Keterpurukan ekonomi RRT memberi dampak buruk pada kebijakan Xi Jinping

Staf FORUM
Perekonomian Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang saat ini merupakan perekonomian terbesar kedua di dunia, terus melambat, dengan pertumbuhan melambat menjadi 4,7% pada kuartal kedua, turun dari 5,3% pada kuartal pertama dan lebih rendah dari perkiraan, demikian menurut para analis.
Pada saat yang sama, banyak analis meragukan RRT dapat mengatasi masalah itu dengan mudah untuk meringankan kesulitan ekonomi bagi warganya mengingat sasaran agresif Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping agar negaranya mampu menyalip keunggulan manufaktur, kepemimpinan teknologi, dan kekuatan militer Amerika Serikat dan sekutunya. Kurangnya transparansi rezim ini semakin memperburuk kekhawatiran.
Perekonomian Tiongkok menunjukkan “ketidakseimbangan parah,” demikian menurut Wei Yao, kepala ekonom Tiongkok di Societe Generale, lembaga kredit Prancis. “Perekonomian berjalan tertatih-tatih karena menurunnya permintaan eksternal dan dorongan dari sisi penawaran, sementara itu permintaan domestik masih sangat tertekan,” tulisnya dalam catatan penelitian pada Juli 2024, seperti yang dilaporkan surat kabar The Wall Street Journal.
Banyak analis menyalahkan kemerosotan ekonomi itu pada bencana properti, melemahnya belanja konsumen, dan meningkatnya ketegangan perdagangan dengan sebagian besar negara di dunia, yang sebagian besar disebabkan oleh agresi politik dan teritorial Xi Jinping, demikian yang dilaporkan The Wall Street Journal.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, setidaknya 50 perusahaan pengembang Tiongkok, termasuk beberapa yang terbesar di negara itu, telah gagal membayar utang internasional yang jumlahnya mencapai ratusan miliar dolar, dan lebih dari 500.000 orang telah kehilangan pekerjaan, demikian menurut Keyan, wadah pemikir yang mengkhususkan diri dalam properti Tiongkok. Sebelumnya, sektor real estat dan industri terkait menyumbang sekitar 25% dari produk domestik bruto RRT. Sementara itu, lebih dari 20 juta rumah baru di berbagai penjuru Tiongkok dibeli tetapi tidak pernah selesai dibangun, sehingga membuat para pembeli terlantar, demikian menurut berbagai laporan berita.
Berbagai provinsi dan kota di Tiongkok juga dibebani utang yang jumlahnya mencapai triliunan dolar, demikian menurut para analis. Para pengamat melaporkan bahwa bunga utang menyebabkan pemerintah daerah tidak mampu menyediakan layanan dan mengeluarkan anggaran untuk memenuhi kebutuhan warga.
Krisis real estat di Tiongkok telah merembet ke sektor perbankannya. Pada Mei 2024, surat kabar The Economist melaporkan bahwa 3.800 lembaga perbankan, atau 13% dari sistem perbankan Tiongkok, yang memegang aset senilai sekitar 122,32 kuadriliun rupiah (7,5 triliun dolar A.S.), berada dalam bahaya. Dalam satu minggu pada bulan Juli, 40 bank bangkrut, yang dapat menandakan adanya masalah lebih lanjut, demikian ungkap para analis. Pemberi pinjaman yaitu Liaoning Rural Commercial Bank mengambil alih 36 bank yang bangkrut itu, demikian yang dilaporkan The Economist.
Para analis berpendapat, tanpa adanya reformasi transparan terhadap kelemahan sistemis, sektor perbankan RRT akan tetap berisiko. Banyak analis menganjurkan lebih banyak stimulus untuk merevitalisasi pembelanjaan dan reformasi ekonomi untuk memulihkan kepercayaan sektor swasta, demikian menurut The Wall Street Journal.
Pada akhir Juli, bank sentral RRT, People’s Bank of China, melonggarkan kebijakan moneternya dengan sedikit memangkas fasilitas pinjaman jangka menengah, suku bunga yang memungkinkan bank untuk memberikan pinjaman kepada perorangan dan bisnis, demikian yang dilaporkan The Wall Street Journal.
Akan tetapi, banyak ekonom meragukan langkah itu akan berdampak besar dalam memperbaiki masalah yang mengakar dalam perekonomian dan sektor keuangan RRT yang bermasalah. Mereka juga meragukan bahwa stimulus tambahan akan segera diberikan mengingat beban utang RRT dan risiko kehilangan lebih banyak investasi asing.
Selain itu, para analis mencatat bahwa investasi besar Xi Jinping dalam manufaktur mutakhir telah mempercepat deflasi.
“Sekalipun produsen Tiongkok sangat kompetitif dan pertumbuhan ekspor negara itu tetap kuat, kondisi ini tidak cukup untuk mengimbangi lemahnya permintaan domestik,” tulis Donald Low, profesor di Hong Kong University of Science and Technology, di majalah The Diplomat pada Juli 2024.
“Perkembangan dalam lanskap perekonomian Tiongkok menunjukkan bahwa perekonomian Tiongkok mungkin lepas dari kendali Xi Jinping. Setelah beberapa upaya yang mengalami kegagalan untuk menghidupkan kembali perekonomian, tanda-tanda yang muncul adalah bahwa Xi Jinping beralih ke perekonomian yang lebih terencana untuk memecahkan masalah ini,” tulis Simone Gao, jurnalis independen, pada bulan itu untuk situs web The Hill.
Pertanyaan Donald Low adalah apakah kebijakan Xi Jinping untuk melakukan pendekatan rekayasa sosial yang didominasi negara terhadap industri dapat membawa manfaat.
“Ketika kebijakan didorong oleh arahan bermotivasi ideologis dari atas, alih-alih oleh isyarat pasar, kebijakan itu cenderung bergeser dari satu sisi ekstrem ke sisi ekstrem lainnya,” tulisnya di The Diplomat.
Dia mengutip tindakan tegas regulator Tiongkok pada akhir tahun 2020 terhadap industri internet, termasuk perniagaan elektronik, game, dan pembiayaan konsumen, yang menyebabkan hilangnya lebih dari 60% kapitalisasi pasar. Dia juga mencatat kebijakan COVID-19 PKT yang berubah dari langkah pengendalian pembatasan ketat menjadi pelonggaran tiba-tiba dan upaya serupa untuk menstabilkan kondisi perekonomian dengan menekan konsumsi dan meningkatkan tabungan. “Sebagai konsekuensinya, Tiongkok tidak pernah mengalami pemulihan pasca-COVID seperti yang dialami hampir semua negara besar lainnya,” tulis Donald Low.
Isyarat campur aduk dan perubahan kebijakan secara tiba-tiba yang dilakukan negara itu memperburuk guncangan pasar, sehingga menyulitkan perencanaan jangka panjang bagi perusahaan dan perorangan karena menekan kepercayaan konsumen.
“Alih-alih melindungi perekonomian dari guncangan eksternal serta memperkuat fleksibilitas dan ketahanannya, pemerintah yang lebih berorientasi pada ideologi dan terobsesi pada keamanan mungkin menyebabkan ketidakpastian dan volatilitas, serta menunda pemulihannya,” tulis Donald Low.