Cerita populer

Jepang berupaya mengurangi pembatasan pada militernya

The Associated Press

Jepang mengambil langkah menuju memiliki militer yang sejalan dengan sebagian besar angkatan bersenjata di seluruh dunia, militer yang akan dapat mengambil bagian dalam pertempuran meskipun ketika negara ini tidak mengalami serangan langsung.

Tidak semua orang setuju bahwa wacana itu akan menjadi hal yang baik, seperti yang ditunjukkan oleh unjuk rasa jalanan yang gaduh di luar parlemen dan kritik keras dari Tiongkok.

Kelompok konservatif di Partai Demokrat Liberal yang berkuasa, yang telah lama merasa kesal pada pembatasan militer Jepang berdasarkan konstitusi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat yang memenangkan peperangan setelah Perang Dunia II, ingin membatalkan apa yang mereka anggap pembatasan tidak masuk akal pada Angkatan Bersenjata negara ini.

Selagi militer Jepang masih belum bebas dari kekangan, paket rancangan undang-undang yang disetujui oleh parlemen merupakan langkah lebih lanjut dalam pengikisan bertahap terhadap pembatasan yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Perubahan aktual berdasarkan undang-undang baru itu mungkin tidak besar, tetapi Perdana Menteri Shinzo Abe, yang ditekan oleh oposisi yang semakin memanas, telah melakukan perubahan signifikan dalam kerangka kerja keamanan Jepang dan mendorong bangsanya semakin lebih dekat untuk memiliki apa yang disebut oleh pendukungnya sebagai militer yang “normal.”

Pada awalnya setelah Perang Dunia II, Jepang seharusnya tidak boleh memiliki militer sama sekali. Amerika Serikat, yang menduduki Jepang dari tahun 1945 hingga 1952, ingin menghalau militerisme yang menyebabkan perang.

Menurut Pasal 9 konstitusi baru yang diadopsi pada tahun 1947, rakyat Jepang meninggalkan penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan sengketa internasional, dan hak untuk mempertahankan pasukan darat, laut, dan udara untuk tujuan itu.

Meskipun demikian, pendapat A.S. berubah dengan pecahnya Perang Korea. A.S. mulai melihat Jepang sebagai potensi sekutu Perang Dingin dan bukannya ancaman. Atas desakan Amerika, Jepang menciptakan apa yang disebut Pasukan Bela Diri pada tahun 1954. Sementara beberapa pihak masih mempertanyakan konstitusionalitasnya, sebagian besar sekarang menerima bahwa Pasal 9 memungkinkan Jepang untuk memiliki apa yang telah menjadi militer yang cukup besar dengan perlengkapan alutsista yang baik untuk membela negara itu.

Seiring berjalannya waktu, pemerintah, sekali lagi sering kali berada di bawah tekanan A.S., telah berulang kali memperluas definisi bela diri untuk mengirim militernya ke misi di Timur Tengah, Afrika, dan tempat lain, meskipun tidak menjalani pertempuran aktual. Dan lebih sering daripada tidak, upaya tersebut mendapatkan perlawanan yang kuat dari publik.

Perang Teluk pertama selama tahun 1990-1991 merupakan titik balik utama. Jepang, yang pada saat itu merupakan negara adidaya ekonomi, memberikan kontribusi keuangan besar pada upaya tersebut, namun dikritik karena memberikan terlalu sedikit, terlalu terlambat, dan tidak mengirimkan pasukan.

“Krisis Teluk memaksa Jepang untuk menilai dan mengatasi banyak pertanyaan yang tidak dialami Jepang setelah Perang Dunia II,” ungkap Kementerian Luar Negeri dalam sebuah laporan tahunan pada tahun 1991.

Tahun berikutnya, meskipun menghadapi perlawanan gencar, parlemen memberikan persetujuan kepada militer untuk bergabung dengan operasi penjaga perdamaian P.B.B. di seluruh dunia, meskipun hanya dalam peran nontempur seperti infrastruktur bangunan dan kepolisian.

Satu dekade kemudian, undang-undang khusus disetujui setelah serangan 9/11 pada tahun 2001 yang memungkinkan Jepang untuk mengirim kapal angkatan laut ke Samudra Hindia guna mengisi bahan bakar kapal-kapal koalisi pimpinan A.S. Pada tahun 2004, undang-undang khusus lainnya memberikan persetujuan pengerahan pasukan satu kali ke Irak untuk proyek-proyek konstruksi.

Undang-undang terbaru itu secara resmi memungkinkan dilakukannya kegiatan-kegiatan semacam ini. Pemerintah tidak perlu lagi memberlakukan undang-undang khusus setiap kalinya, meskipun persetujuan parlemen untuk mengirimkan pasukan pada umumnya masih akan diperlukan.

Ketentuan undang-undang yang paling kontroversial itu memungkinkan militer, untuk pertama kalinya di era pasca perang, untuk membantu pertahanan sekutu yang sedang diserang, meskipun hanya ketika situasinya juga dianggap suatu ancaman yang penting dan mungkin segera terjadi terhadap Jepang.

Para pejabat A.S. saat ini bersikap hati-hati guna menghindari permintaan perubahan kebijakan militer Jepang, setidaknya secara terang-terangan. Dalam menghadapi tantangan semakin berkembangnya militer Tiongkok dan ancaman Korea Utara, mereka mengatakan bahwa mereka menyetujui apa pun yang dapat Jepang lakukan untuk memperkuat kerja sama militer bilateral dan berkontribusi lebih banyak untuk keamanan regional, dalam batasan konstitusi.

Abe ingin sekali negaranya memainkan peran internasional yang lebih besar, tapi masih belum didukung penuh oleh rakyatnya. Meskipun ekonominya telah mengalami stagnasi, Jepang telah menikmati perdamaian selama beberapa dekade di bawah konstitusi pantang perang sehingga membuka jalan bagi kebangkitan ekonominya. Itulah sumber kebanggaan, terutama ketika dibandingkan dengan kekalahan perang dan kehancuran dahsyat yang dibawa oleh pemerintah pimpinan militer pada paruh pertama abad ke-20.

Rakyat Jepang tidak lagi anti-militer, tidak seperti yang dialami dalam beberapa dekade tak lama sesudah Perang Dunia II, tetapi nada cinta damai tetap terdengar kuat hampir 70 tahun kemudian, sebagaimana dibuktikan oleh keributan di dalam dan di luar parlemen yang membahas undang-undang keamanan tersebut. Sasaran jangka panjang Abe adalah untuk merevisi undang-undang dasar, tapi upaya itu tetap menjadi tantangan yang menakutkan.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button