Memperkuat Jajaran

Keanekaragaman gender dan gaji lebih tinggi membuahkan hasil bagi militer Korea Selatan
Felix Kim
Saat Im Hyeon-jin mengikat helmnya untuk menaiki tank tempur K1A2, dia melambangkan gelombang kemajuan yang melanda Angkatan Bersenjata Korea Selatan.
Im Hyeon-jin yang berusia 27 tahun itu, yang baru-baru ini dipromosikan menjadi sersan satu, menjadi perempuan pertama yang mengendarai K1A2 dan telah mencatat ribuan jam terbang sebagai pengemudi tank sejak tahun 2018, demikian yang dilaporkan Angkatan Darat Korea Selatan. “Sasaran utama saya adalah menjadi komandan tank yang hebat, dan saya merasa dapat melakukan pekerjaan itu,” ungkap Im Hyeon-jin kepada Arirang News, jaringan TV Korea Selatan. “Saya juga akan mencoba menjadi teladan yang baik bagi Prajurit perempuan masa depan.”
Dia bergabung dengan semakin banyaknya perempuan yang kariernya semakin meningkat dalam jajaran militer Korea Selatan ketika reformasi pertahanan menargetkan keanekaragaman gender dan peningkatan kondisi kehidupan bagi prajurit wajib militer. Sasarannya adalah untuk menghargai hak asasi manusia sembari memelihara penangkalan yang kuat terhadap ancaman yang selalu ada dari Korea Utara yang memiliki persenjataan nuklir.
Daftar perempuan dalam posisi kepemimpinan di militer Korea Selatan mencakup Letnan Kolonel Angkatan Laut Hong Yoo-jin, yang ditugaskan untuk memimpin kapal tempur yang beroperasi di dekat perbatasan maritim antar-Korea pada Desember 2020. Hong Yoo-jin menjadi kapten perempuan pertama di negara itu untuk kapal semacam itu, demikian menurut Angkatan Laut Korea Selatan. Kapal Hong Yoo-jin, ROKS Wonju, adalah bagian dari Skuadron Tempur ke-12, Komando Armada Pertama. Kapal korvet kelas Pohang itu dipersenjatai dengan meriam berkaliber 88 mm dan 44 mm, torpedo ringan, dan rudal serta memiliki anak buah kapal sekitar 120 orang.
Pelopor lainnya mencakup Letkol. Pyeon Bo-ra dari Wing Pelatihan Terbang ke-3, Letkol. Jang Se-jin dari Wing Mobilitas Udara ke-5, dan Letkol. Park Ji-yeon dari Wing Tempur ke-16, yang pada tahun 2019 menjadi perempuan pertama yang dilantik sebagai komandan batalion di Angkatan Udara Korea Selatan.

Kekuatan Melalui Keanekaragaman
Reformasi Pertahanan 2.0, yang diprakarsai oleh Presiden Korea Selatan Moon Jae-in pada Juli 2018, menyerukan lebih banyak perwira dan bintara perempuan dalam semua matra militer. Langkah itu mengikuti inisiatif Reformasi Pertahanan 2020 yang dimulai oleh Presiden Roh Moo-hyun pada tahun 2005.
Dorongan untuk keanekaragaman gender menjadikan militer Korea Selatan “salah satu penyedia peluang yang paling setara” di negara itu, demikian ungkap Sheen Seong-ho, profesor studi internasional di Seoul National University. Dorongan itu juga membantu memastikan ketangguhan pasukan di masa depan meskipun menghadapi menyusutnya demografi laki-laki muda, yang secara historis membentuk inti militer negara itu sebagai prajurit wajib militer.
Seiring dengan keanekaragaman gender, prioritas militer lainnya adalah pasukan kader perwira dan bintara penuh waktu dalam jumlah lebih besar baik laki-laki maupun perempuan, peningkatan kondisi dan upah bagi prajurit wajib militer, dan lebih banyak masukan publik ke dalam penganggaran militer, demikian menurut Kementerian Pertahanan Nasional.
“Per tahun 2020, kami memiliki sekitar 15.000 Prajurit perempuan di militer Korea Selatan,” ungkap In-Bum Chun, letnan jenderal purnawirawan Angkatan Darat Korea Selatan. “Itu sekitar 7,8% dari pasukan kader Korea Selatan.”
Memenuhi jaminan konstitusional negara tentang kesempatan yang sama bagi perempuan dan memenuhi kebutuhan militer akan keahlian merupakan alasan utama di balik sasaran pemerintah untuk meningkatkan jumlah itu menjadi 10% paling lambat pada tahun 2022, demikian yang ditambahkan In-Bum Chun.
Memperbaiki Kondisi Prajurit Wajib Militer
Ancaman terus-menerus dari Korea Utara mengharuskan Korea Selatan untuk bersiap menghadapi segala kontingensi. Karena Korea Utara memiliki pasukan permanen sekitar 1 juta prajurit, Angkatan Bersenjata Korea Selatan membutuhkan pasukan permanen lebih dari 500.000 prajurit, demikian ungkap In-Bum Chun. Itu berarti setiap pria berbadan sehat berusia 18 hingga 25 tahun diwajibkan untuk berdinas selama 18 hingga 24 bulan sebagai Prajurit, Pelaut, atau Penerbang wajib militer kecuali jika pengecualian diberikan.
Kebutuhan personel tambahan dan berkembangnya kesadaran akan hak asasi manusia telah mendukung upaya untuk meningkatkan kondisi kerja prajurit wajib militer. Peningkatan kualitas “budaya barak” dan upah bulanan yang lebih tinggi merupakan sasaran Reformasi Pertahanan 2.0.
“Hingga tahun 1980-an, kami mengalami surplus jumlah pemuda, jadi hanya sekitar 50% yang benar-benar berdinas,” ungkap In-Bum Chun. “Sekarang, dengan populasi yang lebih kecil, hampir 95% dipanggil, jadi masalah semacam ini semakin meningkat.”
Dia mengatakan berdasarkan Reformasi Pertahanan 2.0, upah bulanan bagi prajurit wajib militer rata-rata telah meningkat tiga kali lipat menjadi sekitar 5,75 juta rupiah (400 dolar A.S.) per bulan untuk prajurit dua Angkatan Darat. Dia menjelaskan bahwa itu artinya prajurit wajib militer tidak perlu lagi meminta uang kepada orang tua mereka untuk pulang ke kampung halaman atau membeli makanan saat tidak berdinas.
Juga tidak ada toleransi bagi perpeloncoan prajurit wajib militer oleh perwira, bintara, atau prajurit wajib militer lainnya, demikian ungkap In-Bum Chun, sehingga meningkatkan moral prajurit. Dia menggambarkan saat ketika prajurit wajib militer harus mengikuti “seribu aturan kecil,” seperti harus menunggu izin untuk berbaring sebelum tidur atau dilarang meninggalkan barak tanpa pengawalan. Pelanggar bisa dipaksa bertelanjang kaki dalam jangka waktu yang lama sebagai hukumannya.
“Banyak budaya barak yang telah hilang dan itu merupakan perkembangan yang bagus,” ungkap In-Bum Chun. Dia menjelaskan bahwa terlihatnya perbaikan ini memberi prajurit wajib militer pemahaman mengapa mereka berdinas dan jenis masyarakat yang diminta untuk mereka bela. “Dan menurut saya itu merupakan kekuatan yang sangat dahsyat.”

Perubahan signifikan lainnya adalah bahwa prajurit wajib militer sekarang dapat menggunakan ponsel saat tidak berdinas. “Beberapa pihak di kalangan publik Korea Selatan memprotes bahwa ini merupakan akhir dari militer Korea Selatan,” ungkapnya. “Tapi, tidak, hal itu benar-benar membuat segalanya menjadi lebih baik.”
Seiring berjalannya reformasi pertahanan, angka bunuh diri terus menurun di kalangan personel Angkatan Bersenjata Korea Selatan, turun dari 155 orang pada tahun 1994 menjadi 62 orang pada tahun 2019, demikian menurut statistik pemerintah.
Militer telah bekerja keras untuk meningkatkan dasar-dasar kehidupan barak, demikian ungkap Sheen Seong-ho, termasuk lebih banyak privasi di fasilitas mandi dan tempat tidur serta peningkatan pilihan nutrisi.
In-Bum Chun mengatakan kenaikan upah dan perbaikan kondisi hidup membutuhkan anggaran besar. Dari lebih dari 57,49 triliun rupiah (4 miliar dolar A.S.) yang dibelanjakan oleh militer Korea Selatan untuk pertahanan setiap tahun, “lebih dari setengahnya digunakan untuk biaya operasional: memberi makan, pakaian, dan membayar Prajurit.”
“Menurut saya pastinya anggaran itu dibelanjakan dengan baik dan bermanfaat,” ungkap Sheen Seong-ho.
Transparansi Lebih Besar
Pemerintah Moon Jae-in menanggapi pertanyaan tentang meningkatnya anggaran pertahanan negara itu pada Mei 2018 lewat mengadakan pertemuan dengan pejabat Kementerian Pertahanan, spesialis, Prajurit, dan warga sipil. Kekhawatiran terbesar sebagian besar publik terkait dengan kesehatan dan hak asasi manusia prajurit, dengan orang tua meminta militer untuk memberi anak-anak mereka jaket musim dingin dan alat pelindung diri selama mereka berdinas.
“Masyarakat Korea Selatan menjadi semakin demokratis dan transparan,” ungkap Sheen Seong-ho. “Jadi, Kementerian Luar Negeri kami sekarang berfokus pada diplomasi publik dengan publik Korea Selatan, seperti yang tentunya juga dilakukan oleh Kementerian Pertahanan.”
Sifat dari kewajiban untuk berdinas dalam kemiliteran berarti hampir setiap keluarga terpengaruh, demikian ungkap In-Bum Chun. Dia menambahkan penjangkauan publik membantu kepemimpinan “menyoroti bidang yang terlewatkan” dan menyuarakan keprihatinan publik yang dapat menimbulkan ketidakpuasan.
Dia mengatakan bahwa pelatihan harus dijalankan dengan ketat, karena setiap Prajurit harus siap tempur, berpotensi bertempur dalam kondisi di bawah titik beku. Akan tetapi, berdasarkan Reformasi Pertahanan 2.0, keselamatan dan kesejahteraan setiap Prajurit diperhitungkan lebih dari yang pernah ada sebelumnya.
“Konsep militer Korea Selatan adalah membangun kembali seorang anak muda begitu mereka masuk militer, dan kami hanya memiliki waktu lima minggu [pelatihan dasar] untuk melakukan ini,” ungkap In-Bum Chun. “Menurut saya ini merupakan penghargaan besar bagi generasi muda Korea Selatan bahwa mereka mampu mengubah diri mereka menjadi Prajurit yang siap menjalankan tugas dalam waktu yang singkat.” o
Felix Kim merupakan kontributor FORUM yang memberikan laporan dari Seoul, Korea Selatan.
Mengharmonisasikan Hak Asasi Manusia dan Tugas Negara
Korea Selatan mewajibkan semua pria berbadan sehat berusia 18 hingga 25 tahun untuk menjalani wajib militer selama 18 hingga 24 bulan, dengan pengecualian diberikan dalam kasus-kasus khusus.
Selama bertahun-tahun, penolakan untuk berdinas karena alasan keyakinan dan hati nurani merupakan kejahatan yang mengakibatkan dijatuhkannya hukuman penjara selama 18 bulan. Itu berubah pada tahun 2018 ketika putusan pengadilan membuka pintu bagi penolak wajib militer berdasarkan keyakinan dan hati nurani untuk melakukan bentuk pelayanan alternatif. Keputusan itu pada awalnya hanya berlaku bagi mereka yang memiliki keyakinan agama cinta damai, tetapi pada Februari 2021 sebuah panel pemerintah mengizinkan seorang laki-laki yang memiliki komitmen nonkekerasan yang tidak terkait dengan keyakinan agama untuk melakukan pelayanan alternatif.
Panel itu mengakui komitmen pemohon sebagai “sejati dan tulus,” demikian yang dilaporkan surat kabar The Korea Herald. “Sudah lama ada diskusi tentang masalah pengenalan pelayanan alternatif, tetapi diskusi seperti itu tidak dapat mencapai kemajuan nyata karena masalah ini perlu didekati dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan opini publik,” ungkap Yu Kyun-hye, sekretaris jenderal Administrasi Tenaga Kerja Militer Kementerian Pertahanan Nasional, kepada FORUM. Yu Kyun-hye menekankan bahwa “suasana sosial” yang mengakui legitimasi pelayanan publik alternatif harus diciptakan sebelum penerimaan publik secara luas dapat dicapai.
Pihak-pihak yang merasa skeptis memperingatkan tidak akan ada cara untuk membedakan di antara penolak wajib militer berdasarkan keyakinan dan hati nurani dengan orang-orang yang hanya ingin menghindari wajib militer. Akan tetapi lebih dari dua tahun setelah pengadilan mendekriminalisasi penolakan wajib militer berdasarkan keyakinan dan hati nurani, lembaga Yu Kyun-hye tidak melihat adanya korelasi di antara pengenalan pelayanan alternatif dan penurunan personel militer dinas aktif. Ketika jumlah pemuda Korea Selatan telah menurun, jumlah pemohon untuk status penolak wajib militer berdasarkan keyakinan dan hati nurani mencerminkan penurunan itu.
Sejak tahun 2019, 984 pemohon telah disetujui untuk menukar wajib militer dengan pelayanan publik alternatif, demikian menurut Yonhap, kantor berita yang berafiliasi dengan pemerintah Korea Selatan. Sebelum putusan itu, 500 hingga 600 laki-laki dipenjara setiap tahun karena penolakan wajib militer berdasarkan keyakinan dan hati nurani, demikian ungkap Yu Kyun-hye.
Yu Kyun-hye menjelaskan bahwa pilihan pelayanan alternatif terdiri dari 36 bulan kerja penuh waktu di penjara atau pusat penahanan. Para peserta tinggal berkelompok di dekat tempat kerja mereka serta menerima upah dan tunjangan yang sama dengan prajurit wajib militer, termasuk liburan dan cuti.
“Sistem alternatif itu diciptakan dari sudut pandang mengharmonisasikan dan melindungi hak asasi manusia anggota kelompok minoritas serta memungkinkan pelayanan penuh kesetiaan bagi tugas wajib militer,” ungkap Yu Kyun-hye.
Pekerjaan di penjara dipilih karena adanya permintaan yang kuat sebanding dengan dinas militer, demikian ungkapnya. “Begitu pemerintah mengumpulkan lebih banyak pengalaman dalam mengoperasikan sistem pelayanan alternatif, diskusi tentang cara-cara untuk mengubah lingkungan pelayanan diharapkan dapat dilakukan.”
Jung Da-min dari surat kabar The Korea Times memberikan kontribusi pada artikel ini.