Cerita populer

‘Koridor ekonomi’ yang didukung RRT dapat membawa kesulitan keuangan bagi Pakistan

Cerita Populer | Jan 18, 2020:

Ketika pengerjaan fase kedua Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (China-Pakistan Economic Corridor – CPEC) dimulai, Asia Selatan belum mendapatkan manfaat yang dijanjikan dari proyek tersebut, dan beberapa negara sekarang merasa khawatir bahwa biayanya akan lebih besar daripada hasil yang diperoleh. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) melalui skema infrastruktur Satu Sabuk, Satu Jalannya (One Belt, One Road) telah memberikan pinjaman senilai puluhan miliar dolar kepada Pakistan dengan sebagian besar persyaratan yang tidak diungkapkan untuk pembangunan koridor itu.

CPEC diharapkan akan menghubungkan kota Kashgar di Tiongkok barat dengan pelabuhan Gwadar di Pakistan. Begitu dituntaskan, koridor itu bisa mencakup jalan, jalur kereta api, saluran pipa, dan kabel serat optik.

Akan tetapi, pembengkakan biaya telah menjadi hal yang umum terjadi bagi CPEC sejak dimulai pada tahun 2013. Pada awalnya koridor itu diproyeksikan menelan biaya 634,11 triliun rupiah (46 miliar dolar A.S.), perkiraan biaya sebenarnya CPEC sekarang ini berkisar dari 854,17 triliun rupiah (62 miliar dolar A.S.) hingga 1,03 kuadriliun rupiah (75 miliar dolar A.S.). Proyek itu juga membebani Pakistan dengan meningkatnya utang khususnya pada waktu yang membahayakan negara itu. Pada pertengahan tahun 2019, utang negara Pakistan naik menjadi 86,5% dari produk domestik bruto (PDB). Itu menandai peningkatan 13,5% dari tahun sebelumnya.

“Islamabad mengambil risiko mengalami kehancuran rangkaian fiskal di masa depan dengan mengambil begitu banyak pinjaman dari Tiongkok pada saat ketika negara itu sudah terlilit utang yang sangat besar,” tulis Michael Kugelman, direktur Asia di Woodrow Wilson International Center for Scholars di Washington, D.C., dalam majalah Foreign Policy pada Desember 2019. “Beijing telah berusaha keras untuk meredakan kekhawatiran mengenai utang yang terhubung dengan proyek Sabuk dan Jalannya — tetapi kasus-kasus seperti penyitaan pelabuhan di Sri Lanka telah memicu kekhawatiran banyak pihak.”

Meskipun Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menyatakan dalam siaran pada 26 April 2019, ditampilkan dalam foto, bahwa “kemajuan substansial” telah dibuat pada Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan, semakin banyak kritikus berpendapat bahwa proyek-proyek CPEC, yang telah mendapatkan pembiayaan dari RRT senilai 826,58 triliun rupiah (60 miliar dolar A.S.), telah menempatkan negara itu dalam bahaya ekonomi.

Pada Juli 2019, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund – IMF) menyetujui paket dana talangan senilai 82,66 triliun rupiah (6 miliar dolar A.S.) bagi Pakistan ketika warganya berjuang keras untuk mengatasi terdepresiasinya mata uang Pakistan dan meningkatnya harga makanan pokok. Majalah online The Diplomat melaporkan bahwa dana talangan IMF itu merupakan paket dana talangan ke-13 dalam 30 tahun terakhir ini.

Akan tetapi IMF melampirkan persyaratan pada dana talangan itu. Pakistan harus mengurangi pengeluaran untuk proyek-proyek CPEC di antara langkah-langkah penghematan lainnya. Pakistan memotong alokasi anggarannya bagi proyek-proyek CPEC dari 15,53 triliun rupiah (1,2 miliar dolar A.S.) pada tahun 2018 menjadi sekitar 6,89 triliun rupiah (500 juta dolar A.S.) pada tahun fiskal saat ini.

Para pengamat sekarang bertanya berapa banyak yang Pakistan dapatkan sebagai imbalan atas uang CPEC yang dihabiskannya. Farrukh Saleem, mantan juru bicara pemerintah Pakistan di bidang ekonomi dan energi, menunjukkan bahwa 75% proyek CPEC hingga saat ini adalah pembangkit listrik, tetapi pembangkit listrik ini lebih mahal daripada pembangkit listrik lainnya di kawasan itu. Misalnya, pembangkit listrik di Sahiwal dan Pelabuhan Qasim di Karachi menghabiskan biaya sekitar 20,68 miliar rupiah (1,5 juta dolar A.S.) per megawatt kapasitas. Pembangkit listrik di Jamshoro yang dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) menghabiskan biaya 11,02 miliar rupiah (800.000 dolar A.S.) per megawatt.

“Islamabad seharusnya mengkhawatirkan kepentingannya sendiri dan memeriksa apakah proyek CPEC di Pakistan didasarkan pada harga global yang kompetitif,” ungkap Saleem kepada surat kabar Asia Times.

Fase kedua CPEC sebagian besar berkaitan dengan peningkatan perdagangan bebas. Fase itu akan memungkinkan Pakistan untuk mengekspor sekitar 1.000 produk ke Tiongkok dengan bebas bea masuk. Fase itu juga akan menciptakan zona ekonomi khusus yang bertujuan untuk meningkatkan perdagangan di antara kedua negara. Patut dipertanyakan berapa banyak manfaat yang akan diperoleh Pakistan dari perdagangan bebas itu. Defisit perdagangan Pakistan dengan Tiongkok menyusut sebesar 23% pada tahun fiskal 2018-2019, tetapi ketidakseimbangan perdagangan masih lebih dari 137,8 triliun rupiah (10 miliar dolar A.S). 

Para ahli telah memperingatkan Pakistan bahwa Pakistan perlu melihat negara-negara lain yang telah mendapatkan pinjaman besar dari RRT. Di Sri Lanka, sebuah badan usaha milik negara Tiongkok mengambil kendali pelabuhan Hambantota setelah Sri Lanka gagal melunasi pinjaman. Demikian pula, di Jibuti, ketika utang negara itu tumbuh hingga 88% dari PDB, RRT mengambil kendali operasi di pelabuhan baru yang dibiayainya, demikian yang dilaporkan surat kabar The Wall Street Journal.

Pola itu bisa diulang di Pakistan, demikian peringatan yang diberikan oleh Alice Wells, pelaksana tugas asisten menteri luar negeri A.S. untuk urusan Asia Selatan dan Tengah. Pakistan saat ini memiliki utang senilai 206,64 triliun rupiah (15 miliar dolar A.S.) kepada pemerintah Tiongkok selain utang komersial Tiongkok lainnya senilai 92,3 triliun rupiah (6,7 miliar dolar A.S.).

“CPEC bukanlah tentang bantuan,” ujar Wells pada November 2019. “Sekarang ini bersama dengan pembayaran utang Tiongkok untuk non-CPEC, Tiongkok akan mengakibatkan kerugian yang semakin besar pada perekonomian Pakistan, terutama ketika sebagian besar pembayaran mulai jatuh tempo dalam empat hingga enam tahun mendatang. Meskipun pelunasan pinjaman itu ditangguhkan, pelunasan pinjaman itu akan menghambat potensi perkembangan perekonomian Pakistan.”

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button