Asia TenggaraKepentingan Bersama GlobalKonflik / Ketegangan

Akses internet dan kredibilitas anjlok di Myanmar, demikian menurut temuan laporan

Staf FORUM

Myanmar, terperosok dalam perang saudara yang dipicu oleh kudeta militer pada bulan Februari 2021, telah bergabung dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di bagian bawah dari penilaian tahunan kebebasan internet di 72 negara di seluruh dunia.

Peringkat Freedom House mengevaluasi akses internet, batasan konten, dan pelanggaran hak pengguna di berbagai negara, yang terdiri dari sekitar 87% pengguna internet global. Lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Washington, D.C. ini memajukan demokrasi dan memantau kebebasan politik dan ekonomi.

Sejak merebut kekuasaan dari pemerintah yang terpilih secara demokratis, “militer Myanmar telah melakukan tindakan keras secara brutal terhadap perbedaan pendapat dan memenjarakan ribuan orang sebagai pembalasan atas ucapan online mereka, semuanya seraya membangun sensor massal dan rezim pengawasan untuk menekan kegiatan aktivis prodemokrasi sipil dan kelompok perlawanan bersenjata,” demikian menurut pernyataan Freedom on the Net, yang dirilis pada pertengahan Oktober 2024. Rezim militer mengintensifkan penindasan digitalnya pada Mei 2024 dengan memblokir sebagian besar jaringan pribadi virtual (VPN), yang meniadakan cara bagi pengguna untuk memintas kontrol internet.

Junta militer Myanmar telah melakukan serangan bumi hangus yang mematikan terhadap lawan sipil domestiknya. Menyusul pembantaian berbulan-bulan, kelompok perlawanan yang terdiri dari warga sipil prodemokrasi dan etnis minoritas telah mengalahkan pasukan junta dan menduduki wilayah di daerah perbatasan, termasuk Negara Bagian Shan di sepanjang perbatasan Myanmar-RRT. Militer, dengan citra tak terkalahkan yang telah ternoda, sekarang semakin bergantung pada serangan udara.

Konflik ini telah menghancurkan perdagangan perbatasan RRT yang sebelumnya kuat dengan Myanmar dan mengancam proyek infrastruktur yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengaruh Beijing dan memberinya akses ke Samudra Hindia. Upaya RRT untuk memfasilitasi gencatan senjata telah gagal.

Kelompok perlawanan pada September 2024 menolak rencana perdamaian yang konon ditawarkan junta Myanmar, yang merupakan penawaran pertama dari kediktatoran militer itu sejak merebut kekuasaan, demikian menurut laporan BBC. Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang terasingkan mengatakan proposal itu tidak layak dipertimbangkan.

Penilaian Freedom House adalah yang pertama kali dalam lebih dari satu dekade di mana RRT tidak berdiri sendiri sebagai pecundang terburuk di dunia dalam kebebasan internet. Beijing terus mengisolasi internet domestiknya, memblokir lalu lintas internasional ke beberapa situs web pemerintah, dan mendenda orang yang menggunakan VPN. Pihaknya juga menekan perbedaan pendapat, menyensor diskusi online tentang orang dan pendapat yang melawan posisi pemerintah.

Sementara warga Tiongkok telah menghadapi sensor online sistematis selama beberapa dekade, masyarakat Myanmar tidak terbiasa dengan pembatasan internet yang kejam, demikian kata Kian Vesteinsson, rekan penulis laporan itu. Taktik pemimpin kudeta antara lain memblokir situs berita independen dan melakukan pemutusan internet, demikian menurut laporan organisasi berita Voice of America.

Peringkat Myanmar tahun 2024 sangat kontras dengan nilai tinggi yang diperolehnya pada tahun 2014, ketika Freedom House menilai internet negara tersebut sebagai “sebagian bebas” setelah penghapusan sensor pers prapublikasi dan peningkatan ketersediaan kartu SIM ponsel yang memungkinkan pengguna untuk terhubung ke jaringan, demikian menurut laporan majalah The Diplomat. Sejak kudeta, ketersediaan dan keandalan internet telah memburuk.

“Saya merasa sekarat akibat cemas,” demikian kata Li Mianzhen, seorang pengungsi Myanmar di kota Ruili Tiongkok kepada BBC. “Perang ini telah membawa begitu banyak kemalangan bagi kami. Kapan semua ini akan berakhir?”

NUG, yang didirikan oleh para legislator yang menghindari penangkapan selama kudeta, mengeluarkan pernyataan yang mengutuk tindakan junta “yang membatasi dan memblokir hak asasi manusia,” demikian menurut laporan The Associated Press pada Juni 2024. NUG berjanji “akan membangun jaringan internet independen di tempat yang bebas dari kendali militer teroris.”

Di seluruh dunia, kebebasan internet menurun selama 14 tahun berturut-turut, demikian menurut laporan Freedom House. Puluhan negara telah mengadakan atau berencana untuk mengadakan pemilu pada tahun 2024, yang telah memicu langkah represif seperti memblokir situs web, membatasi akses ke platform media sosial, dan memutuskan konektivitas internet.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button