Asia Timur LautIndo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka / FOIPKonflik / Ketegangan

PKT gunakan hukum untuk mendapatkan keuntungan strategis

Staf FORUM

Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT), Xi Jinping, yang condong pada konvensi internasional mendukung tujuan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), seringkali dengan merugikan negara lain. Taktik “lawfare” (penyalahgunaan hukum sebagai senjata) sepihak ini adalah salah satu teknik zona abu-abu PKT dalam mencari hegemoni global, kata para analis.

PKT semakin banyak menggunakan lawfare untuk mendapatkan pengaruh di perairan Indo-Pasifik, termasuk Selat Taiwan, serta laut Cina Selatan dan Cina Timur. Saluran pengiriman yang penting bagi perdagangan dan keamanan internasional melintasi jalur perairan tersebut, dan PKT juga mengeklaim wilayah maritim di zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara lain. Di bawah hukum internasional, suatu negara memiliki hak berdaulat tunggal atas sumber daya alam, seperti ikan, minyak dan gas, dan mineral, di dalam ZEE-nya.

Kapal Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok melintas di depan kapal perusak rudal berpeluru kendali Angkatan Laut A.S. USS Chung-Hoon ketika kapal itu melakukan patroli rutin di Selat Taiwan pada bulan Juni 2023.
VIDEO DIAMBIL DARI: LT. J.G. ABIGAIL RUSSELL/ANGKATAN LAUT A.S.

Xi dan PKT mengabaikan atau salah menafsirkan hukum yang bertentangan dengan tujuan mereka untuk melakukan pemaksaan tanpa menggunakan perang tradisional. “Peningkatan penggunaan lawfare dapat menghemat sumber daya militer, mencegah perusakan properti sipil, dan menyelamatkan nyawa warga sipil dan personel militer,” tulis Jill Goldenziel, seorang profesor hukum internasional di College of Information and Cyberspace, National Defense University, kepada Cornell Law Review pada September 2021. “Hukum bukanlah senjata yang mematikan, namun, ampuh dan hanya menyisakan sedikit sekali korban jiwa di medan perang.”

Dengan bersandar pada hukum Tiongkok yang ambigu dan interpretasi yang mementingkan diri sendiri terhadap Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), Xi mengeklaim RRT memiliki hak dan yurisdiksi yang berdaulat atas Selat Taiwan, yang memisahkan Tiongkok daratan dan Taiwan, pulau dengan pemerintahan mandiri, yang diklaim PKT sebagai bagian dari RRT dan mengancam untuk mencaploknya secara paksa. Namun, banyak negara menegaskan bahwa UNCLOS memperjelas bahwa selat itu, yang lebarnya hingga 400 kilometer, dianggap sebagai perairan internasional dan, oleh karena itu, merupakan jalur vital dan dapat diakses secara universal untuk kapal.

Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok secara agresif mendorong klaim PKT, termasuk mengerahkan kapal – kapal bersenjata untuk menghalau kapal-kapal negara lain di selat itu. Ketika sebuah kapal angkatan laut Tiongkok berbelok melintasi haluan kapal perusak Angkatan Laut Amerika Serikat yang melakukan transit rutin pada Juni 2023, insiden tersebut menarik perhatian dunia. Manuver sembrono itu melanggar “aturan jalan lintas aman di perairan internasional,” kata pejabat AS.

Beijing membuat marah Taiwan pada Januari 2024 ketika mengubah rute maskapai komersial untuk melintasi garis tengah selat, yang telah lama berfungsi sebagai demarkasi tidak resmi antara Tiongkok daratan dan Taiwan. PKT mengatakan tidak mengakui garis tengah tersebut, Reuters melaporkan. Seorang pejabat Taiwan mengatakan rute baru itu mengabaikan keselamatan penerbangan, tidak menghormati Taiwan dan mencoba “mengelabui” penerbangan sipil untuk tujuan politik atau militer.

“Sepanjang 2022, PLA meningkatkan tindakan provokatif di dalam dan sekitar Selat Taiwan, termasuk penerbangan rudal balistik di atas Taiwan, yang secara signifikan meningkatkan lalu lintas penerbangan ke zona identifikasi pertahanan udara yang dideklarasikan sendiri oleh Taiwan, dan melakukan serangkaian latihan militer berskala besar di sekitar Taiwan,” kata Departemen Pertahanan A.S. dalam laporannya tahun 2023 kepada Kongres A.S. tentang perkembangan militer dan keamanan di RRT.

Mayor Jenderal Sun Li-fang, juru bicara Kementerian Pertahanan Taiwan, mengatakan tindakan RRT dapat memiliki efek yang menghancurkan, The Associated Press melaporkan pada Februari 2024. “Setiap tindakan irasional sepihak dapat dengan mudah meningkatkan ketegangan dan menyabotase stabilitas di kawasan Selat Taiwan,” kata Sun.

Klaim RRT atas hampir seluruh Laut Cina Selatan, menurut peta yang sebagian besar diabaikan, telah memicu perselisihan dengan Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam, yang mengatakan bahwa kapal-kapal Tiongkok telah menyusup ke ZEE mereka.

Hanoi telah berulang kali menuntut agar Beijing menarik kapal-kapal riset, kapal pasukan penjaga pantai, dan kapal penangkap ikan Tiongkok dari ZEE Vietnam, demikian yang dilaporkan Reuters setelah insiden pada bulan Mei 2023. Intrusi PKT ke perairan Vietnam telah “menjadi rutinitas,” kata Ray Powell, yang memimpin Proyek Myoushu dari Universitas Stanford di Laut Cina Selatan, kepada Voice of America.

Filipina dan Vietnam, yang memiliki klaim teritorial yang tumpang tindih di Laut Cina Selatan, sepakat pada Januari 2024 untuk meningkatkan kerja sama di antara pasukan penjaga pantai mereka dan berusaha menyelesaikan perselisihan secara damai. Keangkuhan PKT yang semakin menjadi membayangi kesepakatan tersebut. “Kami teguh dalam mempertahankan kedaulatan, hak kedaulatan, dan yurisdiksi kami terhadap provokasi apa pun,” kata Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr., sebelum menandatangani dua nota kesepahaman dengan Presiden Vietnam, Vo Van Thuong.

Kapal-kapal pasukan penjaga pantai dan kapal paramiliter Tiongkok telah mengganggu kapal-kapal Filipina di ZEE Manila, di bagian Laut Cina Selatan yang disebut oleh orang Filipina sebagai Laut Filipina Barat. Sejak awal 2023, kapal pasukan penjaga pantai Tiongkok telah menabrak, menembakkan meriam air, dan mengarahkan laser kelas militer ke kapal-kapal Filipina dalam upaya untuk mencegah misi pasokan ulang ke pos terdepan militer Filipina di Second Thomas Shoal. Jumlah kapal Tiongkok yang terlibat dalam insiden ini meningkat secara dramatis pada tahun 2023, demikian laporan Center for Strategic and International Studies, sebuah wadah pemikir yang berbasis di A.S., pada Januari 2024.

PKT terus mengabaikan putusan mahkamah internasional tahun 2016 bahwa klaim Beijing tentang “hak-hak bersejarah” di Laut Cina Selatan tidak sesuai dengan UNCLOS.

Tokyo juga telah mengutuk intrusi oleh kapal-kapal Tiongkok ke dalam perairan Jepang di Laut Cina Timur. Pada bulan Desember 2023, Pasukan Penjaga Pantai Jepang bentrok dengan kapal pasukan penjaga pantai Tiongkok yang mendekati kapal nelayan Jepang di dekat Kepulauan Senkaku, Jepang, yang diklaim Beijing sebagai wilayahnya, demikian yang dilaporkan Reuters.

Dalam konfrontasi semacam itu, PKT mengandalkan lawfare — dengan menyalahgunakan hukum sebagai senjata atau menafsirkan norma-norma internasional yang ada secara sepihak — untuk membenarkan tindakannya. “Ketika terjadi sesuatu yang tidak mereka sukai, mereka cenderung mengambil tindakan,” ujar Laksamana John Aquilino, Komandan Komando Pasukan A.S. di Indo-Pasifik dalam konferensi di Hawaii pada bulan Januari 2024.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button