Cerita populer

Indonesia memelopori kerja sama regional di Laut Cina Selatan

Tom Abke

Indonesia menjangkau negara-negara tetangganya di Laut Cina Selatan untuk mendorong keharmonisan dalam masalah kedaulatan maritim dan meningkatkan kerja sama di antara pasukan penjaga pantai regional, demikian ungkap para analis. Indonesia menjalin hubungan erat dengan Vietnam pada akhir tahun 2021 dan berencana untuk menambahkan lima negara ke dalam upaya kolaboratif itu pada tahun 2022.

Nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Pasukan Penjaga Pantai Vietnam dan Badan Keamanan Laut Indonesia, yang dikenal sebagai Bakamla, pada Desember 2021 bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi dan mendukung langkah-langkah sementara untuk menentukan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) kedua negara, demikian menurut Dr. Vijay Sakhuja dari Centre for Public Policy Research yang berbasis di New Delhi.

Selain itu, kepala Bakamla telah mengundang rekan-rekannya dari empat negara yang memiliki klaim teritorial di Laut Cina Selatan — Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam — serta Singapura untuk menghadiri forum pasukan penjaga pantai pada kuartal pertama tahun 2022, demikian tulis Vijay Sakhuja dalam artikel pada 10 Januari 2022 di situs web Centre for Public Policy Research.

Sengketa di antara negara-negara penggugat di Laut Cina Selatan mengenai sejauh mana ZEE masing-masing negara telah berlangsung selama beberapa dekade, demikian menurut Council on Foreign Relations, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Amerika Serikat. Sementara itu, aktivitas agresif dan klaim teritorial menyeluruh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Laut Cina Selatan, termasuk membangun dan memiliterisasi fitur-fitur buatan di perairan yang disengketakan, telah meningkatkan ketegangan hingga mencapai tingkat krisis. Mahkamah internasional menolak apa yang diklaim Beijing sebagai sembilan garis putus-putus dan memutuskannya sebagai upaya melanggar hukum pada tahun 2016.

Dengan menyelesaikan sengketa teritorial, negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dapat memperkuat posisi mereka dalam pembicaraan mendatang yang melibatkan Beijing mengenai penyusunan pedoman perilaku di Laut Cina Selatan, demikian ungkap Collin Koh, seorang peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura, kepada FORUM.

Usulan pedoman perilaku itu merupakan perjanjian multilateral yang telah lama ditunggu-tunggu untuk mengurangi ketegangan di Laut Cina Selatan, yang kaya akan sumber daya alam serta menjadi jalur perairan penting dan strategis.

“Jika beberapa negara anggota ASEAN ingin memenuhi visi awal untuk memiliki posisi blok terpadu saat menghadapi RRT dalam negosiasi pedoman perilaku itu, maka persatuan internal di dalam ASEAN merupakan kuncinya,” ungkap Collin Koh. “Setidaknya sengketa bilateral di antara pihak-pihak penggugat wilayah Laut Cina Selatan di Asia Tenggara harus diselesaikan terlebih dahulu, dan batas ZEE Indonesia-Vietnam yang tumpang tindih di Laut Cina Selatan merupakan contoh baik dari sengketa yang perlu dituntaskan.”

Penyelesaian masalah ZEE mereka tidak hanya akan membantu Indonesia dan Vietnam dalam menangani masalah seperti penangkapan ikan ilegal, tetapi juga akan mengirimkan pesan kepada Beijing bahwa pemerintah kedua negara berkomitmen untuk melindungi hak kedaulatan mereka, demikian ungkap Dr. Ian Storey, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, kepada FORUM.

Perjanjian Indonesia-Vietnam mencakup enam bidang prioritas kerja sama bagi pasukan penjaga pantai mereka: peningkatan kemampuan keamanan dan keselamatan maritim; pertemuan bilateral reguler; pertukaran informasi dan komunikasi; operasi pencarian dan penyelamatan serta pencegahan kejahatan di laut; kunjungan pelabuhan; dan penegakan hukum, termasuk pemberantasan penangkapan ikan ilegal.

Kepala Bakamla Laksamana Madya Aan Kurnia mengumumkan forum enam negara itu dengan harapan mendapatkan bantuan dari pasukan penjaga pantai ASEAN lainnya, demikian menurut Vijay Sakhuja. Para peserta akan dapat bertukar pengalaman dan berupaya mendapatkan respons terkoordinasi dalam menghadapi berbagai masalah, demikian tulisnya.

Kerja sama tim semacam itu sangat penting untuk melawan agenda ekspansionis Beijing di Laut Cina Selatan, demikian ungkap Collin Koh. (Foto: Kapal Badan Keamanan Laut Indonesia KN Tanjung Datu, kiri, berlayar di samping kapal Cutter Stratton Pasukan Penjaga Pantai A.S. selama latihan bersama di Selat Singapura pada Agustus 2019.)

“Mengingat semakin gentingnya situasi di Laut Cina Selatan dengan meningkatnya insiden penggunaan pemaksaan maritim oleh Beijing selama dua tahun terakhir ini, maka menjadi semakin mendesak bagi masing-masing pihak ASEAN yang terlibat dalam sengketa di Laut Cina Selatan untuk tidak hanya bekerja sendirian, tetapi untuk bekerja sama dengan satu sama lain,” ungkapnya.

Tom Abke merupakan kontributor FORUM yang memberikan laporan dari Singapura.

FOTO DIAMBIL DARI: SERSAN SATU LEVI READ/PASUKAN PENJAGA PANTAI A.S.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button