Asia Timur LautIklimKepentingan Bersama GlobalKonflik / Ketegangan

Kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan OBOR terus meningkat usai satu dekade

Staf FORUM

Dalam satu dekade sejak Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping mengumumkan skema infrastruktur Satu Sabuk, Satu Jalan (One Belt, One Road – OBOR), semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa proyek-proyek besar program itu sering kali merusak lingkungan.

Melalui OBOR — visi Xi Jinping untuk meningkatkan jangkauan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di seluruh Indo-Pasifik, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa — Beijing telah mendistribusikan anggaran senilai lebih dari 20,26 kuadriliun rupiah (1,3 triliun dolar A.S.) untuk membangun jalan raya, jalur kereta api, bendungan, pembangkit tenaga listrik, dan infrastruktur lainnya. RRT mendanai proyek-proyek itu sebagian besar melalui pinjaman yang membuat negara peminjam terbebani oleh utang, dan banyak dari rencana itu dikritik karena menyebabkan kerusakan lingkungan. Beberapa komunitas menentang proyek pembangunan OBOR, sehingga menunda pelaksanaan berbagai proyek dan memaksa proyek lainnya dikurangi skalanya karena kekhawatiran akan terjadinya polusi udara dan air, erosi tanah, dan pengungsian penduduk.

Di Indonesia, misalnya, kelompok lingkungan hidup telah mengkaji ulang dengan cermat proyek pembangunan bendungan pembangkit listrik tenaga air di pulau Sumatra yang dilakukan oleh Sinohydro Corp. Ltd. yang berkantor pusat di Tiongkok, dengan mengatakan bahwa proyek itu akan membahayakan mata pencaharian penduduk desa di sekitarnya dan mengancam spesies orang utan yang terancam punah. Tanah longsor dan runtuhnya terowongan di lokasi pembangunan Batang Toru telah mengakibatkan tewasnya 17 orang sejak tahun 2020, demikian menurut Mongabay, platform berita konservasi dan sains lingkungan yang berkantor pusat di Amerika Serikat. Norwegia mengumumkan pada Juli 2023 bahwa negara itu tidak akan mengikutsertakan Power Construction Group of China Ltd., perusahaan induk Sinohydro, dalam investasi dana pensiunnya, dengan alasan masalah lingkungan.

Masuknya megaproyek OBOR di Laos telah memperburuk permasalahan sosial dan lingkungan, demikian menurut makalah kerja dari Global Development Policy Center di Boston University. Perlindungan yang dimaksudkan untuk mengurangi dampak pembangunan ini sering kali diabaikan demi mempercepat “berbagai proyek prioritas,” termasuk jalur kereta api berkecepatan tinggi dari ibu kota Laos, Vientiane, ke Boten, di perbatasan dengan Tiongkok. Implementasi undang-undang kompensasi dan komunikasi dengan penduduk desa yang terkena dampak tidak konsisten, demikian ungkap para kritikus. Deforestasi dan peningkatan pembangunan dapat menghancurkan habitat kelelawar pembawa patogen dan memicu terjadinya pandemi lainnya, demikian yang dilaporkan Reuters.

Untuk menghindari kritik, RRT berupaya menyamarkan keterlibatannya dengan menggunakan perusahaan asing sebagai perantara. Salah satu contohnya adalah Power Construction Co., badan usaha milik negara Tiongkok yang menyewa kontraktor Mesir untuk membangun Pembangkit Tenaga Listrik Julius Nyerere di Tanzania, yang diperkirakan akan diselesaikan pada tahun 2024, demikian yang dilaporkan Yale E360, publikasi School of the Environment di Yale University. Para pemerhati lingkungan mengatakan proyek itu akan merusak Suaka Margasatwa Selous, Situs Warisan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan menghambat aliran ke Delta Sungai Rufiji. Komite Warisan Dunia Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tahun 2020 meminta pemerintah Tanzania untuk meninggalkan proyek itu, dengan alasan kurangnya penelitian mengenai dampak sosial-lingkungan bendungan itu, dan pada tahun 2021 International Union for Conservation of Nature (IUCN) merekomendasikan untuk menghapus Selous dari Daftar Warisan Dunia karena kerusakan lingkungan akibat pembangunan bendungan.

Pada Juli 2023, pemerintah Indonesia menangguhkan izin pertambangan PT Dairi Prima Mineral sembari pihaknya menyelidiki potensi kerusakan lingkungan, demikian yang dilaporkan Voice of America. Perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Foreign Engineering & Construction Co. Ltd. China Nonferrous Metal Industry itu kini dilarang menambang seng di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

Sementara itu, di Debrecen, Hongaria, Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. yang berkantor pusat di Tiongkok baru-baru ini mengumumkan bahwa pihaknya akan mengurangi ukuran pabrik baterai kendaraan listrik senilai 123,1 triliun rupiah (7,9 miliar dolar A.S.) sebesar 13% setelah masyarakat memprotes pembangunan pabrik itu di lahan pertanian dan potensi risikonya terhadap pasokan air.

“Inikah kemajuan, inikah masa depan?” ungkap warga Eva Kozma. “Menuangkan beton ke alam meskipun kita tahu betapa besar pencemaran yang akan ditimbulkan oleh pabrik itu?”

Warga dan pemerhati lingkungan khawatir bahwa pabrik baterai kendaraan listrik yang dibangun di Debrecen, Hongaria, oleh Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. yang berkantor pusat di Tiongkok akan merusak lingkungan dan menguras pasokan air.
FOTO DIAMBIL DARI: THE ASSOCIATED PRESS

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button