Tajuk Utama

Kerusuhan Myanmar

Implikasi Kudeta Militer terhadap Persaingan Strategis di Indo-Pasifik

Setelah pembebasan Daw Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah pada November 2010, banyak orang takut akan kemungkinan militer Myanmar (Burma) berbalik arah. Ketakutan ini terwujud pada 1 Februari 2021, ketika militer merebut kendali sewaktu fajar dan menangkap para pemimpin sipil dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), termasuk pemimpin negara yang terpilih secara demokratis.

Semenjak itu, negara ini telah berubah menjadi kekisruhan, dan orang-orang bangkit dalam demonstrasi massal untuk menuntut agar demokrasi dipulihkan dan hasil pemilu November 2020 dihormati. NLD menang telak dalam pemilu, seperti yang terjadi pada tahun 2015. Saat unjuk rasa menyebar di berbagai penjuru negeri, pasukan bersenjata dan keamanan Myanmar melancarkan kebrutalan khas mereka pada pengunjuk rasa damai dan menangkap orang-orang di rumah dalam penggerebekan malam. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, lebih dari 700 warga sipil tewas termasuk oleh penyiksaan yang tidak manusiawi di tangan pasukan keamanan dan melalui penggunaan senjata. Pihak militer telah menangkap 8.867 pengunjuk rasa, dan lebih dari 7.196 masih ditahan, hingga 11 Oktober 2021. Sekitar 1.164 orang telah tewas. COVID-19 menyebar dengan cepat melalui Myanmar, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan setengah dari 54 juta populasi akan terinfeksi pada pertengahan Agustus. Rezim militer tidak dapat dan tidak bersedia untuk mengumpulkan data yang akurat tentang kematian COVID-19.

Ketika komunitas internasional menyuarakan kemarahan yang dapat dibenarkan atas pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menggunakan krisis itu untuk melanjutkan kepentingan ekonomi, kebijakan luar negeri, dan militernya dengan melemparkan tali penyelamat ke junta militer yang sedang berperang.

Pengunjuk rasa antikudeta berkumpul di ibu kota Myanmar, Yangon, pada April 2021.

Pencarian Kendali oleh Tiongkok

Kudeta militer itu menempatkan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dalam posisi sulit. RRT mendapati pemerintah sipil Myanmar yang dipimpin oleh Daw Aung San Suu Kyi lebih dapat diandalkan daripada militer Myanmar karena para pemimpinnya mengutamakan pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, yang selaras dengan skema Satu Sabuk, Satu Jalan RRT. Beijing sedang dalam proses mengamankan ikatan bilateral secara permanen dengan pemerintah pimpinan sipil ketika kudeta terjadi.

Meski RRT lebih suka berurusan dengan pemerintah sipil, “pada akhirnya, Tiongkok percaya bahwa militer Myanmar (Burma) memegang kekuasaan tertinggi karena mereka memiliki senjata. Mereka memiliki senapan. Mereka tidak benar-benar mempertanyakan kemampuan militer Myanmar (Burma) untuk menang pada akhirnya”, ungkap Yun Sun, seorang peneliti senior di Stimson Center, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Washington, D.C., kepada National Public Radio. Pragmatisme Beijing dan sifat transaksional hubungannya dengan Myanmar akan mengendalikan keadaan. RRT menolak mengutuk kudeta dan memblokir resolusi yang berarti dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap junta militer.

RRT memandang Myanmar sebagai jembatan darat ke Samudra Hindia. Oleh karena itu, menjaga dan mengendalikan koridor Myanmar tetap sangat penting bagi kebijakan luar negeri Beijing. Pengakuan dan ambisi ini berasal dari para penjelajah awal Tiongkok, yang mencari rute dari provinsi-provinsi Tiongkok yang terkurung daratan (seperti daerah Yunan modern) melalui Myanmar menuju laut.

Selain itu, Myanmar menyediakan alternatif strategis terhadap dilema Malaka RRT. Ketergantungan Tiongkok pada Selat Malaka yang sempit, yang dilewati sebagian besar perjalanan pengiriman dan pasokan energinya, menciptakan kerentanan yang signifikan dalam persaingan strategisnya dengan Amerika Serikat. Beijing melihat akses tanpa batas ke koridor Myanmar sebagai kunci untuk memperbaiki kerentanan ini. Selain itu, memiliki akses ke lebih dari 2.000 kilometer garis pantai Myanmar (yang berlokasi strategis di pintu masuk barat ke Selat Malaka) dengan akses langsung ke Samudra Hindia akan memberi Tiongkok keuntungan komersial yang sangat besar dibandingkan pesaingnya.

Jika ini membuahkan hasil, RRT akan dapat mengendalikan bagian timur selat melalui fitur artifisial yang telah dibangunnya di Laut Cina Selatan dan bagian barat melalui Myanmar. Setelah Kongres A.S. mengesahkan Undang-Undang Kebebasan dan Demokrasi Myanmar, yang memberlakukan sanksi berat terhadap rezim militer sebelumnya pada tahun 2003, RRT menggunakan kesempatan ini untuk menekan Myanmar agar mengizinkannya membangun pelabuhan laut dalam yang dikenal sebagai Kyaukphyu di pesisir barat Myanmar dan jalur pipa ganda minyak dan gas dari pelabuhan ke provinsi Yunan RRT. Ini adalah terobosan yang signifikan bagi RRT, yang memberikan basis alternatif strategis yang vital terhadap dilema Malaka untuk pertama kalinya.

Ratusan pengendara sepeda motor di Mandalay memprotes kudeta militer Myanmar pada Maret 2021.

Myanmar Kalah 

Setelah periode keterlibatan kembali Barat yang relatif singkat dari 2012-17, Myanmar masuk lagi dalam daftar paria Barat. Daw Aung San Suu Kyi dipersalahkan atas serangan kejam militer terhadap minoritas Muslim Rohingya, dan sanksi internasional yang selanjutnya mengisolasi negara itu segera menyusul.

RRT memandang penghukuman atas kekejaman militer Myanmar sebagai kesempatan. RRT mendapatkan kembali pengaruh dan akses ke Myanmar dengan dorongan yang cukup besar dari tekanan bersama negara-negara Barat terhadap Myanmar. Indikator yang jelas adalah kunjungan Sekretaris Jenderal PKT Xi Jinping ke Myanmar pada Januari 2020 pada malam menjelang Sidang Mahkamah Internasional yang memerintahkan Myanmar untuk mencegah genosida orang Rohingya. Keinginan Beijing untuk mendirikan pintu belakang melalui Myanmar ke Samudra Hindia makin mendekati kenyataan. 

Kemudian datang kudeta militer awal pada 1 Februari 2021, yang mengakhiri eksperimen Myanmar dengan demokrasi, ketika NLD pimpinan Daw Aung San Suu Kyi bersiap mengambil kursi di Parlemen pagi itu. Kecurangan pemilu adalah alasan resmi yang diberikan untuk kudeta itu. Kritik Barat telah merusak kemampuan Daw Aung San Suu Kyi untuk melawan militer. Alasan semula kesediaan militer untuk bermain dengan demokrasi pada tahun 2010 dan mentolerir Daw Aung San Suu Kyi adalah kebutuhannya untuk mengurangi ketergantungan pada RRT. Para pemimpin militer percaya bahwa dengan melepaskannya dan menempuh jalan “demokrasi yang disiplin”, Myanmar dapat menarik keterlibatan Barat untuk berdiversifikasi dari RRT.

Namun, ketika dukungan Barat melemah untuk Daw Aung San Suu Kyi dan RRT kembali melangkah masuk, militer melihat akhir dari kegunaannya dan kepura-puraan demokrasi. Meski rezim militer sebelumnya mengizinkan pembangunan jalur pipa ganda dan bendungan Tiongkok serta penipisan hutan sementara juga menyerahkan hak atas sebagian besar tanah Myanmar kepada industri ekstraktif RRT, militer saat ini merasa bahwa mereka lebih unggul daripada pemerintah pimpinan sipil dalam menangani RRT. Selain itu, kepemimpinan militer sangat diuntungkan dari proyek-proyek yang didukung Tiongkok pada masa lalu, sementara tidak demikian di bawah pemerintahan demokratis.

Seiring berlanjutnya protes antikudeta, militer membawa kembali strateginya dari pemberontakan sebelumnya: Penjarakan para pemimpin, pukul para pengunjuk rasa sampai tunduk, ciptakan rasa takut di tengah masyarakat, dan keluarkan para pengacau dari kota menuju daerah perbatasan atau ke luar negeri, jika memungkinkan. Setelah kota bersih, militer akan mengonsolidasikan upayanya dan melakukan operasi pembersihan di daerah perbatasan. Strategi ini berhasil sebelumnya dan militer mengikuti jalur yang sama pada tahun 2021.

Para pengunjuk rasa dalam demonstrasi April 2021 di Yangon, Myanmar, mengkritik dukungan Tiongkok terhadap kudeta militer.

Gerakan Pro-Demokrasi dan Anti-Kudeta

Tiga hari setelah kudeta, rakyat Myanmar, yang dipimpin oleh kalangan dewasa muda dari Generasi Z, turun ke jalan untuk berunjuk rasa. Mereka memberikan penghormatan tiga jari, simbol perlawanan yang dipopulerkan oleh film The Hunger Games. Jutaan orang di kota dan desa secara damai dan terbuka meminta junta militer menghormati suara mereka dan memulihkan demokrasi. Meski banyak yang membawa bendera NLD dan memakai logo, fokusnya bukan pada politik partai tetapi pada pemulihan sistem demokrasi dan mengecam otoritarianisme militer. Banyak pegawai negeri sipil mogok kerja dalam bentuk gerakan pembangkangan sipil, yang awalnya dipimpin oleh sektor perawatan kesehatan dan pendidikan sebelum menyebar ke seluruh birokrasi dan bahkan bagian dari sektor swasta, yang membuat perekonomian terhenti.

Ketika protes nasional terjadi, pasukan militer dan keamanan Myanmar mengerahkan taktik mematikan dan melakukan penggerebekan setiap malam di wilayah pemukiman penduduk. Pembunuhan dan penangkapan yang tak beralasan membangkitkan rasa ketidakadilan dan kemarahan di tengah rakyat. “Penentangan terhadap junta sangat dalam dan meluas. Saya belum pernah melihat hal seperti itu”, lapor Tom Andrews, reporter khusus P.B.B. tentang hak asasi manusia di Myanmar. Ini telah “menyatukan negara itu sampai pada tingkat yang belum pernah saya lihat, orang-orang dari segala usia, segala etnik, segala kelompok sosial dan ekonomi, bersatu menentang.”

Menyatukan Kelompok Etnik

Serangan tanpa henti pasukan keamanan menyebabkan pengunjuk rasa di daerah perkotaan melarikan diri ke daerah perbatasan yang dikendalikan oleh organisasi etnik bersenjata (EAO). Banyak dari mereka mencari pelatihan dan senjata dari EAO untuk melawan kebrutalan pasukan keamanan.

Lebih dari sepuluh anggota parlemen, legislator, dan anggota kabinet Myanmar lolos dari penangkapan selama minggu pertama Februari 2021. Kelompok ini membentuk Komite yang Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), dengan banyak anggotanya beroperasi dari daerah yang dikendalikan dan dilindungi oleh EAO. Krisis ini menciptakan kerja sama dan persatuan yang luar biasa di antara kelompok mayoritas dan minoritas etnik Myanmar, sebagaimana yang dicatat Andrews.

Pengunjuk rasa antikudeta memberikan penghormatan tiga jari, simbol perlawanan, saat mereka berkumpul untuk berdoa bagi mereka yang tewas dalam protes melawan militer Myanmar di Yangon pada April 2021.

Kelompok bersenjata yang lebih besar seperti Tentara Pembebasan Nasional Karen, milisi di bawah Uni Nasional Karen, dan Tentara Kemerdekaan Kachin, milisi di bawah Organisasi Kemerdekaan Kachin, beralih dari yang sebelumnya dipandang sebagai kelompok pemberontak separatis menjadi pasukan pertahanan diri yang sah oleh mayoritas Myanmar. Pasukan gabungan EAO diperkirakan berjumlah lebih dari 80.000 orang.

Setelah delapan bulan, upaya untuk melawan rezim militer dan memulihkan demokrasi tidak surut. CRPH juga membentuk pemerintahan inklusif, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), dengan tingkat representasi etnik yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam posisi kepemimpinannya. Lini upaya utama NUG adalah memimpin proses pemulihan demokrasi dan membangun “serikat demokratis federal.” Di tingkat dasar, kerja sama yang tak tertandingi antara EAO dan Pasukan Pertahanan Rakyat, ditambah dengan dukungan politik eksplisit dari mayoritas Myanmar, menciptakan aliansi yang tangguh melawan rezim militer. Kapasitas militer digunakan melampaui batas kemampuannya sebab mereka menghadapi sejumlah besar pembelotan, personel yang gugur dalam tugas, dan kematian akibat COVID-19. Keberlanjutannya dipertanyakan untuk pertama kalinya dalam sejarah Myanmar pascakolonial. 

Prospek Masa Depan

Hasil dari krisis tersebut sulit diprediksi dengan begitu banyaknya variabel dan aktor. Namun, setelah satu dekade demokrasi dan kebebasan, para pengunjuk rasa memiliki lebih banyak kemampuan, kesadaran, dan jaringan di seluruh dunia dibandingkan dengan warga Myanmar di masa lalu. Mereka dapat memobilisasi orang-orang dan sumber daya secara domestik dan internasional untuk mendukung upaya mereka. Kerja sama yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara kelompok etnik dan agama juga mengubah dinamika demi keuntungan rakyat. Perempuan memainkan peran utama dan lebih besar dalam kegiatan prodemokrasi dan antikudeta. Diaspora Myanmar memberikan pengetahuan teknis, advokasi politik, dan dukungan ekonomi.

Militer Myanmar tidak pernah melihat oposisi setingkat ini dari dalam dan luar negeri. NUG yang dibentuk dalam waktu kurang dari tiga bulan merupakan hal yang sangat luar biasa. Sementara itu, CRPH, dengan bantuan teramat penting dari diaspora Myanmar, mampu membujuk Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, P.B.B., dan banyak negara untuk tidak mengakui keabsahan rezim militer.

Pesepeda di Jakarta, Indonesia, berkumpul pada April 2021 menentang kudeta militer di Myanmar.

Bahkan ketika negara-negara Barat mengenakan sanksi dan mengisolasi rezim militer, tindakan seperti itu tidaklah cukup untuk memaksa rezim tersebut membebaskan tahanan politik, menghentikan pembunuhan, dan memulihkan demokrasi dalam jangka pendek. RRT, sebagai investor terbesar dan tetangga di utara Myanmar, adalah satu-satunya kekuatan besar yang memiliki pengaruh atas junta militer. Seiring dengan junta yang makin terisolasi, mereka kemungkinan akan terpaksa bergantung lebih banyak pada RRT. Namun, delapan bulan setelah kudeta, kepemimpinan militer masih berjuang untuk mendapatkan kendali atas negara dan mayoritas rakyat. Seiring dengan tidak pastinya viabilitas jangka panjang rezim militer, RRT telah mulai melindungi nilai taruhannya. RRT menghubungi pimpinan partai NLD dan menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi untuk empat partai politik Myanmar termasuk NLD, demikian menurut laporan di situs web The Irrawaddy. 

Meski kudeta ini adalah kesempatan bagi Beijing untuk menarik Myanmar lebih erat ke dalam cengkeramannya, gelombang besar sentimen anti-Tiongkok memperoleh momentum di dalam Myanmar dan di kalangan diasporanya. Meski A.S. dan sekutunya tidak mendukung kegiatan tersebut, sebagian pengunjuk rasa menyerukan penghancuran bisnis dan investasi infrastruktur milik Tiongkok di Myanmar dan memboikot produk Tiongkok. Pabrik milik Tiongkok di pinggiran ibu kota Myanmar, Yangon, dibakar. Banyak dari diaspora Myanmar telah berunjuk rasa di luar kedutaan Tiongkok di seluruh dunia. Tiongkok memiliki masalah hubungan masyarakat yang serius dengan rakyat Myanmar.

Taruhan Persaingan Strategis

Masalah RRT memberikan kesempatan bagi A.S. Jika rakyat Myanmar dapat memaksa militer untuk memulihkan demokrasi, RRT akan menjadi pecundang dalam jangka panjang. Namun, jika rezim militer menang atau Myanmar jatuh menjadi negara gagal, RRT akan mendapatkan keuntungan. Terlepas dari keyakinan rezim militer bahwa mereka dapat menangani RRT dengan lebih baik, persepsi ini tidak didukung oleh realitas sejarah. Jika rakyat Myanmar berjaya dan demokrasi menang, gelombang kejutan akan mencapai Hong Kong, Taiwan, dan berbagai anggota gerakan prodemokrasi Aliansi Teh Susu. Myanmar adalah negara demokrasi terakhir yang tersisa di daratan Asia Tenggara. Itulah mengapa Myanmar merupakan garis depan untuk demokrasi di Indo-Pasifik.  

Beri Komentar Di Sini

Privasi Anda penting bagi kami. Jika Anda memilih untuk membagikan alamat email Anda, staf FORUM hanya akan menggunakannya untuk berkomunikasi dengan Anda. Kami tidak akan membagikan atau memublikasikan alamat email Anda. Hanya nama dan situs web Anda yang akan muncul pada komentar Anda. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button