Cerita populer

Para peneliti berlomba-lomba menemukan vaksin COVID-19

Staf FORUM

Para peneliti di seluruh dunia tengah bekerja sepanjang waktu guna mengembangkan vaksin untuk melawan virus korona.

Lebih dari 140 calon vaksin COVID-19 tengah berada dalam berbagai tahap pengembangan di seluruh dunia, demikian menurut penghitungan yang dilakukan oleh surat kabar The New York Times. Sekitar 20 kandidat utama vaksin sudah berada dalam berbagai tahap uji coba manusia, termasuk produk-produk yang dikembangkan oleh AstraZeneca, Pfizer, BioNTech, Johnson & Johnson, Merck, Moderna, Sanofi, dan CanSino Biologics Republik Rakyat Tiongkok (RRT), demikian yang dilaporkan Reuters.

Operasi Warp Speed merupakan prakarsa pemerintah A.S. untuk memberikan vaksin COVID-19 yang efektif paling lambat Januari 2021. Upaya tersebut, yang melibatkan usaha publik dan swasta serta dukungan dari badan kesehatan dan militer A.S., berupaya mengembangkan, memproduksi, dan mendistribusikan 300 juta dosis profilaktik yang efektif.

“Apa yang dapat kami sampaikan kepada warga Amerika adalah bahwa kami telah mengambil setiap langkah yang dimungkinkan untuk memaksimalkan probabilitas keberhasilan dan memperpendek jadwal untuk mendapatkan vaksin dan terapi yang aman dan efektif,” ungkap seorang pejabat kesehatan A.S. kepada situs web Military.com pada awal Juni 2020. Akan tetapi, para pejabat mengatakan bahwa mereka tidak bisa menjanjikan vaksin paling lambat pada akhir tahun ini.

Pada awal Juni 2020, para peneliti Angkatan Darat A.S. mengumumkan bahwa mereka telah memilih kandidat vaksin terbaik Angkatan Darat dari antara lebih dari 24 prototipe yang dikembangkan sejak Januari, demikian yang dilaporkan situs web Military Times.

“Kami mendukung tanggapan menyeluruh di berbagai kalangan pemerintah dengan pengetahuan dan keahlian ilmiah untuk memerangi tantangan di seluruh dunia ini,” ungkap Brigjen Michael J. Talley, komandan jenderal Komando Penelitian dan Pengembangan Medis Angkatan Darat A.S. di Fort Detrick, Maryland, kepada Military.com. “Dengan pemilihan kandidat vaksin baru-baru ini, kami yakin bahwa kami selangkah lebih dekat untuk mencapai sasaran itu.” (Foto: Seorang ahli mikrobiologi penelitian memanen sampel virus korona di laboratorium Biosafety Level 3 di Institut Penelitian Medis untuk Penyakit Menular Angkatan Darat A.S. di Fort Detrick, Maryland, pada Maret 2020).

Para pejabat mengumumkan pada awal Juni bahwa Operasi Warp Speed juga mendukung pengembangan vaksin yang dilakukan oleh AstraZeneca, Merck, Moderna, Johnson & Johnson, dan Pfizer, yang masing-masing mengambil pendekatan berbeda. Dengan dukungan program itu, perusahaan Inggris-Swedia AstraZeneca dan Universitas Oxford telah memasuki tahap akhir pengujian prototipe mereka di Inggris dan Brasil, dengan harapan memproduksi vaksin darurat paling lambat pada Oktober 2020, demikian yang dilaporkan The New York Times.

Australia, Rusia, dan beberapa negara Eropa juga telah memulai uji klinis untuk kandidat vaksin mereka.

Tiongkok telah memilih untuk mengembangkan vaksinnya sebagian besar secara terpisah dan memiliki setidaknya empat kandidat vaksin dalam uji klinis.

“Dalam beberapa bidang dan pada beberapa masalah, kami harus memiliki kepercayaan diri dalam kemampuan ilmiah kami. Dengan jumlah penduduk lebih dari satu miliar orang, kami tidak dapat mengandalkan pihak lain. Kami harus mengandalkan kekuatan ilmiah kami sendiri untuk melindungi rakyat kami,” ungkap pakar virologi Chen Wei, jenderal Tentara Pembebasan Rakyat yang mengepalai upaya pengembangan vaksin terkemuka RRT yang dilaksanakan oleh CanSino Biologics, di TV yang dikelola pemerintah pada April 2020, demikian menurut NPR.

“Alih-alih memiliki tanggapan internasional yang lengkap dan terkoordinasi sesuai keinginan para ilmuwan, ini hampir menjadi seperti perlombaan menuju bulan,” ungkap Lawrence Gostin, pakar hukum kesehatan masyarakat di Georgetown University, kepada NPR pada Mei 2020.

Pihak berwenang A.S. memperingatkan pada bulan Mei bahwa para peretas yang berafiliasi dengan kelompok pemerintah Tiongkok berusaha mencuri data tentang pengobatan dan vaksin virus korona, demikian yang dilaporkan berbagai saluran berita. Kemudian pada bulan Juni, para pejabat menangkap seorang perwira dan peneliti ilmiah Tentara Pembebasan Rakyat di Bandara Internasional Los Angeles. Perwira Tiongkok itu dituduh mencuri rahasia dari para peneliti medis di University of California, San Francisco, dan mengirimnya ke laboratorium militer di Tiongkok, demikian menurut Fox News.

Taktik semacam itu besar kemungkinan masih dijalankan karena ekonomi dan politik mungkin lebih penting daripada masalah kesehatan bagi para pemimpin RRT, demikian ungkap para analis.

Vaksin buatan Tiongkok akan membantu perang propaganda Partai Komunis Tiongkok, demikian ungkap Zuoyue Wang, profesor sejarah di California State Polytechnic University, kepada NPR pada Mei 2020. “Jika seorang ilmuwan Tiongkok dapat menemukan vaksin yang dapat digunakan, saya kira hal itu akan membantu meredakan wacana menyalahkan atau bahkan seruan untuk memberikan ganti rugi,” ungkapnya.

“Kisah sukses dengan vaksin COVID akan menjadi panggung pencitraan yang luar biasa untuk ditampilkan,” ujar William Lee, kepala ekonom di Milken Institute, kepada NPR. “Mereka diberi insentif untuk mengembangkan vaksin secepat mungkin dan mendistribusikannya sebanyak yang mereka bisa di antara negara-negara Satu Sabuk, Satu Jalan (One Belt, One Road) mereka guna mendapatkan dan memperluas dominasi Tiongkok dalam lingkup itu. Dan juga hampir seperti cara untuk mengatakan, ‘Model ekonomi Barat telah gagal mengembangkannya secepat yang kami miliki.’”

Akan tetapi, tekanan intens yang diberikan pemerintah RRT pada para ilmuwannya dapat menyebabkan mereka mengambil risiko yang tidak perlu, demikian yang dikhawatirkan oleh beberapa ahli, terutama mengingat masalah RRT dengan kualitas dan kontaminasi produk farmasinya selama beberapa dekade terakhir.

Pada Juli 2018, misalnya, Changchun Changsheng Life Sciences, anak perusahaan dari badan usaha milik negara Changsheng Biotechnology, memproduksi dan mendistribusikan lebih dari 250.000 vaksin yang cacat untuk difteri, batuk rejan, dan tetanus yang diberikan kepada ribuan bayi di bawah program RRT di Provinsi Shandong pada tahun 2017. Para penyelidik juga menemukan bahwa Changchun Changsheng telah memalsukan catatan produksi pada lebih dari 100.000 vaksin rabies dan telah melakukan penipuan pelaporan data vaksin selama lebih dari empat tahun, demikian menurut South China Morning Post.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button