Asia SelatanAsia TenggaraKemitraanKepentingan Bersama GlobalOseaniaTajuk Utama

Ruang Strategis Indo-Pasifik Dan Tatanan Global

Perspektif Baru tentang Kesadaran Ranah Bawah Air

Dr. Arnab Das/Letnan Kolonel (Purn.) Angkatan Laut India

Pusat kekuatan global telah bergeser menuju samudra Hindia dan Pasifik. Ruang strategis Indo-Pasifik diakui sebagai teater utama interaksi geopolitik dan geostrategis pada abad ke-21. Lebih banyak negara secara global mengerahkan aset di kawasan ini untuk memastikan kehadiran dan kepentingan strategis mereka. India, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan Rusia muncul sebagai kekuatan besar di kawasan ini bersama Amerika Serikat. Kita harus menyadari pentingnya ranah maritim dalam proses pembentukan tatanan global multipolar. 

Ancaman yang meningkat di bawah gelombang adalah aspek penting dari ruang strategis yang berkembang ini seiring makin banyaknya negara yang memperoleh kapal selam modern. Mitra keamanan di Indo-Pasifik perlu memahami mengapa kesadaran ranah bawah air (underwater domain awareness – UDA) sangat penting dan cara meningkatkannya untuk memenuhi kebutuhan pertahanan.

Misalnya, teknologi sonar yang dikembangkan selama Perang Dingin untuk pengawasan bawah air tidak berfungsi di perairan pesisir tropis seperti samudra Hindia dan Pasifik. Dengan tidak adanya algoritma pemrosesan sinyal akustik yang disesuaikan, penggunaan perangkat keras untuk memetakan karakteristik khusus lokasi perairan tropis menjadi hal yang sia-sia. Di perairan Indo-Pasifik, kinerja sonar terdegradasi sekitar 60%, yang menghadirkan keterbatasan serius yang banyak ditangani. 

Kapal selam Angkatan Laut India INS Vagir dioperasikan di Mumbai pada Januari 2023. Militer Indo-Pasifik meningkatkan kemampuan kapal selam. REUTERS

Kesadaran Ranah

Perairan seperti itu menghadirkan banyak peluang dan tantangan. Perairan tersebut memiliki kekayaan besar dalam hal keanekaragaman hayati dan sumber daya alam. Negara-negara berkembang di kawasan ini biasanya tidak dapat memprioritaskan sains dan teknologi (S&T) dan penelitian dan pengembangan (R&D) khusus lokasi untuk pengembangan kapasitas dan kemampuan akustik jangka panjang. Selain itu, banyak negara berkembang tidak memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi dan memperoleh nilai ekonomi dari perairan mereka. Kombinasi ini membuat mereka bergantung pada kekuatan luar untuk keamanan strategis dan kesejahteraan ekonomi yang membuat mereka terbuka untuk dieksploitasi.

Volatilitas regional dapat berkontribusi pada negara kuat dari luar kawasan yang memanipulasi negara-negara ini untuk kepentingan pribadi mereka. Aktor non-negara beroperasi di kawasan ini, sering kali dengan dukungan negara. Keunggulan asimetris dan disruptif yang dimiliki aktor non-negara ini merupakan kekhawatiran utama yang harus dilawan pasukan keamanan, terutama dengan cara konvensional, dan keuntungan seperti itu hanya meningkatkan pentingnya UDA.

Mengembangkan UDA di perairan pesisir tropis itu rumit, seperti yang diungkapkan berbagai upaya pengukuran akustik air dangkal (SWAM). SWAM adalah cara yang terbukti untuk membangun kapasitas dan kemampuan akustik di perairan tersebut. Langkah pertama adalah pemodelan dan simulasi untuk mengembangkan pemahaman tentang derau ambien (ambient noise) bawah air dan perilaku saluran.

A.S. telah memimpin selama beberapa dekade dalam penelitian kapal selam, SWAM, dan UDA. Pada 3 Agustus 1958, USS Nautilus, kapal selam bertenaga nuklir pertama di dunia, menjadi kapal pertama yang menyelesaikan perjalanan bawah laut di Kutub Utara. 

Sebelum itu, Scripps Institution of Oceanography melakukan upaya perintis UDA, yang diluncurkan pada tahun 1946 dan disahkan oleh Angkatan Laut A.S., untuk memetakan udang gertak. Suara makhluk itu telah diukur pada 200 desibel, lebih keras daripada mamalia terbesar di Bumi, paus biru dalam kondisi yang serupa. Kelompok besar udang gertak di bagian-bagian tertentu dari dasar laut dapat mengganggu komunikasi dan penelitian bawah air. Studi Scripps mengungkapkan bahwa udang gertak terutama hidup di perairan pesisir tropis dan memiliki pola vokalisasi unik yang secara akustik dapat membanjiri kapal selam nuklir dengan frekuensi yang tumpang tindih yang digunakan untuk navigasi dan pengawasan sonar. 

Pada tahun 1988, ada bukti insiden seperti itu selama latihan perdana kapal selam bertenaga nuklir di Visakhapatnam, India. Ketika kapal selam telah mencapai kedalaman yang ditentukan, seluruh layar sonar kosong, meski kru melakukan blast transmission untuk mengatasi situasi itu. Ada alasan yang cukup untuk mengaitkan masalah tersebut dengan udang gertak. Proliferasi kapal selam di Indo-Pasifik membutuhkan pertimbangan serius terhadap aspek UDA ini. 

Langkah ke Depan

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk merencanakan pengerahan kapal selam dengan tepat. Pemetaan habitat, diikuti oleh pemetaan soundscape, merupakan jalan ke depan. Ada 14 subspesies udang gertak di perairan sekitar anak benua India saja, masing-masing dengan vokalisasi dan variasi unik dalam ekosistem dan siklus hidupnya. Ini akan memerlukan R&D khusus lokasi yang signifikan dengan kesimpulan berulang kali diuji lapangan.

Pada tahun 2000, latihan SWAM tiga tahun yang dikenal sebagai Asian Seas International Acoustics Experiment (ASIAEX) diluncurkan di laut Cina Selatan dan Cina Timur. Komunitas strategis maritim menyadari bahwa RRT telah mengembangkan kemampuan maritim yang signifikan dan bahwa UDA sangat penting untuk mempersiapkan pasukan bagi pengerahan potensial. Kantor Penelitian Angkatan Laut A.S. mendanai ASIAEX, dengan enam universitas A.S., yang dipimpin oleh University of Washington, mengembangkan model dan mengidentifikasi situs validasi eksperimen selama tahap pertama. Pada tahap kedua, hampir 20 institusi dari RRT, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, A.S., dan negara lainnya mengumpulkan data lapangan. RRT menyadari kekhawatiran A.S., tetapi berpartisipasi untuk melanjutkan inisiatif UDA-nya sendiri.

Membangun Kerangka Kerja UDA

Tatanan global kontemporer perlu dikontekstualisasi berdasarkan insiden baru-baru ini sebelum sekutu dan para pihak dapat sepenuhnya memahami relevansi kerangka kerja UDA dan berusaha untuk bergerak maju. 

KTT Dialog Keamanan Kuadrilateral (Quad) di Tokyo pada 24 Mei 2022, mempertemukan para pemimpin Australia, India, Jepang, dan A.S. ketika komunitas internasional mengalami gejolak besar di berbagai bidang. Dampak berjenjang dari pandemi, disusul oleh invasi Rusia ke Ukraina, berkontribusi terhadap krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi mesin perekonomian global. KTT Quad tumpang tindih dengan pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Swiss, di mana para pemimpin global lainnya bertemu untuk membahas tema “Sejarah pada Titik Balik: Kebijakan Pemerintah dan Strategi Bisnis.” 

KTT Quad menghasilkan dua pengumuman besar untuk mendukung Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka. Pertama, kemitraan kesadaran ranah maritim (maritime domain awareness – MDA) akan memberikan aliran data baru dari satelit komersial ke negara-negara di seluruh kawasan ini. Kedua, Quad memperkenalkan Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) untuk kemakmuran, sebuah kelompok ekonomi yang dipimpin A.S. yang terdiri dari 12 negara. Negara-negara ini menyumbang 40% dari produksi domestik bruto global. Kerangka kerja ekonomi ini secara luas bertumpu pada empat pilar: perdagangan, ketahanan rantai pasokan, energi bersih, dan dekarbonisasi, selain pajak dan langkah-langkah antikorupsi. Pernyataan bersama itu menyebutkan bahwa kerangka kerja tersebut bertujuan untuk “memajukan ketahanan, keberlanjutan, inklusivitas, pertumbuhan ekonomi, keadilan, dan daya saing” di negara-negara ini. 

Banyak yang menganggap pengumuman MDA ini sebagai tambahan substansial bagi agenda Quad dan inisiatif yang paling menjanjikan hingga saat ini. Secara khusus, hal ini memuaskan keinginan sebagian besar mitra regional bagi Quad untuk menyediakan barang publik dan memenuhi kebutuhan negara-negara kecil di ruang strategis Indo-Pasifik. Jika Quad dapat mengimplementasikan kemitraan MDA dengan benar, Quad akan menjadi pengubah permainan bagi seluruh wilayah ini dan menunjukkan nilai nyata bagi semua negara. 

Seorang pekerja Ukraina menggunakan drone bawah air untuk mencari persenjataan yang tidak meledak di sebuah danau dekat Kyiv. REUTERS

Melacak Perbaikan

Sistem legasi untuk memantau kegiatan maritim meliputi radar pesisir serta patroli udara dan permukaan. Kemunculan sistem identifikasi otomatis (AIS) baru-baru ini untuk memantau lalu lintas pengiriman yang lebih besar di perairan internasional dan mandat penggunaan sistem pemantauan kapal (VMS) oleh kapal penangkap ikan berlisensi di beberapa negara memungkinkan pelacakan, dengan mengidentifikasi data, posisi, jalur, dan kecepatan yang diteruskan ke kapal dan stasiun penerima di sekitar, baik di darat maupun di ruang angkasa. 

Namun, cakupan AIS dan VMS tidak merata sebab kerangka kerja hukum di beberapa wilayah samudra belum mengamanatkan pemasangan sistem semacam itu. Selain itu, ada upaya serius untuk merongrong implementasinya oleh aktor yang terlibat dalam operasi penangkapan ikan ilegal dan kegiatan terlarang lainnya. Dengan demikian, lembaga penegak hukum maritim bergantung pada radar pesisir serta patroli udara dan permukaan, yang memiliki jangkauan terbatas. Transponder AIS dan VMS terestrial tradisional sama-sama memiliki keterbatasan tersebut. Radar pesisir dan AIS/VM terestrial terlalu banyak bekerja dan kalah jumlahnya untuk melawan skala aktivitas terlarang di Indo-Pasifik. 

AIS/VMS berbasis satelit adalah alternatif yang baik untuk mencakup area samudra yang besar, tetapi tidak tersedia secara luas. Sistem satelit ini memiliki sensor radar apertur elektro-optik dan sintetis untuk pencitraan permukaan bumi. Peralihan dari satelit besar di orbit geosinkron ke konstelasi satelit kecil di orbit Bumi rendah telah mengurangi biaya data satelit. Namun, skala data pengindraan jarak jauh berbasis ruang angkasa yang diperlukan untuk secara konsisten memantau zona ekonomi eksklusif masih menjadi hambatan bagi negara-negara berkembang di Indo-Pasifik. 

Satelit pencitraan memerlukan perimbangan antara resolusi dan apertur: Frekuensi yang lebih rendah memberikan jangkauan yang lebih baik, tetapi resolusi yang lebih buruk dan sebaliknya. Oleh karena itu, sistem hibrida diperlukan untuk memastikan area yang lebih besar tercakup oleh resolusi rendah, sensor elektro-optik, atau radar, sementara area yang lebih kecil dipetakan menggunakan kamera pencitraan resolusi tinggi.

Dalam hal analisis, otomatisasi dan pembelajaran mesin sangat penting untuk identifikasi perilaku mencurigakan secara real-time dari berbagai sumber data. Tantangannya berkisar dari kerangka kerja peraturan yang tidak merata di berbagai negara, keterbatasan kapasitas dan kapabilitas, masalah privasi data, kurangnya kerja sama yang mulus di seluruh kawasan, dan kurangnya R&D khusus lokasi. 

HawkEye360 yang berbasis di A.S. adalah operator komersial terkemuka, dan anggota Quad berencana membeli dan berbagi datanya dengan mitra di seluruh Indo-Pasifik. Quad juga akan memfasilitasi pemrosesan dan pembagian data secara real-time melalui saluran yang ada.

Fasilitas analisis data yang saat ini beroperasi di Indo-Pasifik meliputi: 

  • Platform SeaVision Angkatan Laut A.S.
  • Pusat Fusi Informasi Samudra Hindia India
  • Pusat Fusi Informasi yang berbasis di Singapura
  • Pusat Fusi Pasifik yang disponsori Australia di Vanuatu

Pusat Pengawasan Perikanan Badan Perikanan Forum Kepulauan Pasifik di Kepulauan Solomon.

Ketersediaan data kualitas tinggi untuk pusat-pusat ini akan secara signifikan meningkatkan inisiatif MDA di kawasan ini.

Pakta keamanan yang ditandatangani oleh Australia, Britania Raya, dan A.S. pada September 2021 akan mendukung akuisisi kapal selam bertenaga nuklir yang dipersenjatai secara konvensional oleh Canberra, serta memajukan kolaborasi dalam teknologi canggih, termasuk kemampuan bawah laut. Armada kapal selam bertenaga nuklir membutuhkan UDA pada skala yang luar biasa besar, yang membuat latihan SWAM utama menjadi kebutuhan bagi Australia, Britania Raya, dan A.S..

RRT telah melakukan sejumlah besar perjalanan penelitian di kawasan Samudra Hindia dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan UDA, lebih dari gabungan Prancis, India, dan A.S. Sejak tahun 2019, kapal-kapal Tiongkok telah melakukan puluhan misi untuk menyurvei perairan dalam di Teluk Benggala, Laut Arab, dan perairan di sebelah barat Indonesia, yang dianggap sebagai area operasi kapal selam yang penting bagi Australia dan India. 

Pusat Penelitian Maritim di Pune, India, bekerja sama dengan Nir Dhwani Technology Pvt. Ltd. telah mengusulkan kerangka kerja UDA yang mendorong penggabungan sumber daya dan upaya sinergi dari para pemangku kepentingan dalam keamanan maritim, ekonomi biru, manajemen lingkungan dan bencana, serta komunitas sains dan teknologi. Bahkan negara dengan kecenderungan geopolitik yang beragam dapat berkolaborasi dalam masalah manajemen lingkungan dan bencana, yang akan mendorong pengerahan S&T yang lebih tinggi di seluruh aplikasi. (Lihat gambar di atas.)

Namun, di perairan pesisir tropis Indo-Pasifik, persyaratan inti akan tetap berupa peningkatan kapasitas dan kemampuan akustik. Tanpa adanya sonar yang efektif, tidak ada solusi yang layak. Dengan adanya dorongan yang tepat, visi kerangka kerja UDA dapat mengatasi beberapa tantangan global.

Tatanan global menuntut agar keamanan dan pertumbuhan dihadapi dengan mulus. Tantangan dan peluang yang dihadirkan oleh perairan pesisir tropis Indo-Pasifik dapat ditangani secara komprehensif dengan implementasi kerangka kerja UDA. Berbagai forum kemitraan seperti, Asosiasi Lingkar Samudra Hindia, dan Quad, di antara yang lainnya, harus memprioritaskan dan melembagakan kerangka kerja ini dalam agenda mereka.  

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button