Jepang memperluas kemampuan pertahanan bawah air untuk mengatasi ancaman RRT
Marc Jacob Prosser
Tokyo semakin berfokus pada keamanan maritim dan kemampuan pertahanan bawah air ketika ketegangan regional, khususnya agresi angkatan laut Republik Rakyat Tiongkok (RRT), tampak menghantui.
Jepang akan mengembangkan kendaraan bawah air otonom (autonomous underwater vehicle – AUV), bersama dengan kapal selam canggih dan teknologi antikapal selam, sembari meningkatkan kolaborasi dan interoperabilitas dengan sekutu dan mitra, demikian menurut Kantor Kabinet Perdana Menteri Fumio Kishida.
Pemosisian strategis Tokyo mencakup kebutuhan untuk meningkatkan pemantauan bawah laut serta memastikan keamanan jalur pengapalannya dan jalur komunikasi laut lainnya, yang merupakan arteri penting bagi perdagangan internasional dan stabilitas ekonomi.
Para analis mengatakan inisiatif itu dapat memberikan dorongan signifikan terhadap kemampuan bawah air Jepang dan meningkatkan kemampuan pertahanan bersama negara itu dengan sekutu lamanya, Amerika Serikat.
“Meningkatkan kemampuan untuk memvisualisasikan samudra di sekitarnya dan apa yang terjadi di dalamnya sangat penting untuk merespons potensi ancaman, seperti kapal selam,” ungkap Bonji Ohara, peneliti senior di Sasakawa Peace Foundation, kepada FORUM.
Rencana Tokyo menyerukan produksi dalam negeri tiga jenis AUV paling lambat pada tahun 2030: model canggih untuk operasi laut dalam, model lebih kecil untuk perairan dangkal, dan model tujuan khusus. Pasukan Bela Diri Maritim Jepang mengatakan kendaraan itu akan melakukan pengawasan, pemetaan topografi dasar laut, dan pemantauan lingkungan, serta tugas-tugas lainnya.
Jepang telah melakukan penelitian bersama mengenai drone bawah air dengan Australia, demikian yang dilaporkan surat kabar The Japan Times. Sasaran kolaborasi itu mencakup interoperabilitas dan pembagian informasi. Inisiatif pertahanan bawah laut Jepang juga mencakup kerja sama trilateral dengan Korea Selatan dan A.S. mengenai potensi ancaman kapal selam, dan negara-negara itu mengakui tantangan yang ditimbulkan oleh aktivitas maritim Beijing.
Sengketa di antara RRT dan negara pesisir lainnya mengenai jalur laut dan wilayah maritim telah meningkatkan ketegangan. Pada November 2023, Canberra menuduh kapal perang Tiongkok menyebabkan cedera pada penyelam Angkatan Laut Australia karena menggunakan sonarnya di dekat mereka saat mereka membersihkan jaring ikan dari baling-baling kapal mereka.
Ancaman yang ditimbulkan oleh potensi Beijing untuk memperluas kehadiran kapal selam rudal balistiknya di Laut Jepang menghadirkan masalah keamanan tambahan bagi Jepang, yang telah meresponsnya dengan investasi dalam aset pertahanan bawah air, termasuk kapal selam kelas Taigei yang dilengkapi dengan teknologi canggih.
Penambahan armada AUV oleh Jepang dapat menjadi terobosan mengesankan bagi keseimbangan kekuatan maritim di kawasan ini, demikian ungkap Nozomu Yoshitomi, seorang profesor di Fakultas Manajemen Risiko Nihon University, kepada FORUM.
Dia mencatat bahwa meskipun Jepang memiliki 22 kapal selam aktif, siklus pengerahan membuat jumlah kapal selam yang beroperasi pada waktu tertentu menjadi lebih rendah. Kapal-kapal itu berpatroli di bentang laut yang luas, termasuk Laut Cina Timur, Laut Jepang, Laut Okhotsk, dan Pasifik Barat.
Rendahnya kemampuan terdeteksi dan tingginya daya tahan AUV merupakan keunggulan strategis dalam mengawasi titik keluar masuk maritim rawan dan kritis serta melindungi aset bawah air, seperti kabel komunikasi.
“Armada AUV bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi tantangan ini,” ungkap Nozomu Yoshitomi, mayor jenderal purnawirawan Pasukan Bela Diri Darat Jepang. “Ini akan sangat membantu sekutu seperti Amerika Serikat dan menjadi mimpi buruk bagi Tiongkok karena menghalangi kebebasan beroperasi kapal selamnya.”
Marc Jacob Prosser merupakan koresponden FORUM yang memberikan laporan dari Tokyo.