Tajuk Utama

Perang Kabel Bawah Laut

Persaingan untuk mengendalikan jaringan menguak risiko keamanan jangka panjang

Labirin kabel serat optik sepanjang lebih dari 1,3 juta kilometer yang ditambatkan ke dasar laut membawa sekitar 95% komunikasi telepon dan internet di seluruh dunia setiap harinya, yang memindahkan sejumlah besar data setiap detiknya. Segala hal mulai transaksi keuangan hingga perintah militer melewati jaringan kabel bawah laut yang jumlahnya lebih dari 475 kabel. 

Implikasi keamanan infrastruktur penting ini cukup jelas: Siapa pun yang mengendalikan saluran ini memiliki kekuasaan signifikan. Karena data telah menjadi aset strategis yang makin penting, risiko keamanan dapat menjadi hal yang substansial dalam keadaan tertentu, demikian ungkap para ahli. Kendati operasi perkapalan dan penangkapan ikan menyebabkan sebagian besar kerusakan pada kabel dan peristiwa alam seperti gempa bumi, angin topan, dan bahkan gigitan hiu dapat mengganggu pengoperasiannya, kemungkinan kerusakan yang disengaja dan dengan niat jahat tampak menghantuinya, ketika jumlah data yang melintasi kabel lintas samudra itu terus tumbuh dan ketergantungan pada penyimpanan cloud bertambah besar.

“Mengenai tantangan fisik, dua kekhawatiran terbesarnya adalah bahwa kabel-kabel itu dapat dihancurkan atau disadap — baik oleh aktor non-negara, seperti beberapa insiden pembajakan terisolasi baru-baru ini, atau, lebih mungkin, oleh musuh negara seperti Rusia,” demikian menurut Pierre Morcos, seorang peneliti tamu di Program Eropa, Rusia, dan Eurasia di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington, D.C., dan Colin Wall, peneliti madya di program yang sama. “Ada beberapa tujuan yang mungkin dicapai dengan memutuskan kabel itu: memutuskan komunikasi militer atau pemerintah pada tahap awal konflik, menghilangkan akses internet untuk penduduk yang ditargetkan, menyabotase pesaing ekonomi, atau menyebabkan gangguan ekonomi untuk tujuan geopolitik. Para aktor juga dapat berupaya mencapai beberapa atau semua tujuan ini secara bersamaan,” demikian pendapat Pierre Morcos dan Colin Wall dalam artikel pada Juni 2021 yang diterbitkan di situs web CSIS, berjudul “Invisible and Vital: Undersea Cables and Transatlantic Security (Tak Terlihat dan Vital: Kabel Bawah Laut dan Keamanan Transatlantik.”

Insinyur dan penyelam Sri Lanka memelihara kabel bawah laut, yang diletakkan oleh perusahaan telekomunikasi milik India, di Kolombo. AFP/GETTY IMAGES

Pemerintah, perusahaan, atau organisasi juga dapat mengutak-atik kabel itu dengan cara yang lebih berbahaya seperti mengekstrak data melalui pintu belakang yang dimasukkan selama proses produksi, mencuri data dari fasilitas darat yang terhubung ke kabel bawah laut, atau bahkan mungkin memanen data secara mendalam, demikian ungkap Dr. Amanda Watson, seorang peneliti di Australian National University, kepada FORUM. Ada juga “peningkatan risiko keamanan siber secara umum karena Anda mungkin memiliki warga, bisnis, atau utilitas yang dapat menjadi korban tindak pidana siber, serangan siber, ransomware, atau pencurian data,” terang Amanda Watson, yang telah mempelajari industri telekomunikasi dan memetakan pengerahan kabel di kawasan kepulauan Pasifik selama lebih dari satu dekade.

“Keamanan dan ketahanan kabel bawah laut serta data dan layanan yang bergerak melintasinya merupakan elemen geopolitik internet modern yang sering kali kurang dipelajari dan kurang dihargai,” demikian menurut laporan pada September 2021 dari Atlantic Council, sebuah wadah pemikir ekonomi dan politik internasional. “Konstruksi kabel bawah laut baru merupakan bagian penting dari topologi fisik internet yang terus berubah di seluruh dunia,” jelas laporan berjudul “Cyber Defense Across the Ocean Floor: The Geopolitics of Submarine Cable Security (Pertahanan Siber Di Seluruh Dasar Samudra: Geopolitik Keamanan Kabel Bawah Laut).” 

Pemerintah otoriter, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dapat menggunakan kendali atas perusahaan yang dikelola negara untuk mengarahkan data global guna memberi keuntungan pada mereka, misalnya, untuk tujuan spionase, demikian yang ditegaskan penulis laporan Justin Sherman, seorang peneliti di Cyber Statecraft Initiative di Atlantic Council. Selain kekhawatiran yang tengah berlangsung tentang pemasok kabel bawah laut terbesar Tiongkok, HMN Technologies, yang sebelumnya dikenal dengan nama Huawei Marine, beberapa perusahaan yang didirikan di Tiongkok yang tercantum sebagai pemilik kabel bawah laut, termasuk China Mobile, China Telecom, dan China Unicom, semuanya dimiliki oleh negara, tulis Justin Sherman. “Perubahan pola perutean lalu lintas menghasilkan keuntungan bagi perusahaan dan dapat memindahkan volume lalu lintas baru melalui perbatasan negara yang berbeda. Ini dapat memungkinkan penyadapan data dan pengembangan ketergantungan teknologi.” 

Selain itu, perusahaan yang mengelola kabel bawah laut telah memperkenalkan risiko operasional melalui sistem manajemen jaringan untuk memusatkan kendali atas berbagai komponen, demikian menurut laporan tersebut. “Ketika alat bantu manajemen kabel ini terhubung ke internet global, alat bantu ini memaparkan kabel bawah laut pada risiko peretasan baru — baik untuk memantau lalu lintas kabel maupun mengganggunya dengan sepenuhnya,” tulis Justin Sherman. 

Seiring berkembangnya teknologi dan pengerahannya, risikonya pun terus bertambah. Sebagai permulaan, proliferasi komputasi cloud telah meningkatkan volume data yang mengalir melalui internet. Hal ini, ditambah dengan tren pertumbuhan pekerjaan jarak jauh akibat pandemi COVID-19, juga meningkatkan sensitivitas data secara signifikan. Sementara itu, keamanan sering kali tidak menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan, produksi, pemasangan, dan pemeliharaan kabel karena segmen infrastruktur kabel dunia yang terus berkembang dikendalikan oleh campur baurnya sektor swasta dan perusahaan milik negara yang memiliki prioritas lain.

Seorang operator menambatkan kabel serat optik bawah laut di dekat Sopelana, Spanyol. Koneksi itu merupakan bagian dari kabel Marea yang panjangnya lebih dari 6.600 kilometer, yang didanai oleh Facebook dan Microsoft, yang sekarang membentang di antara Spanyol dan Amerika Serikat. AFP/GETTY IMAGES

Taruhan yang Kian Besar

Mengingat adanya risiko itu, industri kabel bawah laut telah menjadi salah satu ranah persaingan kekuatan terbaru di antara Amerika Serikat dan Tiongkok, terutama di kawasan Indo-Pasifik. Untuk mengurangi risiko keamanan, sekutu dan negara-negara mitra A.S. harus terus menawarkan alternatif yang lebih baik daripada infrastruktur kabel yang didukung oleh Tiongkok, demikian yang ditegaskan oleh para ahli. Meskipun ketegangan antara A.S. dan Tiongkok mungkin telah menunda pemasangan beberapa kabel, perlindungan keamanan jauh lebih penting daripada tertundanya pemasangan itu, demikian ungkap mereka.

A.S. dan banyak sekutu serta mitranya telah merasakan kekhawatiran selama bertahun-tahun atas perluasan berbagai perusahaan milik negara atau perusahaan yang memiliki hubungan dengan Partai Komunis Tiongkok ke dalam bisnis kabel bawah laut sebagai komponen strategi RRT untuk meningkatkan jangkauan globalnya. “Ini merupakan vektor lain yang digunakan Huawei untuk masuk ke dalam infrastruktur negara lain,” ungkap Letnan Jenderal (Purn.) William Mayville, mantan wakil komandan Komando Siber A.S., kepada surat kabar The Wall Street Journal pada tahun 2019. “Jika kita gagal memberikan tanggapan terhadap Huawei Marine, maka kita menyerahkan ruang itu kepada Tiongkok,” ungkapnya. “A.S. dan mitranya harus bertemu dan bersaing.” Pada Juni 2020, Departemen Perdagangan A.S. menempatkan Huawei pada Daftar Entitasnya, yang membatasi penjualan barang dan teknologi A.S. kepada perusahaan itu, dan dalam beberapa bulan setelahnya menambahkan sebagian besar anak perusahaan Huawei, termasuk Huawei Marine ke dalam daftar itu. 

Huawei Marine, yang didirikan pada tahun 2008 sebagai anak perusahaan Huawei, membangun atau memperbaiki lebih dari 90 kabel bawah laut dunia sebelum dijual ke Hengtong Optic-Electric yang berkantor pusat di Shanghai pada tahun 2019. “Namun penjualan tersebut gagal meredakan kekhawatiran keamanan nasional: Direktur dan pendiri Hengtong merupakan pejabat pemerintah Tiongkok,” jelas Nadia Schadlow, peneliti senior di Hudson Institute, dalam artikel pada Juli 2020 di Defense News. Pada tahun 2020, Huawei Marine mengubah namanya menjadi HMN Technologies namun masih tetap tunduk pada pembatasan yang diberlakukan oleh Departemen Perdagangan A.S., demikian yang dilaporkan Reuters. 

HMN Technologies, dengan pangsa pasar sekitar 10%, telah muncul sebagai penyedia kabel bawah laut terbesar keempat setelah Alcatel Submarine Networks, yang berkantor pusat di Prancis; SubCom di A.S.; dan NEC di Jepang. Akan tetapi, penyedia konten, seperti Amazon, Facebook, Google, dan Microsoft, memperluas kehadiran pasar mereka dengan memiliki atau menyewakan setidaknya setengah dari bandwidth bawah laut global. Facebook dan Google, misalnya, mengungkapkan pada tahun 2021 bahwa mereka berencana meletakkan dua kabel bawah laut untuk menghubungkan A.S. ke Indonesia dan Singapura, sehingga meningkatkan kapasitas transfer data di antara Amerika Utara dan Asia Tenggara sebesar 70%, demikian yang dilaporkan Reuters. Sebagian besar pengguna internet Asia Tenggara mengakses internet melalui data seluler, sehingga kabel bawah laut baru akan meningkatkan bandwidth. Hanya sekitar 10% rakyat Indonesia, misalnya, yang memiliki akses ke internet broadband, demikian menurut survei Asosiasi Penyedia Layanan Internet Indonesia pada tahun 2020. 

Akan tetapi masuknya penyedia konten ke dalam pasar memiliki risiko keamanan yang rumit, demikian ungkap para ahli. Kemitraan atau pengaturan dengan perusahaan teknologi yang sudah kuat dapat memberi pemerintah akses ke informasi yang mengalir melalui kabel mereka. Sebaliknya, penyedia konten dapat membatasi akses ke informasi untuk mendapatkan pengaruh atas pemerintah. Dapat dikatakan, undang-undang yang mengatur kabel bawah laut dan kepemilikannya belum sepenuhnya dikembangkan. 

Kemajuan Kepulauan Pasifik

Kawasan kepulauan Pasifik telah menjadi pusat persaingan kabel bawah laut dalam beberapa tahun terakhir, ketika pemerintah dan warga berupaya mendapatkan koneksi internet yang lebih baik untuk memajukan pembangunan ekonomi mereka. Pada tahun 2007, hanya empat negara dan wilayah kepulauan Pasifik yang dihubungkan oleh kabel bawah laut, tetapi hampir semua negara kepulauan Pasifik siap untuk terhubung dalam beberapa tahun ke depan, demikian menurut Persatuan Telekomunikasi Internasional P.B.B. 

Di kawasan ini, sekutu dan negara mitra telah menangkis beberapa penawaran Tiongkok untuk memasang kabel karena adanya risiko keamanan. Negara Federasi Mikronesia mengumumkan pada awal September 2021 bahwa pihaknya akan mengandalkan pendanaan A.S. untuk membangun kabel di antara Kosrae dan Pohnpei, menolak penawaran yang dipimpin oleh Tiongkok karena adanya masalah keamanan, demikian yang dilaporkan Reuters. Bank Dunia menolak untuk memberikan proyek itu pada Juni 2021 setelah A.S. mengajukan keberatan terhadap kontrak yang diberikan kepada HMN Technologies. Proyek itu pada awalnya juga akan menghubungkan negara-negara kepulauan Pasifik yaitu Nauru dan Kiribati, demikian menurut Reuters.

Pada tahun 2017, Australia memblokir rencana Huawei Marine untuk menghubungkan Sydney dengan Kepulauan Solomon melalui kabel sepanjang 4.000 kilometer. Pada akhirnya, Australia mendanai pembangunan kabel yang dikenal sebagai Sistem Kabel Laut Karang (Coral Sea Cable System), yang menghubungkan Port Moresby di Papua Nugini dan Honiara di Kepulauan Solomon ke Sydney, demikian yang dilaporkan CNN. “Kekhawatirannya adalah Tiongkok dapat memiliki kemampuan untuk menyisipkan kerentanan keamanan dalam sistem itu,” ungkap seorang pejabat keamanan Australia kepada The Wall Street Journal pada tahun 2019. “Kejadian ini benar-benar mirip dengan masalah yang dihadapi oleh jaringan 5G,” ungkapnya.

“Itu dilihat sebagai larangan yang tidak akan dilanggar oleh Australia, jadi kami masuk melalui kesepakatan yang lebih baik dengan menyediakan kabel sebagai hibah yang akan diterapkan dengan mitra pengadaan yang dipilih oleh Australia — yang bukan berasal dari Tiongkok,” jelas Jonathan Pryke, direktur Program Kepulauan Pasifik di Lowy Institute, kepada ABC News Australia pada Juni 2021. Australia juga telah mendiskusikan rencana untuk menghubungkan Nauru ke Sistem Kabel Laut Karang, demikian yang dilaporkan Reuters. 

“Satu perbedaan utama di antara pengaturan dengan Tiongkok dan dengan negara lain adalah penawaran Tiongkok harus melalui pinjaman ketika Australia dan negara-negara serupa cenderung memberikannya sebagai hadiah,” ungkap Amanda Watson, seorang peneliti di Australian National University, kepada FORUM. Karena semakin banyak kabel yang dipasang di kawasan itu, Amanda Watson ingin melihat strategi yang lebih holistis muncul dari negara-negara mitra, seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, dan A.S., untuk memenuhi kebutuhan negara-negara kepulauan Pasifik.

Australia juga bekerja sama dengan negara-negara kepulauan Pasifik untuk meningkatkan keandalan jaringan yang ada dengan meningkatkan ketahanan dan redundansi. Pada Januari 2022, misalnya, letusan gunung berapi merusak kabel bawah laut utama Tonga, yang menghubungkannya ke Fiji, sehingga menyoroti kerentanan teknologi tersebut. Mudah-mudahan, kabel tambahan akan dipasang untuk menghindari pemadaman ekstensif di masa depan, demikian ungkap pejabat keamanan.

Sementara itu, perusahaan Tiongkok sering kali mengajukan penawaran dengan biaya lebih rendah, namun dengan kualitas yang juga lebih rendah, demikian papar Jonathan Pryke. Berbagai negara di “Pasifik mewaspadai upaya Tiongkok. Mereka mengakui banyak infrastruktur yang mereka terima dari Tiongkok tidak bagus kualitasnya, sehingga mereka memberi lebih banyak tekanan pada bisnis Tiongkok untuk mengajukan penawaran yang masuk akal,” ungkapnya kepada ABC News. Huawei Marine membangun kabel bawah laut domestik untuk Papua Nugini yang memiliki masalah teknis berkelanjutan dan sebagian besar dipandang sebagai kegagalan investasi, demikian menurut ABC News. 

Analis telah menyaksikan skenario serupa terjadi di bagian lain negara berkembang mulai dari Asia Selatan hingga Afrika di bawah apa yang disebut inisiatif jalan sutra digital RRT yang mencakup pembangunan kabel bawah laut serta tautan terestrial dan satelit sebagai komponen skema infrastruktur Satu Sabuk, Satu Jalan (One Belt, One Road) Tiongkok. Kendati negara tuan rumah mungkin sedikit mendapatkan manfaat dari konstruksi itu, sebagian besar proyek sedang dibangun, dibiayai, dan dikendalikan oleh RRT, sehingga menempatkan banyak negara pada risiko kesulitan pelunasan utang yang tinggi, demikian menurut Dana Moneter Internasional. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya kedaulatan dan memungkinkan proyeksi kekuatan RRT secara global.

Pertimbangkan pemasangan kabel bawah laut Asia-Afrika-Eropa Tiongkok, yang didanai oleh China Construction Bank, untuk menghubungkan Hong Kong, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Singapura, kemudian ke Myanmar, India, Pakistan, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Yaman, Jibuti, Arab Saudi, Mesir, Yunani, Italia, dan Prancis. Beberapa stasiun pendaratan kabel bawah laut juga berada di tempat RRT banyak berinvestasi dalam infrastruktur yang dimilikinya atau berniat akan dimiliterisasikannya, seperti di Jibuti, yang menghadapi risiko kesulitan pelunasan utang yang tinggi dan tempat RRT membuka pangkalan angkatan laut pada tahun 2017. “Di Pakistan, jaringan kabel akan mendarat di Gwadar, pelabuhan yang dikembangkan Tiongkok sebagai bagian dari prakarsa Sabuk dan Jalan dan para pejabat A.S. yakin Beijing ingin membuka fasilitas angkatan laut di sana, yang dibantah oleh Tiongkok. Kabel itu direncanakan untuk terhubung ke tautan jalur darat dengan Tiongkok,” demikian menurut The Wall Street Journal. BenarNews melaporkan bahwa beberapa ruas kabel Asia-Afrika-Eropa mengalami kesulitan teknis di sepanjang tahun 2021.

Konflik Laut Cina Selatan

Mungkin tidak ada taruhan keamanan yang lebih tinggi daripada di Laut Cina Selatan. Ketika RRT telah berusaha mengambil alih kendali kawasan ini melalui pembangunan dan militerisasi pulau-pulau buatan, RRT juga telah mulai memasang kabel bawah laut untuk memperluas jaringan 5G-nya dan berpotensi meningkatkan kendalinya atas aliran data ke negara-negara Asia Tenggara di dekatnya, demikian menurut para analis.

RRT telah terlihat meletakkan kabel di Laut Cina Selatan pada beberapa peristiwa. Pada tahun 2020, dengan menggunakan citra satelit komersial, Radio Free Asia (RFA) dan BenarNews mendokumentasikan kegiatan tersebut di Kepulauan Paracel, yang diklaim oleh Taiwan dan Vietnam. Pada tahun 2017, China Telecom meletakkan kabel serat optik di Kepulauan Spratly di antara terumbu karang Fiery Cross, Subi, dan Mischief, demikian yang dilaporkan media pemerintah. RRT juga terlihat memasang kabel bawah laut pada tahun 2016 untuk menghubungkan kota dan pangkalan militer di Pulau Woody ke Pulau Hainan di RRT, demikian yang dilaporkan Reuters. Tentara Pembebasan Rakyat telah mengoperasikan kapal peletakan kabelnya sendiri sejak tahun 2015, demikian yang dilaporkan RFA. 

Vietnam mengajukan keberatan atas kegiatan peletakan kabel RRT di Kepulauan Paracel pada Juni 2020. “Vietnam memiliki bukti sejarah dan dasar hukum yang memadai yang menegaskan kedaulatannya atas kepulauan Hoang Sa (Paracel) dan Truong Sa (Spratly) sesuai dengan hukum internasional,” ungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri Le Thi Thu Hang kepada jurnalis, demikian menurut Vietnam News Agency yang dikelola oleh pemerintah Vietnam. “Oleh karena itu, segala aktivitas yang berkaitan dengan kedua kepulauan yang dilakukan tanpa izin Vietnam merupakan pelanggaran kedaulatan dan tidak ada manfaatnya,” ungkapnya.

Koneksi serat optik di antara fitur-fitur yang diduduki Tiongkok besar kemungkinan dimaksudkan untuk tujuan militer, demikian ungkap James Kraska, seorang profesor di U.S. Naval War College, kepada RFA. James Kraska mengatakan kabel itu mungkin digunakan untuk komunikasi militer terenkripsi di antara berbagai pos terdepan Tiongkok dan akan terhubung ke sistem kabel bawah laut yang sudah dipasang di sepanjang pantai timur RRT.

Para analis memperingatkan bahwa kendali RRT atas jaringan bawah laut yang sedang berkembang di Laut Cina Selatan dapat meningkatkan cengkeramannya di kawasan itu dalam jangka waktu yang lebih panjang. “Akan tetapi, bahaya yang muncul pada kasus Tiongkok itu adalah cara mereka berupaya menghindari peraturan dan norma internasional. Dengan mencaplok kepulauan di Laut Cina Selatan, mereka dapat mengklaim bahwa sistem itu berada di dalam wilayah kedaulatan mereka,” jelas Helena Martin dalam artikel pada tahun 2019 di The McGill International Review, sebuah publikasi online harian. Badan-badan internasional akan memiliki lebih sedikit kendali atas kabel-kabel baru jika klaim RRT dibiarkan begitu saja tanpa adanya penentangan. RRT “secara teknis akan beroperasi sesuai dengan hak-hak mereka meskipun operasi mereka akan memengaruhi semua negara di Asia Tenggara.” Pelanggaran peraturan dan norma internasional melalui manipulasi mata uang dan pasar atau bahkan praktik yang merusak lingkungan juga akan lebih sulit untuk dikenai sanksi, demikian tulis Helena Martin.

Sementara itu, beberapa pemasangan kabel komersial untuk menghubungkan Asia Tenggara ke A.S., seperti Jaringan Kabel Cahaya Pasifik (Pacific Light Cable Network) yang didanai oleh Facebook dan Alphabet, perusahaan induk Google, juga telah ditunda karena adanya masalah keamanan. Jalur itu akan menghubungkan Filipina, Taiwan, dan A.S. dengan Hong Kong, yang dikhawatirkan oleh para pejabat A.S. dapat memberikan data global yang sensitif kepada RRT mengingat tindakan tegas yang diberlakukannya di wilayah itu. Sebuah proyek Facebook untuk menghubungkan California ke Hong Kong juga dibatalkan pada tahun 2021 untuk alasan yang sama.

Dinamika pasar dapat semakin mempersulit masalah keamanan ketika perusahaan teknologi terus berupaya melakukan ekspansi dengan menggaet pengguna di Asia Tenggara. “Kabel bawah laut berkembang seiring dengan pertumbuhan eksponensial layanan [komputasi] cloud,” ungkap Claude Achcar, mitra pelaksana di Actel Consulting, kepada Nikkei Asia pada April 2021. “Tidak memihak merupakan pilihan cerdas yang dapat diambil oleh berbagai negara. Indonesia dan sesama negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memiliki posisi yang lebih baik dalam menyambut masuknya perusahaan teknologi dari Tiongkok dan A.S.,” ungkap Claude Achcar.

Tindakan Penyeimbangan

Analis lain berpendapat bahwa keuntungan dari peningkatan akses ke internet broadband dan derasnya aliran informasi harus dipertimbangkan secara saksama terhadap kemungkinan adanya masalah keamanan dalam jangka panjang. “Sangat disayangkan melihat masalah geopolitik itu mengalir turun ke dalam lapisan fisik internet,” ungkap Emily Taylor, seorang analis kebijakan siber dan peneliti keamanan di Chatham House, kepada Bloomberg pada Maret 2021. “Kita semua harus menghadapi kemungkinan seperti ini: Bagaimana kita berusaha membuka sebanyak mungkin pintu tanpa membuka diri terhadap ancaman keamanan nasional?”

Seperti yang telah terjadi saat ini, dapat diperkirakan bahwa kabel bawah laut akan terjerat oleh risiko keamanan pada masa mendatang. Untuk alasan ini, sekutu dan negara mitra harus bekerja sama dengan sektor swasta untuk mendorong pembagian intelijen, penilaian risiko, standar keamanan, kemampuan pemantauan dan perbaikan serta perencanaan kontingensi yang lebih baik, dan untuk perlindungan yang lebih kuat dalam hukum internasional guna melindungi kabel bawah laut dunia dan memastikan ketahanannya, demikian yang direkomendasikan para analis.

“Ketika Gedung Putih semakin berfokus pada ancaman keamanan siber terhadap negara dan masyarakat global, termasuk dari pemerintah Tiongkok dan Rusia, Gedung Putih harus memprioritaskan investasi pada keamanan dan ketahanan infrastruktur fisik yang menopang komunikasi internet di seluruh dunia,” demikian kesimpulan Justin Sherman dalam laporannya untuk Atlantic Council. “Kelalaian untuk melakukannya hanya akan membuat sistem ini lebih rentan terhadap spionase dan potensi gangguan yang memutus aliran data dan merugikan keamanan ekonomi dan nasional.”  

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button