Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka / FOIPKemitraan

Kepala pertahanan G7 ikrarkan komitmen pada Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka

Staf FORUM

Para menteri pertahanan dari negara-negara industri terkemuka yang tergabung dalam Kelompok Tujuh (Group of Seven – G7) mengatakan mereka menginginkan hubungan yang konstruktif dan stabil dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), sembari menyatakan bahwa Beijing tidak memiliki dasar hukum atas klaim maritim ekspansifnya di Laut Cina Selatan. Para menteri itu mengatakan mereka “sangat menentang tindakan Tiongkok yang berulang kali menghalangi kebebasan navigasi, melakukan militerisasi di fitur yang disengketakan, serta melakukan kegiatan pemaksaan dan intimidasi.”

Deklarasi bersama pada pertengahan Oktober 2024 itu menyusul pertemuan menteri pertahanan perdana negara-negara G7 yaitu Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat. Perwakilan dari Uni Eropa, NATO, dan Ukraina juga menghadiri pertemuan itu di Napoli, Italia.

Menteri Pertahanan Kelompok Tujuh berkumpul di Italia pada Oktober 2024. “Kita bertemu hari ini untuk membahas isu-isu keamanan yang lebih relevan yang saat ini memengaruhi kepentingan bersama dan kemakmuran kita di seluruh dunia,” ungkap Menteri Pertahanan Italia Guido Crosetto. “Kita menyaksikan skenario yang berubah dengan sangat cepat dan tidak stabil yang meningkat dari persaingan strategis menjadi konfrontasi terbuka dan berkelanjutan.”
VIDEO DIAMBIL DARI: ANADOLU AGENCY/REUTERS

“Agresi brutal Rusia di Ukraina,” meningkatnya ketegangan di Indo-Pasifik, pertempuran di Timur Tengah, dan ketidakstabilan di Afrika “menyoroti kerangka kerja keamanan yang memburuk,” ungkap Menteri Pertahanan Italia Guido Crosetto dalam sambutan pembukaannya. Di satu sisi ada berbagai negara dan organisasi yang percaya pada tatanan dunia berdasarkan hukum internasional, demikian ungkap Guido Crosetto, sementara itu di sisi lain ada “mereka yang secara sistematis tidak menghormati demokrasi demi mencapai tujuan mereka, termasuk sengaja menggunakan pasukan militer.”

Pertemuan itu terjadi di tengah-tengah pengiriman prajurit Korea Utara untuk membantu Rusia dalam invasi tak beralasannya ke Ukraina, dan taktik RRT yang bersifat ilegal, koersif, agresif, dan menipu, termasuk latihan militer yang menyimulasikan blokade di sekitar Taiwan. RRT mengklaim pulau dengan pemerintahan mandiri itu sebagai wilayahnya dan mengancam akan mencaploknya secara paksa. Para menteri pertahanan itu mengatakan bahwa “menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan sangat penting bagi keamanan dan kemakmuran internasional,” dan mereka dengan tegas menentang “penggunaan kapal Pasukan Penjaga Pantai dan milisi maritim yang berbahaya oleh RRT di Laut Cina Selatan.”

Mereka juga mengutuk dukungan RRT terhadap perang ilegal Rusia di Ukraina. Perusahaan RRT dan Rusia telah bermitra dalam mengembangkan sistem persenjataan nirawak jarak jauh untuk digunakan di Ukraina, demikian yang dilaporkan Bloomberg News. A.S. telah menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam “desain, produksi, dan pengiriman persenjataan” bersama. RRT juga menyediakan teknologi dan peralatan penggunaan ganda bagi Rusia untuk digunakan di Ukraina, dan Beijing telah membantu Moskow menghindari kontrol ekspor dan sanksi ekonomi internasional.

Para menteri pertahanan itu meminta RRT “untuk menghentikan transfer material penggunaan ganda, termasuk komponen dan peralatan persenjataan yang merupakan masukan penting bagi sektor pertahanan Rusia yang memungkinkan Rusia untuk mempertahankan perang ilegalnya di Ukraina.” Mereka juga menyatakan kekhawatiran “tentang tindakan-tindakan destabilisasi yang diakibatkan oleh menguatnya kerja sama militer di antara Tiongkok dan Rusia.”

Terkait Korea Utara, para menteri itu mengutuk program rudal balistik dan nuklir ilegal rezim tersebut dan menyerukan pelucutan senjata pemusnah massal Korea Utara secara menyeluruh, dapat diverifikasi, dan tidak dapat diubah lagi. Mereka juga mengutuk meningkatnya kerja sama militer di antara Korea Utara dan Rusia, termasuk Korea Utara yang mengirimkan rudal balistik ke Rusia yang melanggar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Deklarasi bersama itu tidak menyebutkan Korea Utara yang mengerahkan sekitar 11.000 prajurit ke Rusia. Setelah itu, Menteri Pertahanan A.S. Lloyd Austin mengatakan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin “meminta bantuan melalui pendekatan langsung dan informal (tin-cupping),” yang pada dasarnya memohon kepada Pyongyang untuk memberikan personel.

“Manuver yang dilakukan Kremlin untuk mendapatkan keuntungan dengan menggunakan prajurit Korea Utara itu benar-benar menggarisbawahi betapa buruknya perang yang dikobarkan Vladimir Putin dan betapa besar masalah yang dihadapinya,” ungkap Lloyd Austin.

Negara-negara di Indo-Pasifik dan di tempat lain memiliki kepentingan langsung dalam mempromosikan perdamaian, keamanan, dan kemakmuran di kawasan ini, termasuk melalui kemitraan pertahanan dan keamanan, demikian ungkap para menteri itu. Mereka menegaskan “komitmen mereka terhadap Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, berdasarkan supremasi hukum dan menjunjung tinggi prinsip penyelesaian sengketa secara damai tanpa menggunakan ancaman atau penggunaan kekuatan.”

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button