Teror dan Tragedi

Perang PKT terhadap warga Uyghur telah Menimbulkan Dampak bagi Masa Depan Kontraterorisme
Dr. Sean Roberts
Genosida budaya Uyghur telah difasilitasi oleh narasi tidak berdasar bahwa ada ancaman teroris dalam penduduk Uyghur pada umumnya. Akan tetapi, masuk akal untuk mengajukan pertanyaan kontrafaktual apakah pelucutan identitas Uyghur yang dilakukan oleh negara Tiongkok akan terjadi sekarang jika perang melawan teror Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tidak pernah dideklarasikan. Lagi pula, genosida budaya yang dilakukan terhadap warga Uyghur saat ini lebih menekankan pada penjajahan Tiongkok terhadap tanah air Uyghur daripada upaya memberantas terorisme.
Meskipun ini benar adanya, menurut saya situasinya tidak dapat dengan mudah meningkat secara ekstrem menjadi genosida tanpa RRT yang membingkai warga Uyghur sebagai “ancaman teroris” dan budaya Uyghur telah terinfeksi oleh “ekstremisme.” Pernyataan tentang dugaan ancaman yang ditimbulkan oleh warga Uyghur ini telah sangat membantu RRT dalam menangkis kritik internasional atas tindakannya dan telah membantu menginformasikan bagaimana pihaknya dapat melakukan genosida budaya tanpa mendapatkan hukuman.
Pada Oktober 2019, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mempertimbangkan pernyataan tidak mengikat yang disampaikan oleh Inggris dan didukung oleh 23 negara yang mengutuk tindakan RRT di Wilayah Otonomi Uyghur Xinjiang sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat. Dalam tanggapan yang diberikan secara langsung terhadap pernyataan Inggris itu, 54 negara mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Belarus yang memuji catatan hak asasi manusia RRT, mencatat bahwa tindakannya di wilayah Uyghur merupakan pendekatan yang tepat dan bahkan manusiawi untuk memerangi ancaman teroris dan ekstremis Islam yang berbahaya. Intimidasi yang dilakukan RRT terhadap 54 negara untuk memberikan suara menentang pernyataan tidak mengikat terhadap pelanggaran hak asasi manusia menunjukkan bagaimana RRT telah memanfaatkan keanggotaannya dalam organisasi internasional dan bagaimana posisinya memungkinkan RRT untuk menekan berbagai negara agar memilih sejalan dengan posisi kebijakan RRT.

Saya ragu bahwa banyak, jika ada, perwakilan P.B.B. dari 54 negara ini yang percaya bahwa pernyataan Belarus itu benar adanya. Mereka membela RRT karena berbagai alasan kepentingan pribadi. Akan tetapi, mereka akan lebih sulit melakukannya jika saja tidak ada narasi perang melawan teror dan asumsi implisitnya bahwa perjuangan melawan terorisme membenarkan penangguhan hak asasi manusia. Selain itu, sifat biopolitik logika perang melawan teror telah membawa pengaruh dalam cara RRT melakukan genosida budaya ini.
Dengan menegaskan bahwa pihaknya menghadapi ancaman teroris dari dalam penduduk Uyghur, negara Tiongkok telah menargetkan seluruh kelompok etnis ini sebagai tersangka teroris. Dengan demikian RRT memiliki pembenaran jika pihaknya menangguhkan hak-hak warga Uyghur. Lebih jauh lagi, dengan menggunakan logika perang melawan teror untuk menemukan dasar-dasar ancaman dalam ideologi ekstremisme agama yang didefinisikan secara samar, negara Tiongkok telah menikmati kemampuan untuk menargetkan dan mengkriminalisasi budaya Uyghur itu sendiri, terutama aspek agamanya, seperti yang dituduhkan telah terinfeksi oleh pengaruh ekstremis.
Ini telah membawa negara itu ke jalur genosida eksplisit alih-alih mendorong pendekatan yang lebih bertahap terhadap kolonisasi pemukim, yang pada akhirnya dapat mendominasi dan meminggirkan warga Uyghur akibat migrasi pemukim Han Tiongkok yang didorong oleh pasar ke wilayah itu. Ini telah menjadi arah keterlibatan RRT terhadap warga Uyghur dan tanah air mereka pada akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an serta bisa tetap terjadi seperti itu jika RRT tidak tergoda oleh logika perang melawan teror dengan melaksanakan dehumanisasi dan pemrofilan budaya/etnis, yang secara inheren memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan strategi genosida. Jadi, meskipun RRT besar kemungkinan akan berupaya untuk menjajah tanah air Uyghur terlepas dari upaya perang melawan teror, sulit untuk membayangkan bahwa ini bisa terjadi dengan begitu cepat dan keras tanpa memanfaatkan narasi perang melawan teror yang diciptakan di seputar label terorisme.
Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa krisis yang dihadapi warga Uyghur di Tiongkok merupakan contoh utama dari mutasi perang melawan teror seiring berjalannya waktu dan ruang.
Setelah mengobarkan perang yang tidak berbentuk ini selama dua dekade, tampaknya narasi perang melawan teror itu sekarang berkembang menjadi alat bantu yang dicoba dan diuji bagi upaya baru pada kolonisasi pemukim, pembersihan etnis, dan genosida budaya. Inilah yang terjadi dengan warga Rohingya di Myanmar; demikian halnya dengan warga Uyghur di RRT. Pengamatan ini saja sudah cukup untuk menyadari bahwa perang yang didefinisikan secara longgar dan terus-menerus ini harus diakhiri. Satu-satunya cara untuk mengakhiri perang itu adalah masyarakat internasional membayangkan kembali konsep terorisme itu sendiri.
Ini akan membutuhkan adopsi definisi yang diakui secara internasional dan objektif tentang bagaimana terorisme harus didefinisikan dan bagaimana hal itu harus diidentifikasikan. Upaya tersebut akan menetralkan penggunaan instrumental istilah itu dan akan menetapkan aturan keterlibatan bagi perang di masa depan yang melibatkan aktor militan non-negara. Sangat dimungkinkan bahwa menempa konsensus internasional tentang apa yang merupakan terorisme terbukti mustahil dilakukan di dunia saat ini, tetapi tidak menangani masalah ini hampir menjamin bahwa hal itu akan menjadi “perang selamanya” yang akan terus memicu kekejaman terhadap umat manusia.
Meredakan Krisis Uyghur
Meskipun mengakhiri perang melawan teror bisa sangat membantu dalam mencegah tragedi di masa depan seperti yang dihadapi warga Uyghur, sayangnya hal itu hanya akan berdampak kecil pada genosida budaya yang sedang berlangsung di tanah air warga Uyghur. Membendung gelombang genosida budaya ini akan membutuhkan tekanan bersama dan terus-menerus terhadap RRT. Sayangnya, sebagian besar negara sejauh ini tidak bersedia mengkritik Tiongkok secara terbuka tentang perlakuannya terhadap warga Uyghur atau tidak efektif dalam mendapatkan pengakuan atas kritik yang mereka ungkapkan secara publik. Ini sebagian besar disebabkan oleh kekuatan ekonomi internasional yang diproyeksikan oleh RRT di berbagai penjuru dunia.
Patut dicatat, misalnya, bahwa tidak ada negara Muslim yang membuat pernyataan keprihatinan resmi tentang apa yang terjadi pada warga Uyghur di dalam Tiongkok. Bahkan Kazakstan dan Kirgistan, yang warga dan sesama etnisnya telah didokumentasikan dikirim ke kamp-kamp di Xinjiang, memilih untuk bungkam. Meskipun para pejabat Turki telah membuat beberapa pernyataan kritis tentang masalah ini, pemerintah Turki belum mengambil tindakan diplomatik substantif atau resmi untuk mendukung pernyataan ini. Selain itu, P.B.B. dan negara-negara anggotanya tidak berhasil memulai diskusi serius tentang masalah ini seperti yang ditunjukkan oleh suara di Majelis Umum P.B.B. Ini terutama benar mengingat RRT menjadi semakin mahir dalam proses P.B.B., menggunakannya untuk mencegah kritik berkelanjutan terhadap kebijakan dan tindakan Tiongkok. Satu-satunya negara yang telah angkat bicara tentang situasi warga Uyghur di Tiongkok adalah negara-negara demokrasi liberal.
Australia, Jepang, banyak negara Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara demokrasi liberal lainnya telah menyuarakan keprihatinan substansial tentang situasi yang sedang berlangsung di tanah air warga Uyghur.
Pada saat yang sama, negara-negara demokrasi liberal tidak ingin menggunakan satu-satunya pengaruh yang mereka miliki atas Tiongkok, yaitu keterlibatan ekonomi, karena ketidakterlibatan ekonomi dapat sama-sama merugikan kedua belah pihak. Mengingat situasi ini, kita tidak boleh berharap bahwa negara-negara lain akan mampu atau bersedia menekan Tiongkok untuk mengubah tindakannya di tanah air warga Uyghur kecuali jika mereka didorong untuk melakukannya oleh warga mereka. Dengan demikian, satu-satunya tindakan nyata yang dapat memberikan tekanan signifikan pada Tiongkok saat ini harus berasal dari akar rumput, dan harus menargetkan RRT dengan satu-satunya cara yang dapat menciptakan pengaruh nyata, secara ekonomi.

Ada preseden bagi tindakan semacam itu dalam gerakan anti-apartheid pada tahun 1980-an. Warga dari seluruh dunia terlibat dalam advokasi bersama untuk memboikot pemerintah Afrika Selatan atas kebijakan apartheidnya, memaksa universitas dan dana pensiun untuk melakukan divestasi dari perusahaan Afrika Selatan serta menekan perusahaan internasional untuk menghentikan operasi mereka di negara itu. Meskipun boikot total terhadap barang-barang Tiongkok sulit dimobilisasi dalam perekonomian global saat ini, yang sebagian besar dibangun di seputar produksi Tiongkok, upaya untuk melakukannya mungkin mulai membuahkan hasil. Demikian pula, upaya mendorong investor institusional dan dana besar untuk melakukan divestasi dari saham Tiongkok dapat memberikan dampak, terutama jika upaya itu digerakkan di seluruh dunia.
Upaya semacam itu juga dapat menargetkan bisnis internasional yang bekerja di Tiongkok dan terutama bisnis yang beroperasi di tanah air warga Uyghur atau yang rantai pasokannya mempekerjakan pekerja paksa Uyghur. Akhirnya, gerakan akar rumput seperti itu perlu mengingatkan masyarakat akan fakta bahwa tindakan terhadap masalah ini bukan hanya tentang nasib warga Uyghur. Ini juga tentang preseden yang dibuat oleh genosida budaya Uyghur bagi nasib mereka sendiri di dunia tempat nilai-nilai hak asasi manusia, privasi, dan keanekaragaman sedang terancam.
Artikel ini dikutip dari buku Dr. Sean Roberts berjudul The War on the Uyghurs: China’s Internal Campaign against a Muslim Minority (Perang melawan Uyghur: Kampanye Internal Tiongkok melawan Minoritas Muslim), diterbitkan pada September 2020 oleh Princeton University Press. Artikel ini telah diedit agar sesuai dengan format FORUM.