Asia Timur LautCerita populerIndo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka / FOIPIsu UtamaRegional

RRT terus menunda penyusunan pedoman perilaku di Laut Cina Selatan, meskipun telah menebar janji

Staf FORUM

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terus memblokir pengadopsian pedoman perilaku di Laut Cina Selatan, meskipun telah berjanji untuk mempercepat proses itu selama beberapa dekade.

Selain itu, para analis berpendapat bahwa taktik penundaan waktu berkelanjutan yang dilakukan oleh RRT merupakan bagian dari strategi menyeluruh untuk menguasai jalur perairan yang disengketakan sebelum sebuah pedoman perilaku untuk mengurangi risiko konflik di Laut Cina Selatan dapat diterapkan.

Dalam janji terbaru yang disampaikan RRT pada pertengahan Juli 2022, Wang Yi, anggota dewan negara merangkap menteri luar negeri RRT, berjanji mempercepat negosiasi untuk mengembangkan pedoman perilaku dalam persinggahan selama dua hari di Malaysia menjelang berakhirnya tur di lima negara Asia Tenggara mulai dari 3 hingga 14 Juli.

“Dilatarbelakangi oleh kemajuan yang sangat lambat ini, sungguh konyol untuk tidak memandang komentar Wang Yi sebagai upaya mengulur waktu semata. Sementara itu, pada saat yang sama kekuatan angkatan laut Tiongkok yang semakin berkembang menciptakan fakta di lapangan di berbagai bagian Laut Cina Selatan yang disengketakan,” tulis Sebastian Strangio, editor Asia Tenggara di majalah berita online The Diplomat, dalam sebuah artikel pada Juli 2022. Wang Yi juga mengunjungi Indonesia, Myanmar, Filipina, dan Thailand dalam perjalanan itu.

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mulai menyusun pedoman perilaku itu pada tahun 1990-an. Sejak itu, RRT telah mereklamasi lebih dari 1.200 hektare lahan, sekitar 19 kali lebih banyak dari gabungan lahan yang direklamasi oleh semua negara penggugat lainnya. Empat negara anggota ASEAN — Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam — ditambah Taiwan memiliki klaim teritorial atas berbagai bagian wilayah di Laut Cina Selatan.

Meskipun Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping berjanji untuk tidak melakukan militerisasi terhadap pulau-pulau buatannya pada Oktober 2015, PKT telah membentengi pos-pos terluarnya dengan lapangan terbang, pelabuhan, radar, dan fasilitas militer lainnya serta melanjutkan pembangunan fasilitas tersebut pada tahun 2022, demikian menurut analisis dan citra satelit yang dilakukan oleh Asia Maritime Transparency Initiative di Center for Strategic and International Studies (CSIS).

RRT mengklaim sebagian besar kawasan itu dan sumber daya alamnya yang diperkirakan mengandung 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam yang belum dimanfaatkan, demikian menurut CSIS, meskipun Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) menerbitkan putusan yang berpihak pada argumen Filipina pada Juli 2016, menetapkan bahwa klaim “sembilan garis putus-putus” yang diajukan oleh RRT tidak memiliki dasar hukum.

Indonesia tidak memiliki klaim teritorial di wilayah Laut Cina Selatan, tetapi bagian dari zona ekonomi eksklusifnya yang mencakup ladang gas alam berada dalam klaim “sembilan garis putus-putus” RRT. Kapal-kapal Tiongkok yang secara rutin memasuki wilayah yang disebut Indonesia sebagai Laut Natuna Utara sehingga menyebabkan ketegangan di antara kedua negara.

Sampai saat ini, ASEAN hanya bisa membuat RRT setuju untuk menandatangani Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan pada tahun 2002, yang tidak berdaya dalam menghentikan RRT untuk memproklamasikan kepemilikan ribuan hektare lahan dan mengubah bebatuan menjadi pulau buatan.

RRT mulai menunda pembicaraan tentang penyusunan pedoman perilaku formal pada tahun 2013, bertepatan dengan dimulainya pembangunan pulau-pulau buatan oleh RRT. Sebagai tanggapan atas dibangunnya pulau-pulau buatan itu, Filipina mengajukan kasus arbitrase ke Den Haag. Setelah Den Haag menerbitkan putusan yang berpihak pada argumen Filipina pada tahun 2016, RRT setuju untuk mengadopsi kerangka kerja pedoman perilaku dengan ASEAN. Akan tetapi, sejak itu, RRT telah menunda proses penentuan kata-kata yang pada akhirnya digunakan dalam pedoman perilaku itu.

Ketika tekanan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir untuk menerapkan pedoman perilaku itu, RRT semakin mengintensifkan taktik penundaan waktunya.

“Setiap hari ketika negosiasi itu tertunda, Tiongkok telah memperkuat posisinya, mengirimkan ratusan kapal dan milisi penangkap ikan untuk menguasai perairan itu, membangun kekuatan angkatan laut dan angkatan udara tangguh, serta semakin membentengi wilayah yang didudukinya,” tegas jurnalis Manuel Mogato di situs web Philippines One News pada Maret 2021.

“Ketika saatnya tiba, dan Tiongkok pada akhirnya setuju untuk menandatanganinya, pedoman perilaku itu mungkin tidak lagi relevan karena Beijing memiliki kendali penuh atas jalur perairan strategis tersebut.”

Kegiatan RRT baru-baru ini terus mendukung pernyataan semacam itu. Pada Juni 2022, para pejabat melaporkan bahwa 100 kapal Tiongkok terlihat berada di dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Filipina, mengerumuni daerah yang dikenal sebagai Julian Filipe Reef.

“Isu sengketa wilayah bukan hanya persoalan abstrak tentang kedaulatan, tetapi juga akses ke sumber daya,” ungkap Benjamin Miguel Alvero, juru bicara West Philippine Sea Coalition, kepada BenarNews pada pertengahan Juli 2022. Kelompok itu, yang namanya diambil dari nama Filipina untuk Laut Cina Selatan, memimpin unjuk rasa pada peringatan ulang tahun keenam putusan UNCLOS. (Foto: Aktivis Filipina melakukan unjuk rasa pada 12 Juli 2022, hari peringatan ulang tahun putusan mahkamah internasional yang membatalkan klaim Republik Rakyat Tiongkok atas Laut Cina Selatan, yang oleh Filipina disebut sebagai Laut Filipina Barat. Beberapa plakat bertuliskan: “WEST PH SEA IS OURS (LAUT FILIPINA BARAT MILIK KAMI)”)

“Militerisasi Laut Filipina Barat memiliki dampak nyata bagi ribuan rakyat jelata Filipina, komunitas nelayan yang tidak dapat bekerja dan menjalankan mata pencaharian mereka karena ancaman gangguan, terutama dari pasukan militer Tiongkok,” ungkap Benjamin Miguel Alvero.

Dia mengatakan Filipina harus menghadapi apa yang disebutnya sebagai “ambisi ekspansionis akibat meningkatnya dominasi Tiongkok.”

“Kami menantang pemerintahan Ferdinand Marcos Jr. yang baru terpilih untuk membuktikan komitmennya dalam melayani rakyat Filipina [dengan] mengupayakan kebijakan luar negeri yang berprinsip, tidak seperti enam tahun terakhir di bawah pemerintahan Rodrigo Duterte,” ungkapnya.

Selain itu, RRT telah memanfaatkan daya pikat proyek eksplorasi minyak bersama sebagai bagian dari taktik penundaan waktunya, terutama dalam negosiasinya dengan Filipina. Misalnya, pada April 2018, Presiden Filipina saat itu Rodrigo Duterte dan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping setuju untuk mengerjakan proyek eksplorasi bersama di Laut Cina Selatan, dan pemerintah Filipina mengizinkan pengeboran untuk dimulai di lepas pantai Filipina setelah mencabut moratorium pengeboran minyak dan gas yang telah dilaksanakan selama 6 tahun. Akan tetapi, pemerintah Filipina menangguhkan pengeboran itu pada April 2022 karena alasan yang tidak diungkapkan.

Jay Batongbacal, direktur Institut Urusan Maritim dan Hukum Laut di University of the Philippines, mengatakan penangguhan tersebut mengindikasikan bahwa “Tiongkok pada dasarnya mencoba membuat Filipina setuju untuk melakukan eksplorasi dan pengembangan bersama hanya berdasarkan ketentuan Tiongkok,” demikian yang dilaporkan Agence France-Presse.

Pada saat yang sama, RRT telah merongrong upaya negara-negara penggugat lainnya untuk melakukan eksplorasi minyak secara mandiri. Misalnya, perusahaan minyak milik negara seperti China National Offshore Oil Corp. tidak hanya berpartisipasi dalam reklamasi, konstruksi, atau militerisasi berskala besar terhadap berbagai pos terluar yang disengketakan di Laut Cina Selatan, tetapi juga memblokir akses negara-negara penggugat lainnya di Asia Tenggara ke sumber daya lepas pantai di Laut Cina Selatan, demikian menurut Departemen Luar Negeri A.S.

FOTO DIAMBIL DARI: REUTERS

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button