Di tengah ancaman, negara-negara berpandangan serupa meningkatkan upaya untuk menjaga jalur laut tetap terbuka bagi perdagangan dan keamanan

Staf FORUM
Amerika Serikat dan Sekutu serta Mitranya telah menegaskan kembali bahwa jalur perairan sangat penting bagi pengapalan di seluruh dunia dan harus tetap terbuka. Untuk mencapai tujuan itu, Komando Pasukan A.S. di Indo-Pasifik (USINDOPACOM), Komando Pasukan A.S. Wilayah Tengah (USCENTCOM), dan pihak-pihak lain tengah meningkatkan kampanye Operasi Semua Ranah Gabungan (Combined Joint All-Domain Operation – CJADO), inisiatif internasional yang bertujuan untuk menjaga keselamatan pergerakan kapal kargo dan militer saat melintasi samudra dan lautan yang bersifat kritis dalam sudut pandang strategis.
Lebih dari 80% barang di dunia yang diangkut oleh kapal bergerak melintasi jalur laut dan titik keluar masuk rawan di Indo-Pasifik, mulai dari Samudra Hindia hingga Laut Jepang dan termasuk selat Luzon, Malaka, Singapura, dan Taiwan. Sejumlah besar kargo juga bergerak melintasi perairan Timur Tengah seperti Teluk Aden, Laut Merah, Laut Mediterania, Selat Hormuz, dan Selat Bab al-Mandab, bersama dengan jalur perlintasan yang jauh seperti perairan di lepas pantai Tanduk Afrika dan Terusan Panama.
Angkatan laut, angkatan udara, dan angkatan darat Sekutu dan Mitra menggelar latihan dan transit rutin untuk memastikan kelangsungan hidup jalur komunikasi laut (sea lines of communication – SLOC) ini. Mereka menggunakan satelit, sensor, pesawat terbang dan drone laut nirawak, serta teknologi lain untuk meningkatkan kesadaran ranah maritim, dan berbagi informasi untuk membantu mengungkap adanya penyimpangan.
Namun, aktor-aktor jahat tetap ada dan mengancam jalur perlintasan laut tradisional. Misalnya, pada Juni 2024, pelaku penyerangan Tiongkok menyerang perahu yang memasok ulang perbekalan ke pos terdepan militer Filipina di Second Thomas Shoal di Laut Cina Selatan, menebas lambung perahu karet dengan pisau, menghancurkan peralatan, menyita persenjataan, dan melukai anggota kru pasokan ulang perbekalan. Seorang Pelaut Filipina kehilangan ibu jarinya dalam perkelahian itu. Serangan tersebut terjadi meskipun mahkamah internasional pada tahun 2016 telah memutuskan bahwa wilayah itu berada di dalam zona ekonomi eksklusif Filipina. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menolak keputusan itu dan mengajukan klaim palsu bahwa sebagian besar daerah di Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya.

FOTO DIAMBIL DARI: ANGKATAN BERSENJATA FILIPINA/THE ASSOCIATED PRESS
Pengabaian RRT terhadap supremasi hukum merupakan cerminan tindakan agresif pemberontak Houthi di Yaman yang telah menyerang kapal-kapal di Teluk Aden, termasuk menenggelamkan kapal muatan curah MV Rubymar dan MV Tutor. Serangan Houthi, yang telah mengganggu perdagangan global dan menewaskan sedikitnya empat pelaut, menunjukkan konsekuensi menghancurkan dari tindakan mereka yang mengabaikan hukum maritim internasional.
“Konflik bukannya akan segera terjadi maupun tidak dapat dihindari,” ungkap Laksamana John Aquilino, yang saat itu menjabat sebagai Komandan USINDOPACOM, kepada Kongres pada Mei 2024, “tetapi musuh potensial kita telah menjadi semakin agresif dan berupaya memaksakan kehendak mereka dengan mengorbankan negara-negara berpandangan serupa yang menganut tatanan berbasis aturan.”
Kampanye CJADO membahas skenario ini dan menyerukan peningkatan kolaborasi di antara Komando Prajurit A.S. dan Sekutu serta Mitra internasional mereka untuk melindungi SLOC. Komando Operasi Khusus dan USINDOPACOM, misalnya, telah mempraktikkan operasi untuk melawan potensi tindakan yang dimaksudkan untuk mengganggu perdagangan maritim. Dalam rangka menunjukkan penangkalan terpadu, lebih dari 13 kapal dan pesawat terbang baru-baru ini melakukan latihan kebebasan navigasi (freedom of navigation – FONOP) serentak di sepanjang sembilan jalur laut vital di seluruh dunia.