Vietnam bergabung dengan Filipina dalam klaim landas kontinen dan menantang keangkuhan RRT di Laut Cina Selatan

Maria T. Reyes
Vietnam mengajukan klaim kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa pada pertengahan Juli 2024 untuk memperluas landas kontinennya di Laut Cina Selatan, sebulan setelah Filipina melakukan tindakan serupa dalam menghadapi semakin meningkatnya keangkuhan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di jalur perairan strategis itu.
Kementerian Luar Negeri Vietnam mengatakan bahwa negara itu memiliki “dasar hukum dan ilmiah penuh untuk menyatakan bahwa pihaknya berhak atas landas kontinen yang membentang lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.” Hanoi menyebut perairan itu sebagai Laut Timur.
Menurut Konvensi P.B.B. tentang Hukum Laut (UNCLOS), landas kontinen suatu negara pesisir “terdiri dari dasar laut dan tanah di bawahnya dari wilayah bawah laut yang membentang melampaui laut teritorialnya di sepanjang perpanjangan alami wilayah daratannya hingga ke tepi luar batas landas kontinennya.” UNCLOS memberikan hak eksklusif kepada berbagai negara untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya maritim, seperti perikanan serta cadangan minyak dan gas, di dalam landas kontinen mereka, yang tidak boleh melebihi 350 mil laut (sekitar 650 kilometer) dan mencakup zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil laut negara itu.
Dalam pengajuannya kepada P.B.B., Filipina berupaya untuk “menetapkan batas terluar landas kontinennya” hingga 350 mil laut di lepas pantai Pulau Palawan, Filipina barat.
RRT mengklaim hampir seluruh wilayah di Laut Cina Selatan, mengabaikan keputusan mahkamah internasional pada tahun 2016 yang menolak penegasan teritorial itu karena dianggap tidak sah secara hukum. Kapal-kapal pasukan penjaga pantai dan milisi maritim Tiongkok terus memblokir dan mengganggu kapal-kapal negara penggugat lainnya, termasuk Malaysia, Filipina, dan Vietnam, yang beroperasi secara sah di dalam ZEE negara mereka masing-masing.
RRT juga telah membangun dan memiliterisasi fitur maritim buatan untuk mendorong klaim teritorialnya di jalur perdagangan global itu.
“Vietnam semakin dihormati dan dikagumi oleh negara-negara berpandangan serupa mengenai cara menyelesaikan persoalan pelik di [Laut Cina Selatan] secara damai,” ungkap Chester Cabalza, presiden wadah pemikir International Development and Security Cooperation yang berkantor pusat di Manila, kepada FORUM. “Pelajaran terbesar yang diberikan Vietnam kepada kawasan ini menunjukkan bahwa Tiongkok bukanlah satu-satunya pemilik Laut Cina Selatan dan perairan yang disengketakan itu terbuka bagi semua pihak untuk mendorong Indo-Pasifik yang bebas dan sejahtera.”
Dalam tanggapannya terhadap pengajuan Vietnam, Filipina menyatakan siap untuk melibatkan Hanoi dalam mencapai solusi yang saling menguntungkan terhadap permasalahan di Laut Cina Selatan, sesuai dengan hukum internasional. Vietnam juga memberikan tanggapan serupa ketika Filipina mengajukan klaimnya.
Dengan “memanfaatkan relevansi tindakan hukum gabungan terhadap [perluasan landas kontinen] ranah maritim mereka,” Manila dan Hanoi menyoroti nilai dari tatanan berbasis aturan, demikian ungkap Chester Cabalza.
Tindakan itu dapat mendorong anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara lainnya dalam mengembangkan pendekatan terpadu “untuk meningkatkan pentingnya kerja sama internasional guna memelihara perdamaian dan kemakmuran di kawasan yang mengalami ketegangan ini,” ungkapnya.
Chester Cabalza mengatakan bahwa pengajuan yang disampaikan oleh Hanoi dan Manila itu dapat membantu menyelesaikan klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan dan “menjadi dasar bagi kemungkinan pedoman perilaku yang ingin dibentuk dan ditegakkan … oleh banyak negara penggugat.”
Maria T. Reyes merupakan kontributor FORUM yang memberikan laporan dari Manila, Filipina.