Aliansi Korea Selatan-A.S. diperluas untuk mengatasi ancaman siber dan ruang angkasa
Felix Kim
Dalam kemajuan signifikan bagi aliansi Korea Selatan-Amerika Serikat, ancaman siber dan ruang angkasa telah diakui secara resmi sebagai pemicu potensial berdasarkan Perjanjian Pertahanan Timbal Balik 1953, yang memperluas ruang lingkup kerja sama di luar ranah militer tradisional. Evolusi itu, yang diumumkan menyusul pertemuan tingkat menteri bilateral baru-baru ini di Washington, D.C., mencerminkan berkembangnya kekhawatiran atas meningkatnya kolaborasi keamanan Korea Utara-Rusia, termasuk transfer teknologi satelit dan operasi siber yang menantang stabilitas regional.
Menteri Pertahanan A.S. Lloyd Austin menegaskan bahwa “serangan di ruang angkasa atau ruang siber yang jelas-jelas menantang keamanan aliansi dapat menyebabkan kita menerapkan Pasal III Perjanjian Pertahanan Timbal Balik.” Klausul itu mewajibkan pertahanan timbal balik jika salah satu pihak menghadapi serangan yang dianggap mengancam kedamaian dan keselamatannya.
Pengumuman itu muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran atas hubungan yang lebih erat di antara Rusia dan Korea Utara, dengan munculnya ketakutan bahwa transfer teknologi Rusia dapat memungkinkan Pyongyang untuk memajukan kemampuan siber dan inisiatif ruang angkasanya. “Korea Utara sangat aktif di sisi siber, terlibat dalam peretasan dan pencurian informasi, sering kali menyamar sebagai penyelenggara konferensi yang mencari masukan ahli tentang topik tertentu,” ungkap Dr. Bruce Bennett, pakar militer Asia Timur Laut di Rand Corp., kepada FORUM.
Ruang lingkup perluasan perjanjian itu akan memungkinkan inisiatif pertahanan kolaboratif dan pembagian intelijen yang lebih luas di antara Seoul dan Washington, yang mencerminkan upaya strategis untuk melawan ancaman berbasis ruang angkasa, seperti gangguan satelit atau disrupsi pengintaian, demikian ungkap para analis.
Korea Utara dapat berupaya mengembangkan teknologi berbasis ruang angkasa untuk menonaktifkan satelit Korea Selatan atau A.S., demikian ungkap Yang Uk, peneliti di Asan Institute for Policy Studies yang berkantor pusat di Seoul, kepada surat kabar The Korea Herald. Sebagai tanggapan, Komando Strategis Korea Selatan yang baru-baru ini dibentuk untuk operasi ruang angkasa dan siber telah meningkatkan kemampuannya untuk berkoordinasi dengan mitranya di A.S. Komando baru itu akan berkolaborasi dengan Komando Strategis A.S. dan Komando Pasukan A.S. di Indo-Pasifik, yang memungkinkan respons terpadu terhadap insiden berbasis siber dan ruang angkasa, demikian ungkap Joung Kyeong-woon, peneliti senior di Seoul Defense Forum, kepada The Korea Herald.
Langkah ini sejalan dengan rencana Korea Selatan untuk meningkatkan kemampuan ruang angkasanya, yang saat ini mencakup pengerahan satelit yang sangat penting untuk melacak aktivitas rudal Korea Utara.
Meningkatnya hubungan militer di antara Korea Utara dan Rusia menambah urgensi perluasan ruang lingkup aliansi Korea Selatan-A.S. Pyongyang telah memasok munisi ke Moskow untuk perang ilegalnya di Ukraina dan baru-baru ini mengerahkan beberapa ribu prajurit untuk menambah kekuatan pasukan Rusia yang mengalami kekalahan besar di medan perang. Tindakan itu melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menjatuhkan sanksi terhadap rezim Korea Utara atas program rudal dan nuklir terlarangnya.
Para pemimpin pertahanan di seluruh dunia telah menyuarakan kekhawatirannya mengenai kemungkinan Rusia menyediakan teknologi militer canggih kepada Korea Utara sebagai imbalannya, yang juga akan melanggar resolusi Dewan Keamanan P.B.B. Lloyd Austin mengatakan bantuan semacam itu dapat “memberanikan” Pyongyang untuk meningkatkan aktivitas destabilisasinya, termasuk uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) baru-baru ini.
Ketentuan siber dan ruang angkasa yang ditingkatkan dalam perjanjian Korea Selatan-A.S. tidak hanya mengatasi ancaman spesifik dari Korea Utara dan Rusia tetapi juga mengantisipasi tantangan di masa depan. “Jika Korea Selatan mendeteksi pergerakan, seperti ICBM yang sedang dipindahkan, informasi itu sangat berharga bagi kedua negara,” ungkap Bruce Bennett, menggarisbawahi peran penting intelijen waktu nyata dalam melawan ancaman rudal.
Felix Kim merupakan kontributor FORUM yang memberikan laporan dari Seoul, Korea Selatan.