Di tengah paksaan RRT, Undang-Undang Hubungan Taiwan mendukung perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan
Staf FORUM
Pesan itu, yang disampaikan dalam pertemuan tatap muka baru-baru ini di antara pejabat pertahanan Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), tidak berubah: A.S. tetap berkomitmen pada kebijakan “Satu Tiongkok” yang sudah lama diterapkannya, dengan berpedoman pada Undang-Undang Hubungan Taiwan (Taiwan Relations Act – TRA).
Michael Chase, wakil asisten menteri pertahanan A.S. untuk Tiongkok, Taiwan, dan Mongolia, menegaskan kembali pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan, jalur perairan internasional utama bagi perniagaan global, selama pertemuan pada Januari 2024 di Washington, D.C., dengan Mayor Jenderal Song Yanchao, wakil direktur kantor Komisi Militer Pusat untuk kerja sama militer internasional RRT.
Kebijakan Satu Tiongkok tidak berubah sejak tahun 1979, ketika A.S. mengakui RRT sebagai “satu-satunya pemerintahan sah Tiongkok” tetapi tidak mengambil posisi mengenai status Taiwan.
TRA, yang menjadi komponen utama hubungan A.S. dengan Taiwan, merayakan hari jadinya yang ke-45 pada tanggal 10 April. Kongres A.S. menyetujui TRA, dan Presiden A.S. saat itu Jimmy Carter menandatanganinya menjadi undang-undang setelah Washington mengatakan pihaknya akan meresmikan hubungan diplomatik dengan RRT. Undang-undang itu mengesahkan hubungan diplomatik tidak resmi dan ekonomi di antara Taiwan dan A.S., dengan menyatakan bahwa agresi dan sanksi ekonomi terhadap pulau yang memiliki pemerintahan mandiri itu akan dipandang sebagai ancaman terhadap perdamaian di Indo-Pasifik dan “keprihatinan serius bagi Amerika Serikat.”
Undang-undang itu memberikan kepastian bagi Taiwan dan dimaksudkan untuk menangkal RRT agar tidak menginvasi pulau itu, yang diklaim Beijing sebagai wilayahnya dan mengancam akan mencaploknya. Undang-undang itu menetapkan bahwa A.S. akan menyediakan “perlengkapan pertahanan dan layanan pertahanan” bagi Taiwan untuk “mempertahankan kemampuan pertahanan mandirinya.” A.S. menyediakan bantuan militer hingga 31,33 triliun rupiah (2 miliar dolar A.S.) per tahun kepada Taiwan hingga tahun 2027 berdasarkan Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional tahun 2023.
TRA juga dirancang “untuk memperjelas bahwa keputusan Amerika Serikat untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok didasarkan pada harapan bahwa masa depan Taiwan akan ditentukan dengan cara damai.” Meskipun A.S. memberikan bantuan militer kepada Taiwan, para analis mencatat bahwa Washington menganut kebijakan yang disebut ambiguitas strategis mengenai apakah pihaknya akan melakukan intervensi militer semisal terjadi serangan terhadap pulau itu.
Upaya Beijing untuk menindas Taiwan mencakup penerapan taktik zona abu-abu seperti mengerahkan pesawat tempur Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) di dekat pulau itu, menembakkan rudal balistik melintasi wilayah udara Taiwan, dan melakukan latihan penembakan dengan amunisi aktif berskala besar di sekitar pulau itu. Pada Februari 2024, misalnya, Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan 14 pesawat terbang PLA melakukan “patroli kesiapan tempur gabungan” dengan kapal perang Tiongkok di sekitar pulau itu, demikian menurut Reuters. Upaya pemaksaan yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok (PKT) juga mencakup larangan impor produk pertanian dan makanan laut dari Taiwan, serta menerbangkan balon pengawasan di dekat pulau itu menjelang pelaksanaan pemilu di sana.
TRA mengantisipasi upaya semacam itu yang dilakukan oleh PKT, demikian ungkap para analis. Undang-undang itu menyatakan bahwa bantuan militer A.S. dimaksudkan untuk membantu Taiwan “melawan segala upaya untuk memaksa atau bentuk pemaksaan lainnya yang akan membahayakan keamanan, atau sistem sosial atau perekonomian” rakyat Taiwan.