Asia TenggaraIndo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka / FOIP

Pembangunan pulau buatan Vietnam mendapatkan tanggapan terukur dari Filipina dan berbagai negara tetangga lainnya

Staf FORUM

Vietnam sedang mempercepat proyek pulau buatannya di Laut Cina Selatan yang disengketakan, langkah yang bertujuan untuk melawan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), demikian ungkap para analis. Dengan mengeruk dasar laut dan menumpuk material di atas terumbu karang di Kepulauan Spratly, Hanoi menambah lebih dari 280 hektare lahan di antara November 2023 hingga Juni 2024, demikian yang dilaporkan Asia Maritime Transparency Initiative di Center for Strategic and International Studies yang berkantor pusat di Washington, D.C. Angka ini lebih banyak daripada luas gabungan lahan yang diciptakan Vietnam selama dua tahun sebelumnya.

RRT telah membangun pulau-pulau buatan selama setidaknya satu dekade dan melakukan militerisasi besar-besaran terhadap berbagai fitur di jalur perairan yang disengketakan itu. Beijing mengklaim bahwa negara lain memerlukan izin untuk berlayar di dekat pulau-pulau buatannya. Penegasan itu tidak memiliki dasar hukum, dan berbagai negara termasuk Amerika Serikat melakukan operasi kebebasan navigasi rutin di perairan internasional di dekat Kepulauan Spratly.

RRT, yang menentang hukum internasional dan keputusan mahkamah internasional pada tahun 2016, mengklaim sebagian besar wilayah di Laut Cina Selatan, termasuk Kepulauan Spratly, yaitu kumpulan lebih dari 100 pulau kecil dan terumbu karang strategis yang dikelilingi oleh kekayaan sumber daya perikanan serta potensi cadangan minyak dan gas. Kepulauan itu terletak di tengah-tengah di antara Filipina dan Vietnam, ratusan kilometer dari daratan RRT.

Klaim Kepulauan Spratly yang dilakukan RRT tidak hanya tumpang tindih dengan klaim Vietnam tetapi juga dengan klaim Malaysia, Filipina, dan Taiwan.

RRT semakin agresif terhadap negara-negara penggugat lainnya yang menjadi pesaingnya, khususnya Filipina, yang zona ekonomi eksklusif (ZEE)-nya yang diakui secara internasional membentang hingga ke kepulauan itu. Negara-negara lain yang menegaskan kedaulatan atas pulau-pulau itu telah mengambil pendekatan yang lebih diplomatis.

Laksamana Pertama Angkatan Laut Filipina Roy Vincent Trinidad mengatakan para pejabat sedang memantau pembangunan pulau buatan Vietnam tetapi mengindikasikan adanya tanggapan terukur, demikian menurut Radio Free Asia.

Filipina dan Vietnam memiliki “hubungan yang bersahabat,” demikian ungkap Roy Vincent Trinidad, sembari menambahkan, “Vietnam tidak memprakarsai tindakan ilegal, koersif, agresif, dan menipu terhadap kami, tidak seperti Tiongkok.”

Laksamana Pertama Pasukan Penjaga Pantai Filipina Jay Tarriela mengatakan kepada jurnalis bahwa Vietnam “tidak terlibat dalam upaya mengganggu nelayan kami atau mengerahkan secara ilegal kapal pasukan penjaga pantai dan milisi maritim di perairan di sekitar fitur maritim yang kami duduki.”

RRT telah mengintensifkan kampanyenya untuk mengintimidasi Filipina di Laut Cina Selatan seiring dengan tekanan yang dilakukan Tiongkok terhadap banyak negara di Asia Tenggara. Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. telah berjanji bahwa negaranya, yang sudah lama memiliki perjanjian pertahanan timbal balik dengan A.S., tidak akan menyerahkan wilayahnya.

Dalam bentrokan baru-baru ini di dekat Second Thomas Shoal, lokasi pos terdepan militer Manila, anggota pasukan penjaga pantai Tiongkok menggunakan senjata tajam untuk merusak perahu karet Filipina sebelum menaiki dan menjarah kapal-kapal itu, demikian menurut Angkatan Bersenjata Filipina. Serangan itu melukai delapan Pelaut Filipina, demikian menurut berbagai laporan.

Selama lebih dari satu dekade, RRT juga menghalangi anjungan pengeboran Vietnam di perairan Hanoi, demikian yang dilaporkan majalah Foreign Policy. Demikian pula, di perairan yang diklaim Malaysia — dan merupakan wilayah yang memiliki cadangan minyak dan gas — RRT mempertahankan kehadirannya hampir secara konstan, demikian menurut surat kabar The Washington Post.

Sebaliknya, Filipina dan Vietnam telah sepakat untuk mendorong dialog dan membentuk mekanisme pembangunan kepercayaan seperti saluran hotline. Para analis mengatakan nota kesepahaman kedua negara yang ditandatangani pada Januari 2024 dapat membawa tonggak sejarah seperti perjanjian tahun 2022 di antara Indonesia dan Vietnam yang menetapkan batas-batas ZEE mereka di Laut Cina Selatan.

Selain mendukung mata pencaharian di seluruh kawasan ini, laut itu juga penting bagi pengapalan internasional, dengan lalu lintas transit perdagangan yang diperkirakan mencapai 82 kuadriliun rupiah (5 triliun dolar A.S.) setiap tahunnya.

A.S., yang menjunjung tinggi kebebasan navigasi dan melindungi jalur komunikasi laut secara global, mendukung disepakatinya pedoman perilaku yang bersifat mengikat di kawasan ini. Negosiasi formal untuk mencapai kesepakatan di antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Beijing dimulai pada tahun 2002. Akan tetapi, Partai Komunis Tiongkok telah menunda perjanjian apa pun yang dapat membatasi klaim RRT yang sangat luas itu.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button