016. “Ini adalah bencana buatan manusia. Namun orang-orang yang bertanggung jawab atas masalah itu tidak pernah dimintai pertanggungjawaban, mereka juga tidak mengucapkan sepatah kata pun permintaan maaf.”

Bencana itu menyebabkan RRT pada akhirnya memberlakukan prosedur skrining yang lebih baik untuk produk darah, tetapi otoritas Tiongkok terus mengecewakan warga mereka dalam mengelola penyakit itu dan melakukan kampanye pendidikan kesehatan. Upaya luas untuk memeriksa komunitas yang terkena dampak baru dimulai tahun 2004, demikian menurut Sixth Tone.

Saat ini, meskipun penyebaran HIV telah melambat di seluruh dunia secara keseluruhan, jumlah warga di Tiongkok yang hidup dengan HIV dan AIDS terus bertambah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Pusat Pengendalian Penyakit RRT mengatakan pada November 2018 bahwa 850.000 orang di Tiongkok telah dites positif HIV, demikian menurut majalah The Economist. Jumlahnya 12 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan hampir tiga kali lipat jumlah yang dilaporkan pada tahun 2010. Sementara itu, infeksi HIV global baru telah menurun sebesar 18 persen dari 2,2 juta pada tahun 2010 menjadi 1,8 juta pada tahun 2017, tahun terakhir ketika datanya tersedia, demikian menurut Avert, sebuah badan amal HIV dan AIDS internasional.

Sekitar 40.000 kasus baru dilaporkan di Tiongkok pada kuartal kedua tahun 2018 saja, demikian menurut laporan BBC. Kasus yang melibatkan warga berusia 15 hingga 24 tahun meningkat lebih dari sepertiga setiap tahun antara tahun 2011 dan 2015, demikian menurut sebuah studi pada Juli 2018 yang diterbitkan di jurnal medis The Lancet.

Lebih dari 81 persen kasus baru umumnya dianggap terkait dengan hubungan seksual dan bukan donor darah, demikian yang dilaporkan The Lancet. Pejabat Tiongkok mengaitkan peningkatan jumlah ini setidaknya sebagian akibat pengujian yang lebih luas, namun beberapa pejabat kesehatan masyarakat berpendapat bahwa lebih banyak yang bisa dilakukan untuk menghentikan penyebarannya.

Ketakutan Makanan

Selain malapetaka susu formula bayi, ada skandal makanan di Tiongkok di masa lalu, dari telur yang terkontaminasi melamin dan kubis yang dilapisi formaldehida hingga daging beku berusia 40 tahun dan minyak goreng yang didaur ulang dari tempat sampah. Konsumen setiap hari merasa khawatir bahwa makanan lain mungkin terkontaminasi, demikian menurut berbagai laporan media. Alasan utama kekhawatiran akan keamanan pangan adalah penggunaan pestisida dan pupuk secara berlebihan di RRT pada tahun 1980-an dan 1990-an yang mencemari lahan pertanian untuk tanaman dan hewan, seperti yang dilaporkan pada tahun 2001 oleh Pusat Kebijakan Pertanian Tiongkok, Akademi Ilmu Pengetahuan Pertanian Tiongkok dalam sebuah makalah berjudul, “Pestisida Pertanian, Produksi Beras, dan Kesehatan Manusia di Tiongkok.” Berhektar-hektar lahan juga telah terkontaminasi oleh proses industri yang tidak terkendali selama beberapa dekade.

RRT baru mulai mengatasi masalah lahan pertanian yang terkontaminasi ini, demikian ungkap Yanzhong Huang, seorang peneliti senior untuk kesehatan global di Council on Foreign Relations (CFR), kepada Quartz pada Juli 2018.

Wabah demam babi Afrika baru-baru ini di Tiongkok tidak terlalu membantu upaya untuk meredakan kekhawatiran akan keamanan pangan secara keseluruhan. Tiongkok melaporkan lebih dari 100 wabah di 25 dari 34 provinsi di negara itu, demikian menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa. CNN melaporkan pada awal Februari 2019 bahwa hampir 1 juta dari 340 juta ekor babi di negara itu disembelih antara Agustus 2018 hingga Januari 2019. Meskipun virus itu belum menginfeksi manusia, tidak ada pengobatan atau penyembuhan yang tersedia untuk demam babi, yang menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit dan organ-organ babi, dan dalam bentuknya yang paling ganas, bersifat mematikan bagi hampir semua babi, demikian menurut pejabat kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Penyakit itu menyebar lebih cepat di Tiongkok daripada di berbagai negara lain, demikian menurut laporan Reuters pada Februari 2019. Ketika wabah itu berkembang, pejabat RRT berulang kali menyatakan bahwa “epidemi di daratan Tiongkok ditangani secara efektif dan berada di bawah kendali,” seperti yang dilaporkan media resmi pemerintah Xinhua, tetapi bulan demi bulan, lebih banyak kasus dilaporkan. Beberapa ahli mengatakan bahwa kurangnya transparansi RRT kemungkinan berkontribusi pada laju epidemi itu. Epidemi itu berlanjut setelah babak terakhir penyangkalan pada saat itu. Pejabat Tiongkok di provinsi Hunan di bagian selatan dan provinsi Gansu di bagian barat laut Tiongkok menemukan sisa-sisa virus itu dalam produk daging babi, termasuk pangsit beku, pada Februari 2019, demikian yang dilaporkan Voice of America.

Masalah Sistemik

Banyak analis mengatakan bahwa masalah produksi biomedis dan pangan Tiongkok berasal dari kekurangan sistematis yang mengakar. Sebagai permulaan, proses regulasi Tiongkok yang bersifat top-down menutup kemungkinan keterlibatan warga dan banyak pemain kunci lainnya dalam proses itu. “Karena peraturan keamanan pangan menyertakan beberapa kegiatan yang saling menguatkan (produksi, pemasaran, dan konsumsi) dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (misalnya, produsen, pedagang, konsumen, aktor pemerintah), sangat kecil kemungkinannya bahwa kerangka kerja hukum dan regulasi top-down murni yang berpusat pada negara akan cukup untuk meredakan krisis pangan dan keselamatan Tiongkok,” tulis Huang dalam postingan blog CFR pada tahun 2014. Wawasannya terus berlaku, mengingat berbagai kesalahan yang terjadi secara berkelanjutan.

Hingga reformasi yang lebih baik dan lebih banyak transparansi diterapkan di seluruh sistem, warga Tiongkok dan seluruh dunia, terutama negara-negara yang melakukan perdagangan dengan Tiongkok, akan tetap merasa khawatir akan kualitas makanan dan produk kesehatan yang diproduksi di Tiongkok. Mungkin Presiden Xi meringkasnya sendiri dengan jelas pada tahun 2013, ketika dia mulai menjabat: “Jika partai kita tidak bisa menangani keamanan pangan dengan tepat saat memerintah Tiongkok, dan hal ini terus berlanjut, beberapa pihak akan bertanya-tanya apakah kami siap untuk memegang jabatan itu,” ujarnya, demikian menurut laporan di The New York Times. 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button