Berbagai laporan mengatakan penangkapan ikan ilegal RRT merugikan komunitas Afrika Timur

RADIO FREE ASIA
Industri perikanan global bernilai miliaran dolar yang didukung oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mendorong lonjakan kapal-kapal yang melakukan aktivitas ilegal dan mengeksploitasi wilayah penangkapan ikan di lepas pantai Afrika Timur, demikian menurut kelompok lingkungan hidup yang berkantor pusat di London.
“Sebelum perahu nelayan Tiongkok datang ke sini, kami bisa mengharapkan hasil tangkapan yang bagus jika kami menebarkan jala, meskipun kami hanya menebarkan jala tiga kali,” ungkap seorang nelayan Mozambik kepada Environmental Justice Foundation yang berkantor pusat di Britania Raya. “Sekarang kami harus berada di laut sepanjang hari untuk menangkap ikan dalam jumlah yang cukup.”
“Ini sangat memilukan, karena ikan-ikan ini bukan hanya untuk kami, tapi juga untuk anak-anak kami,” ungkapnya. “Mereka telah menghancurkan mata pencarian kami di masa depan.”
Armada penangkapan ikan RRT yang sangat besar, yang menebarkan jaringnya hingga ke Amerika Latin, Afrika Barat, dan Antartika, telah menambah tekanan pada stok ikan di seluruh dunia, demikian menurut organisasi yang memantau masalah ini dalam beberapa tahun terakhir ini.
Armada kapal pukat jarak jauh yang didukung pemerintah dengan cepat menguras ikan dalam jumlah besar, menghabiskan stok ikan, mengganggu siklus perkembangbiakan, dan mencemari garis pantai Kenya, Madagaskar, Mozambik, dan Tanzania dengan tumpukan besar ikan buangan yang dinilai tidak cukup berharga untuk diolah, demikian ungkap saksi mata setempat kepada yayasan itu.
Mozambik merupakan salah satu negara termiskin di dunia, dengan sekitar dua pertiga penduduknya tinggal di pesisir dan mengandalkan laut untuk mata pencaharian mereka.
Tetapi laporan itu — yang merupakan laporan pertama yang menjelaskan secara detail operasi penangkapan ikan RRT di Samudra Hindia barat daya — menyatakan bahwa banyak kapal dalam armada itu menunjukkan “perilaku ilegal, tidak berkelanjutan, dan menyiksa terhadap ekosistem laut dan sama halnya terhadap anak buah kapalnya.”
Laporan yang berjudul “Tide of Injustice: Exploitation and illegal fishing on Chinese vessels in the Southwest Indian Ocean (Gelombang Pasang Ketidakadilan: Eksploitasi dan penangkapan ikan ilegal di atas kapal Tiongkok di Samudra Hindia Barat Daya)” menemukan 86 kasus penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah itu di antara tahun 2017 dan 2023, setengahnya terkait dengan kapal penangkap ikan RRT.
Penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia ditemukan sebagai hal yang umum terjadi, termasuk pengambilan sirip hiu secara rutin, penangkapan dan/atau pencederaan satwa laut yang rentan dengan sengaja, dan anak buah kapal yang mengalami kekerasan fisik, kondisi kerja dan kehidupan yang menyiksa, intimidasi, dan ancaman, demikian ungkap laporan itu.
Para peneliti mewawancarai lusinan nelayan Mozambik dan mantan anak buah kapal penangkap ikan RRT.
“Semua nelayan yang diwawancarai oleh yayasan itu yang pernah bekerja di armada tuna Tiongkok di Samudra Hindia barat daya … mengalami atau menyaksikan beberapa bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan/atau penangkapan ikan ilegal,” ungkap kelompok itu dalam laporan pada tanggal 6 Juni.
Menurut Indeks Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diregulasi, RRT menempati peringkat sebagai pelanggar terburuk di antara 152 negara yang dinilai.
Kekerasan juga sering kali terjadi di atas kapal-kapal RRT, demikian ungkap Manajer Asia Timur yayasan itu, Chiu Shao-Chi.
Chiu Shao-Chi mengatakan 54% orang yang diwawancarai menyaksikan atau mengalami pemukulan dan penyerangan, termasuk dengan pisau dan peralatan logam, tendangan, dan bentuk penganiayaan lainnya.
Sekitar 70% orang yang diwawancarai melaporkan bahwa mereka dianiaya atau diintimidasi secara verbal, terkadang bersamaan dengan kekerasan fisik, oleh atasan mereka.
Dan sekitar 93% mengatakan mereka dibayar rendah atau dipotong gajinya tanpa alasan yang jelas, yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan dolar.
Beberapa dari mereka dipaksa mengambil pinjaman untuk mendapatkan pekerjaan dan dipaksa membayar kembali biaya makanan, transportasi, dan perawatan kesehatan kepada majikan mereka, serta melunasi pinjaman tersebut.
“Banyak nelayan mengatakan kepada kami bahwa mereka pada dasarnya diperbudak,” ungkap Chiu Shao-Chi.
Laporan itu menemukan bahwa sektor perikanan yang terpencil, ditambah dengan kurangnya transparansi di seluruh industri ini, terus mempersulit proses identifikasi dan penuntutan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusianya, khususnya ketika kapal-kapal itu beroperasi jauh dari pelabuhan asal mereka.
Perusahaan makanan laut di RRT, yang sering kali merupakan badan usaha milik negara atau disubsidi dan didukung oleh pejabat lokal Partai Komunis Tiongkok yang berkuasa, telah melakukan penangkapan ikan di Samudra Hindia barat daya selama bertahun-tahun.
“Selama 25 tahun terakhir ini, penangkapan ikan berlebihan yang dilakukan oleh armada industri dan meluasnya penangkapan ikan ilegal, tidak diregulasi, atau tidak dilaporkan telah menyebabkan penurunan produksi perikanan subsisten sebesar 30% di Mozambik,” ungkap Chiu Shao-Chi, yang mengutip data pemerintah setempat.
Mozambik kehilangan pendapatan sekitar 1,15 triliun rupiah (70 juta dolar A.S.) setiap tahunnya “akibat maraknya penangkapan ikan ilegal, yang berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional dan mata pencaharian penduduk pesisir,” ungkapnya.