Filipina dan A.S. memperkuat aliansi dengan pedoman pertahanan baru
Maria T. Reyes
Filipina dan Amerika Serikat menyelesaikan pedoman pertahanan bilateral selama perjalanan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. ke Washington, D.C., pada Mei 2023.
Pedoman tersebut merupakan bagian dari upaya untuk memodernisasi dan memperkuat aliansi guna mendukung visi bersama kedua negara itu untuk Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka, demikian menurut Departemen Pertahanan A.S. (Foto: Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr., yang dikawal oleh Kolonel Angkatan Darat A.S. David Rowland, meninjau pasukan selama kunjungannya ke Departemen Pertahanan A.S. di Washington, D.C., pada Mei 2023.)
Dokumen itu, yang merupakan pedoman yang baru pertama kalinya dibuat di antara kedua negara sekutu itu sejak ditandatanganinya Perjanjian Pertahanan Timbal Balik pada tahun 1951, dipandang sebagai peta jalan untuk meningkatkan interoperabilitas dalam ranah konvensional dan nonkonvensional.
“Rilis Pedoman Pertahanan Bilateral itu menandai tonggak bersejarah penting dalam kemitraan jangka panjang di antara Filipina dan Amerika Serikat,” ungkap Departemen Pertahanan Nasional Filipina dalam sebuah pernyataan. “Pedoman ini berfungsi sebagai bukti kemitraan yang kuat dan abadi di antara Filipina dan Amerika Serikat serta mencerminkan komitmen bersama kedua negara untuk menjunjung tinggi perdamaian, stabilitas, dan supremasi hukum di kawasan ini.
“Finalisasi Pedoman tersebut sejalan dengan pengumuman Presiden Ferdinand Marcos Jr. untuk memperkuat dan mendefinisikan kembali hubungan Filipina-Amerika Serikat dan peran kedua negara di kawasan Asia-Pasifik dan Indo-Pasifik,” ungkapnya.
Pedoman tersebut membahas ketegangan di Laut Cina Selatan, menegaskan kembali bahwa komitmen pertahanan timbal balik akan diaktifkan jika salah satu negara diserang di jalur perairan yang disengketakan itu. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengklaim sekitar 90% wilayah di Laut Cina Selatan, meskipun putusan mahkamah internasional pada tahun 2016 menyatakan bahwa penegasan teritorial tersebut tidak sah. Selain Filipina, sebagian wilayah di laut itu juga diklaim oleh Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam.
Perjanjian terbaru Filipina-A.S. itu juga mencakup komitmen terhadap modernisasi militer Manila dan interoperabilitas yang lebih besar “dengan tujuan memperkuat penangkalan gabungan Amerika Serikat dan Filipina dalam lingkungan keamanan yang terus berkembang.” Perjanjian itu menekankan pengadaan platform pertahanan yang memiliki interoperabilitas dan bersumber dari program A.S. serta inisiatif pengadaan dan pendanaan pertahanan nasional Filipina.
Kedua negara sekutu itu menegaskan kembali rencana untuk “mengidentifikasi paket pasukan dan platform pertahanan prioritas selama lima tahun ke depan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas gabungan kami dalam melawan paksaan dan menangkal agresi.”
Pedoman itu mengakui ancaman yang dapat muncul di seluruh ranah — termasuk darat, laut, udara, ruang angkasa, dan siber — dan berbentuk perang asimetris, hibrida, dan tidak reguler, serta taktik zona abu-abu.
Keamanan siber juga disorot sebagai bidang kerja sama. Pedoman itu menekankan perlunya “meningkatkan kerja sama pertahanan siber dan keamanan siber untuk mengamankan infrastruktur kritis dan membangun perlindungan terhadap serangan yang berasal dari aktor negara dan nonnegara dengan memperkuat interoperabilitas.”
Dokumen itu tidak menyebutkan nama RRT, meskipun para analis mencatat sikap agresif Beijing terhadap Manila. “Pedoman pertahanan bilateral itu penting untuk menjelaskan kebijakan politik baru yang didasarkan pada penggunaan kekuatan dalam ruang geopolitik di kawasan Indo-Pasifik,” ungkap Chester Cabalza, presiden pendiri kelompok riset kebijakan nirlaba International Development and Security Cooperation, kepada FORUM. “Namun secara keseluruhan, pedoman itu merupakan cetak biru untuk menghidupkan kembali ikatan militer A.S. dan Filipina.”
Maria T. Reyes merupakan kontributor FORUM yang memberikan laporan dari Manila, Filipina.
FOTO DIAMBIL DARI: THE ASSOCIATED PRESS