Ikatan militer Korea Utara-Rusia memerlukan respons terkoordinasi untuk menjaga stabilitas Indo-Pasifik
Tim Hukum Keamanan Nasional, Komando Keberlanjutan Medan ke-8 Angkatan Darat A.S.
Meningkatnya dukungan militer Korea Utara kepada Rusia, termasuk pengiriman persenjataan dan pengerahan 10.000 prajurit untuk perang ilegal Moskow terhadap Ukraina, menimbulkan kekhawatiran strategis dan hukum yang signifikan bagi Indo-Pasifik. Langkah itu menandakan semakin dalamnya aliansi di antara kedua rezim otoriter yang berupaya melawan pengaruh Amerika Serikat beserta Sekutu dan Mitranya serta memiliki implikasi luas bagi keamanan regional.
Untuk melawan perkembangan ini, negara-negara Indo-Pasifik harus meningkatkan kerja sama regional. Memperkuat kemitraan seperti pengelompokan Quad yang terdiri dari Australia, India, Jepang, dan A.S., serta memperkuat ikatan dengan 10 negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dapat menangkal agresi Korea Utara. Sementara itu, upaya diplomatik untuk mengisolasi Rusia dan Korea Utara seharusnya disertai dengan sanksi tertarget berkelanjutan untuk membatasi kolaborasi militer mereka.
Dukungan militer Korea Utara terhadap invasi Rusia yang tidak beralasan ke Ukraina dengan cepat menuai kecaman keras dari seluruh dunia. Para menteri luar negeri dari negara-negara industri terkemuka Kelompok Tujuh (Group of Seven – G7) dan tiga sekutu utama menyatakan “kekhawatiran serius” atas pengerahan militer Korea Utara di Rusia dan sedang mengembangkan respons terkoordinasi, demikian ungkap negara-negara itu dalam pernyataan pada November 2024. Pernyataan itu ditandatangani oleh anggota G7 yaitu Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, A.S., dan Uni Eropa, serta Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan. Sebelumnya, Jepang dan Korea Selatan menyatakan kekhawatiran mendalam dan sepakat untuk bekerja sama guna mengekang ikatan Rusia-Korea Utara. Sekutu NATO termasuk Kanada dan A.S. juga mengecam keras meningkatnya kerja sama militer kedua negara itu, dengan mengatakan pengerahan prajurit itu melanggar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kolaborasi Korea Utara-Rusia memenuhi kepentingan timbal balik kedua rezim, membantu mesin perang Moskow sembari memperkuat ikatan Korea Utara dengan sekutu yang memiliki kemampuan persenjataan nuklir. Hubungan ini memberikan pengaruh bagi Pyongyang dalam hubungannya dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Rusia ketika negara yang terisolasi ini berupaya memperkuat posisinya dalam melawan aliansi di Indo-Pasifik.
Transfer persenjataan dari Korea Utara membantu Rusia mempertahankan perang yang kini memasuki tahun ketiga. Masuknya prajurit Korea Utara yang tidak berpengalaman memperkuat jajaran tentara bayaran Rusia, yang terdiri atas narapidana dan prajurit wajib militer dari pedesaan miskin yang melindungi rumah tangga kelas menengah Rusia dari perekrutan akibat banyaknya prajurit yang gugur di Ukraina.
Sebagai imbalannya, Korea Utara dapat memperoleh akses ke teknologi militer Rusia, yang berpotensi mempercepat program rudal dan nuklirnya, selain menerima makanan dan bahan bakar. Dinamika ini menimbulkan ancaman langsung terhadap stabilitas di kawasan Indo-Pasifik, ketika provokasi Korea Utara, seperti uji coba rudal di atas Jepang dan meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea, sudah menjadi tantangan yang terus-menerus terjadi.
Implikasinya terhadap keamanan Indo-Pasifik sangat besar. Korea Utara yang semakin berani, yang didukung oleh Rusia, mungkin bertindak lebih agresif, sehingga meningkatkan risiko konflik di berbagai titik rawan seperti Semenanjung Korea dan Selat Taiwan. Hal ini dapat mendorong respons militer yang lebih kuat dari kekuatan regional, termasuk peningkatan koordinasi pertahanan di antara Jepang, Korea Selatan, dan A.S.
Kerja sama Korea Utara-Rusia, yang diperkuat dengan pakta pertahanan timbal balik pada Oktober 2024, juga dapat mengganggu stabilitas Asia Tenggara, ketika berbagai negara seperti Filipina dan Vietnam mungkin menghadapi meningkatnya tekanan dalam sengketa wilayah mereka dengan RRT, sekutu Korea Utara dan Rusia. Tindakan Korea Utara itu melanggar sejumlah resolusi Dewan Keamanan P.B.B. yang melarang ekspor persenjataannya. Dengan menerima pengiriman persenjataan ini, Rusia melanggar resolusi yang sama dan merongrong rezim sanksi internasional. Hal ini menimbulkan tantangan hukum signifikan bagi P.B.B., terutama karena Rusia menggunakan hak vetonya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan untuk memblokir sanksi atau penyelidikan lebih lanjut.
Lebih jauh lagi, penggunaan persenjataan yang dipasok Korea Utara oleh Rusia untuk menargetkan infrastruktur dan penduduk sipil di Ukraina merupakan kejahatan perang dan melanggar Konvensi Jenewa. Sifat tidak pandang bulu dari serangan ini dan tindakan Rusia lainnya terhadap Ukraina melanggar secara langsung prinsip-prinsip pembedaan, proporsionalitas, kebutuhan, dan kemanusiaan dalam hukum konflik bersenjata. Dengan menyediakan pasukan dan munisi, Korea Utara merupakan pendukung penting invasi dan pendudukan ilegal Rusia di wilayah Ukraina.
Pada akhirnya, dukungan militer Korea Utara terhadap Rusia tidak hanya meningkatkan konflik Ukraina tetapi juga meningkatkan kemungkinan terjadinya ketidakstabilan di Indo-Pasifik. Respons internasional terkoordinasi dan berkelanjutan sangat penting untuk menjaga keamanan regional dan menjunjung tinggi hukum internasional.
Tim Hukum Keamanan Nasional Komando Keberlanjutan Medan ke-8 bermarkas di Hawaii.