Jepang dan Uni Eropa menandatangani pakta pertahanan yang dipicu oleh ancaman dari RRT dan Rusia
Voice of America
Uni Eropa dan Jepang menyepakati perjanjian keamanan dan pertahanan di tengah meningkatnya ketegangan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan kekhawatiran tentang dukungan Beijing terhadap perang ilegal Rusia di Ukraina.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell dan Menteri Luar Negeri Jepang Takeshi Iwaya mengumumkan kemitraan tersebut pada November 2024 di Tokyo selama dialog strategis perdana.
“Kita hidup di dunia yang sangat berbahaya,” ungkap Josep Borrell. “Mengingat situasi di kedua kawasan kita, kerangka politik ini memperdalam kemampuan kita untuk mengatasi ancaman yang muncul secara bersama-sama.”
Dia menggambarkan pakta keamanan itu sebagai “bersejarah dan sangat tepat waktu,” serta mencatat bahwa pakta itu merupakan perjanjian pertama antara Uni Eropa, yang beranggotakan 27 negara, dengan negara Indo-Pasifik.
Berdasarkan Kemitraan Keamanan dan Pertahanan Uni Eropa-Jepang, kedua belah pihak akan mempromosikan “kerja sama angkatan laut konkret,” termasuk melalui latihan gabungan dan kunjungan pelabuhan, yang dapat melibatkan “negara ketiga yang ditetapkan oleh satu sama lain,” demikian menurut kantor berita Agence France-Presse.
Pakta itu juga menyebutkan bahwa Uni Eropa dan Jepang akan membahas “pengembangan inisiatif pertahanan masing-masing, termasuk pertukaran informasi mengenai masalah yang berkaitan dengan industri pertahanan.”
Katsuya Yamamoto, direktur program dan peneliti senior studi keamanan di Sasakawa Peace Foundation yang berkantor pusat di Tokyo, mengatakan: “Dengan mengulangi pelaksanaan pelatihan gabungan, pelayaran, kunjungan pelabuhan, dan pemeriksaan langsung terhadap kapal di laut (cross-boarding) dalam masa damai, negara-negara kita yang berpandangan serupa dapat terus memberi tahu Tiongkok dan negara-negara di sekitarnya bahwa front Eropa dan front Indo-Pasifik bersatu.
“Hal ini akan membuat Tiongkok memahami bahwa ini bukanlah tantangan keamanan regional, tetapi tantangan keamanan global,” ungkapnya.
Hubungan Beijing dan Moskow menjadi semakin erat sejak Barat memutuskan hubungan dengan Rusia akibat invasi tak beralasannya ke Ukraina pada Februari 2022. Pada September 2024, kedua rezim itu mengadakan latihan militer gabungan di dekat Jepang.
Dalam kunjungan pada Agustus 2024 ke Taipei, Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba menyuarakan kekhawatiran bahwa RRT dapat menginvasi Taiwan seperti yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina. Beijing mengklaim pulau dengan pemerintahan mandiri tersebut sebagai wilayahnya dan mengancam untuk mencaploknya secara paksa.
Wei-Hsiu Huang, peneliti di Institute for Advanced Studies on Asia di University of Tokyo, mengatakan invasi Rusia ke Ukraina serta aktivitas RRT di Selat Taiwan dan Laut Cina Selatan merupakan faktor dalam peningkatan kerja sama Uni Eropa-Jepang.
“Arah masa depan kerja sama keamanan di antara Jepang dan Eropa akan sangat luas, dan tidak akan terbatas pada Selat Taiwan, Laut Cina Selatan, Korea Utara, dan Rusia,” ungkapnya.
Sementara itu, pejabat tinggi Uni Eropa dan Korea Selatan mengecam keras pengerahan pasukan Korea Utara untuk membantu perang Rusia terhadap Ukraina dan setuju untuk membatasi kerja sama militer lebih lanjut di antara Moskow dan Pyongyang, demikian yang dilaporkan The Associated Press.
Pengerahan pasukan Korea Utara menebar ancaman meluasnya perang itu dan telah meningkatkan kekhawatiran di Korea Selatan bahwa Moskow dapat memberikan imbalan kepada Pyongyang lewat memasok rezim itu dengan teknologi persenjataan canggih atau memberikan dukungan selama potensi konflik di Semenanjung Korea.