Meningkatnya serangan siber Beijing menggarisbawahi pentingnya kerja sama global

Tim Hukum Keamanan Nasional, Komando Keberlanjutan Medan ke-8 Angkatan Darat A.S.
Serangan siber Republik Rakyat Tiongkok (RRT) semakin menarik perhatian pemerintah, pakar keamanan, dan pelaku bisnis global. Di antara berbagai intrusi ini, peretasan yang diberi nama Salt Typhoon tampak menonjol skala dan kecanggihannya, yang menargetkan sistem pemerintahan dan infrastruktur penting di seluruh dunia.
Serangan itu, yang terungkap pada akhir tahun 2024, menunjukkan sifat lebih berani operasi spionase digital RRT dan menggarisbawahi lanskap hukum yang kompleks di seputar keamanan siber, hubungan internasional, dan penuntutan kejahatan siber.
Salt Typhoon adalah sekelompok peretas yang bekerja untuk Kementerian Keamanan Negara Partai Komunis Tiongkok (PKT). Serangannya terutama menargetkan sistem infrastruktur utama di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat.
Para peretas menggunakan malware dan tindakan jahat lainnya untuk mengakses dan mencuri data sensitif dari pegawai senior pemerintah, perusahaan telekomunikasi, dan entitas swasta. Peralatan siber mereka menginfiltrasi infrastruktur cloud dan menghindari pertahanan daring tradisional.
Peretasan ini merupakan bagian dari strategi spionase dan pencurian informasi RRT. Bukti menunjukkan bahwa motivasi utamanya adalah untuk mengakses data suara dan teks A.S. yang bersifat sensitif, memperoleh rahasia negara, dan menciptakan kehadiran terus-menerus dalam jaringan telekomunikasi. Skala pembobolan data yang luas itu telah menimbulkan kekhawatiran tentang dampak jangka panjangnya terhadap keamanan internasional.
Serangan siber yang disponsori negara semacam itu meresahkan para ahli hukum. Berdasarkan hukum internasional, spionase internet yang menargetkan pemerintah atau infrastruktur penting dapat dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan dan tindakan agresi. Namun kerangka hukum untuk serangan siber masih bersifat teoritis dan belum ada konsensus yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “tindakan perang siber.”
Ketidakjelasan ini mempersulit tanggapan dari negara-negara yang terdampak. Meskipun negara-negara Eropa dan A.S. telah mengutuk keterlibatan RRT dalam serangan Salt Typhoon, pembalasan langsung dipenuhi dengan berbagai tantangan hukum. Sulit untuk menerapkan konsep peperangan atau sanksi tradisional terhadap serangan siber, terutama ketika para penyerang bersembunyi di balik negara yang menyangkal keterlibatannya.
Infiltrasi digital sering kali menjangkau banyak negara, sehingga sulit menentukan di mana kejahatan itu terjadi atau hukum mana yang berlaku.
Negara-negara anggota Uni Eropa dan A.S. dapat berupaya mengadili para pelaku berdasarkan hukum ekstrateritorial, yang memungkinkan tindakan hukum terhadap individu yang melakukan kejahatan internet yang merugikan warga negara atau bisnis mereka. Tetapi menegakkan hukum semacam itu secara lintas batas negara merupakan tugas yang berat. Kerja sama internasional dalam penyelidikan semacam itu dapat terhambat karena perbedaan kebijakan keamanan nasional, alokasi sumber daya, dan klasifikasi hukum mengenai bukti.
Peretasan Salt Typhoon menyoroti perlunya regulasi keamanan siber universal yang kuat. Banyak negara telah memberlakukan undang-undang seperti Peraturan Perlindungan Data Umum di Eropa dan Undang-Undang Pembagian Informasi Keamanan Siber A.S. Akan tetapi, undang-undang ini terutama berfokus pada perlindungan perusahaan dan individu swasta alih-alih menanggulangi ancaman yang disponsori negara.
Seiring makin maraknya peretasan yang disponsori negara, pertanyaan tentang bagaimana meminta pertanggungjawaban pemerintah menjadi krusial. Haruskah badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa turun tangan? Atau haruskah masing-masing negara mengenakan hukuman pada negara yang dicurigai mendalangi serangan semacam itu? Kedua pilihan itu memiliki batasan penegakan hukum.
Kurangnya perjanjian internasional yang mengatur kejahatan siber yang disponsori negara membuat sulit untuk menjatuhkan sanksi pada RRT atau negara lain yang terlibat dalam kegiatan semacam itu. Sekalipun tindakan hukuman diambil, tindakan tersebut mungkin tidak menghalangi serangan di masa mendatang, terutama ketika negara-negara seperti RRT terus menjadikan spionase siber sebagai bagian integral dari strategi keamanan nasional mereka.
Peretasan Salt Typhoon menandai momen signifikan dalam evolusi perang siber dan spionase. Ketika serangan yang disponsori negara menjadi semakin umum, dunia menghadapi pertanyaan sulit tentang cara menyesuaikan kerangka kerja hukum untuk menangani bentuk konflik baru ini.
Meningkatnya serangan siber menggarisbawahi perlunya kerja sama global dalam pertahanan siber dan penetapan aturan yang jelas yang mengatur perilaku negara di ruang siber.
Komando Keberlanjutan Medan ke-8 Angkatan Darat A.S. bermarkas di Honolulu, Hawaii.