Tajuk Utama

Fokus Strategis bagi Jepang

Asia Tenggara menawarkan peluang baru bagi kemitraan keamanan maritim

Letnan Kolonel Laut (Purn.) John F. Bradford/Angkatan Laut A.S.

Strategi maritim Jepang pada dasarnya berfokus pada kemitraan dengan sekutunya Amerika Serikat untuk memastikan bahwa jalur laut Indo-Pasifik yang penting bagi keamanannya berada dalam kondisi aman dan terlindungi. Sebagian besar aktivitas yang dilakukan oleh dua dinas keamanan maritimnya, Pasukan Bela Diri Maritim Jepang (Japan Maritime Self-Defense Force – JMSDF) dan Pasukan Penjaga Pantai Jepang (Japan Coast Guard – JCG), difokuskan pada laut di dekat Jepang dan berusaha untuk menangkal tindakan agresif yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Korea Utara, dan Rusia sembari memungkinkan tata kelola yang baik terhadap zona ekonomi eksklusif Jepang. Jepang juga mengerahkan pasukannya ke berbagai lokasi di sepanjang jalur laut tersebut, seperti Teluk Aden dan Selat Hormuz, tempat pengapalan Jepang berada di bawah ancaman signifikan dan langsung. Strategi yang sama pentingnya adalah aktivitas Jepang yang ditujukan pada jalur laut yang relatif lebih aman dan terlindungi, namun masih rentan yang melewati dan berada di dekat Asia Tenggara. Jalur laut ini termasuk laut tertutup, seperti Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Teluk Benggala, serta titik keluar masuk rawan (chokepoint) kritis, seperti Selat Lombok, Malaka, Singapura, dan Sunda.

Sebagian besar dari upaya ini memanfaatkan kekuatan ekonomi Jepang, dan Jepang telah banyak berinvestasi dalam mengembangkan infrastruktur dan kemampuan keselamatan bersama dengan negara-negara pesisir di kawasan itu selama lebih dari 50 tahun. Selama 20 tahun terakhir, JCG juga telah terlibat dalam pengembangan kemampuan penegakan hukum maritim negara-negara pesisir. Dalam dekade terakhir, Kementerian Pertahanan Jepang telah terlibat dengan memulai proyek pengembangan kemampuan baru dengan angkatan laut regional, dan JMSDF semakin banyak melakukan operasi militer di perairan regional.

Dengan semua cabang kekuatan negara Jepang sekarang berinvestasi dalam keamanan maritim Asia Tenggara, kawasan ini mengukuhkan dirinya sebagai fokus baru dalam strategi maritim Jepang. Ruang lingkup, maksud strategis, dan kemungkinan perkembangan aktivitas keamanan maritim Jepang di masa depan di Asia Tenggara patut dicermati secara lebih dekat.

STRATEGI MARITIM JEPANG

Strategi keamanan maritim Jepang yang mapan dapat secara luas dipisahkan menjadi dua segmen geografis, satu segmen yang berkaitan dengan perairan dalam negeri Jepang dan segmen lainnya untuk jalur laut Indo-Pasifik. Di laut-laut di dekatnya, Jepang menghadapi tekanan keamanan yang signifikan dari utara, barat, dan selatan. Postur militer kontemporer yang agresif, sengketa wilayah, dan masalah warisan perang menciptakan masalah keamanan dan menghambat kerja sama di antara Jepang dan negara-negara tetangganya yaitu Rusia, RRT, Korea Utara, dan Korea Selatan.

Petugas Pasukan Penjaga Pantai Vietnam menyaksikan sebuah helikopter berangkat dari kapal Pasukan Penjaga Pantai Jepang Echigo selama pelatihan gabungan di lepas pantai Vietnam di dekat Danang. AFP/GETTY IMAGES

Di ruang maritim, persaingan dengan RRT merupakan persaingan yang paling menegangkan. Lingkaran konsentris pasukan penjaga pantai dan angkatan laut Jepang dan RRT terus-menerus memperebutkan kedaulatan, menguji reaksi, dan berupaya untuk menegaskan kendali atas perairan di sekitar Kepulauan Senkaku. Situasi ini menuntut sumber daya armada yang signifikan sementara itu wilayah Laut Cina Timur lainnya menyediakan front panjang untuk patroli dan pengawasan. Ancaman rudal balistik dari Korea Utara dan dukungan Jepang untuk penegakan sanksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap negara itu juga membuat armada itu sibuk. Di atas perairan yang mendekati wilayah Jepang, Pasukan Bela Diri Udara Jepang secara reguler meluncurkan pesawat tempur untuk menanggapi operasi penerbangan RRT dan Rusia. Mengingat situasi yang semakin parah ini, melindungi hak-hak Jepang dan melaksanakan tanggung jawab nasionalnya di laut dan wilayah udara berdasarkan Konvensi Hukum Laut P.B.B. telah menyita sebagian besar sumber daya keamanan Jepang.  

Strategi Jepang untuk memastikan keselamatan dan keamanan jalur laut kritisnya bertumpu pada tiga elemen: meningkatkan aliansinya dengan A.S., mengerahkan pasukan ke lokasi ancaman paling kritis, dan memperkuat hubungan dengan mitra yang semakin mumpuni di sepanjang rute laut itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, strategi maritim Jepang telah ditempatkan di bawah kampanye nasional untuk memfokuskan kebijakan luar negeri Jepang di jalur Indo-Pasifik yang membentang di sepanjang jalur lautnya ke Eropa dan Afrika. Tak lama setelah mantan Perdana Menteri Shinzo Abe menjabat untuk pertama kalinya pada tahun 2006, Menteri Luar Negeri saat itu Taro Aso mengumumkan kebijakan Busur Kebebasan dan Kemakmuran. Kebijakan luar negeri ini melengkapi prioritas Jepang yang ada yang melibatkan pengelolaan hubungan dengan negara-negara tetangga terdekatnya dan memperkuat aliansi A.S., dengan penekanan tambahan pada mempromosikan demokrasi dan peningkatan kemampuan busur negara-negara mitra yang membentang dari Eropa Utara, melalui Timur Tengah, melewati anak benua India, dan di seluruh Asia Tenggara. Khususnya, busur ini selaras secara geografis dengan rute perdagangan utama Jepang, dikurangi dengan rute melintasi Samudra Pasifik yang sudah aman, berkat aliansi A.S. Shinzo Abe menjadi pemimpin global pertama yang menyoroti konsep geopolitik Indo-Pasifik ketika dia memberikan pidato tahun 2007 kepada Parlemen India berjudul “Pertemuan Dua Laut.” Dua perdana menteri berikutnya, keduanya dari Partai Demokrat Liberal, melanjutkan prioritas ini. Ketika Partai Demokrat Jepang memimpin pemerintahan dari tahun 2009-12, Perdana Menteri Yukio Hatoyama, Naoto Kan, dan Yoshihiko Noda menggunakan penyebutan yang berbeda tetapi mempertahankan pendekatan kebijakan luar negeri ini terhadap negara-negara pesisir di Asia Selatan dan Tenggara. Segera setelah kembali berkuasa pada tahun 2012, Shinzo Abe menerbitkan sebuah esai berjudul “Berlian Keamanan Demokratis Asia.” Esai itu dibuka dengan: “Perdamaian, stabilitas, dan kebebasan navigasi di Samudra Pasifik tidak dapat dipisahkan dari perdamaian, stabilitas, dan kebebasan navigasi di Samudra Hindia. Jepang, sebagai salah satu negara demokrasi bahari tertua di Asia, harus memainkan peran yang lebih besar — bersama dengan Australia, India, dan A.S. — dalam melestarikan kebaikan bersama di kedua kawasan itu.”

Asia Tenggara jelas berada di jantung berlian itu, dan sekarang menjadi fokus visi Indo-Pasifik Bebas dan Terbuka yang diumumkan pada tahun 2016.

AKTIVITAS SIPIL JEPANG UNTUK MEMPERKUAT KESELAMATAN DAN KEAMANAN MARITIM ASIA TENGGARA

Jalur laut di antara perairan dalam negeri Jepang dan ruang laut berbahaya di sekitar Timur Tengah membentang lebih dari 5.000 mil laut (9.260 kilometer). Pada umumnya, jalur laut ini melewati negara-negara pesisir yang mampu menyediakan tata kelola yang diperlukan untuk memastikan keselamatan bagi aliran perdagangan yang bebas. Akan tetapi, negara-negara pesisir sangat bervariasi dalam hal kemampuan maritim, jalur laut masih belum bebas bahaya dengan sepenuhnya, dan para pemimpin bisnis dan pemerintah Jepang khawatir bahwa peristiwa yang mengganggu dapat dengan cepat menciptakan krisis. Bahaya yang menjadi perhatian Jepang termasuk tantangan navigasi yang terkait dengan titik keluar masuk rawan (chokepoint) yang banyak dilalui, tantangan lingkungan, seperti cuaca ekstrem dan tumpahan minyak, pembajakan, terorisme, dan risiko perang. Selama lima dekade terakhir, Jepang semakin terlibat dalam mengatasi tantangan ini dengan mendukung proyek pengembangan kemampuan negara pesisir sebagai elemen inti dari strategi keamanan maritimnya.

Semakin maraknya tingkat pembajakan regional setelah krisis moneter Asia pada tahun 1997 mengatalisasi perluasan upaya pengembangan kemampuan Jepang dengan menyertakan penegakan hukum maritim. Perdana Menteri Keizo Obuchi memulai ekspansi ini pada KTT Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Plus Tiga (ASEAN+3) pada Desember 1999, ketika dia berupaya menjalin tindakan kerja sama internasional dalam melawan pembajakan dengan mengusulkan pembentukan badan pasukan penjaga pantai regional, penguatan dukungan negara untuk perusahaan pengapalan, dan peningkatan koordinasi regional. 

Masyarakat melambaikan tangan saat kapal perusak Pasukan Bela Diri Maritim Jepang JS Takanami meninggalkan Pangkalan Angkatan Laut Yokosuka di Jepang. AFP/GETTY IMAGES

Tak lama kemudian, Jepang menawarkan peralatan dan pelatihan serta mendesak dilakukannya patroli gabungan. Setelah serangkaian delegasi pencari fakta Jepang mengunjungi kawasan tersebut dan Tokyo menjadi tuan rumah beberapa konferensi besar, ambisi Jepang berkurang, tetapi perluasan keterlibatan dalam penegakan hukum maritim Asia Tenggara tetap muncul dengan cepat. Pada tahun 2000, JCG mulai membentuk posisi permanen di luar negeri bagi para petugas untuk mendukung pasukan penjaga pantai regional (dimulai dengan Pasukan Penjaga Pantai Filipina yang baru saja dibentuk), dan pada tahun 2001, JCG mulai berlatih dengan pasukan penjaga pantai regional (dimulai dengan Filipina dan Thailand). Pada tahun 2006, upaya diplomatik Jepang mencapai puncaknya dalam pembuatan Perjanjian Kerja Sama Regional tentang Memerangi Pembajakan dan Perampokan Bersenjata terhadap Kapal-Kapal di Asia (Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia – ReCAAP).

Aspek penting dari dukungan Jepang bagi keamanan maritim Asia Tenggara adalah transfer perahu patroli ke lembaga penegak hukum maritim regional. Ini termasuk kapal penangkap ikan yang dikonversi, perahu patroli Jepang yang sudah dipensiunkan, dan kapal baru. Kapal-kapal itu telah disediakan oleh yayasan swasta Jepang, melalui pinjaman yang difasilitasi pemerintah, dan sebagai bantuan langsung. Contoh awalnya adalah transfer kapal ke Indonesia dan Filipina pada pertengahan tahun 2000-an. Karena kapal-kapal ini berlapis baja, transfer itu diatur oleh Tiga Prinsip Ekspor Persenjataan Jepang dan mitra penerima hanya dapat menggunakannya untuk operasi penegakan hukum, termasuk operasi antipembajakan dan kontraterorisme. Relaksasi Tiga Prinsip itu pada tahun 2011 dan 2014 telah menyederhanakan proses kebijakan tersebut, dan dalam beberapa tahun terakhir, Jepang telah memperluas programnya untuk menyediakan kapal patroli. Hingga saat ini, pasukan penjaga pantai dan lembaga penegak hukum maritim di Kamboja, Indonesia, Malaysia, Palau, Filipina, Sri Lanka, dan Vietnam telah menerima kapal patroli dari Jepang.

OPERASI PASUKAN BELA DIRI JEPANG DI ASIA TENGGARA

Pengerahan kapal JMSDF paling awal ditujukan secara khusus untuk memberikan dampak pada situasi keamanan maritim Asia Tenggara yang selaras dengan upaya dan kerangka kerja multilateral. Pada Desember 2004, kapal dan pesawat terbang Pasukan Bela Diri Jepang (Japan Self-Defense Forces – JSDF) termasuk di antara pasukan internasional yang merespons tsunami Samudra Hindia. Pada tahun 2005, JMSDF berpartisipasi dalam latihan di laut Western Pacific Naval Symposium (WPNS) perdana yang diselenggarakan oleh Angkatan Laut Singapura, dan perwira Pasukan Bela Diri Darat Jepang berpartisipasi dalam lokakarya bantuan tsunami dan bagian staf tingkat tinggi latihan militer Cobra Gold Thailand-A.S. Sejak itu, latihan maritim yang disponsori oleh organisasi multilateral seperti WPNS, Forum Regional ASEAN, dan Pertemuan Menteri Pertahanan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Plus (ASEAN Defense Ministers’ Meeting Plus – ADMM+) menjadi lebih sering dilakukan, dan JMSDF secara konsisten berpartisipasi, sering kali mengirimkan kontingen terbesar. Meskipun signifikan dari perspektif diplomasi pertahanan, latihan maritim multinasional ini sering kali cukup sederhana dan lebih ditujukan untuk membangun kepercayaan daripada memperkuat kemampuan operasional. Banyak dari latihan ini berfokus pada tanggap bencana daripada masalah keamanan yang lebih tradisional.

Panduan Program Pertahanan Nasional Jepang tahun 2010 menjadi kebijakan besar pertama yang menyatakan bahwa JSDF akan mulai melakukan misi pengembangan kemampuan bersama dengan militer asing. Operasi pertama berdasarkan kebijakan ini adalah pengerahan kapal JMSDF pada tahun 2010 untuk melakukan aktivitas pengembangan kemampuan di Kamboja dan Vietnam sebagai bagian dari kampanye Pacific Partnership A.S. Sejak itu, kapal-kapal JMSDF telah berpartisipasi dalam Pacific Partnership setiap tahunnya, hanya tidak berpartisipasi pada tahun 2011 ketika mereka mendukung operasi tanggap bencana domestik setelah terjadinya gempa bumi dan tsunami. Pada tahun 2012, Jepang melaksanakan aktivitas pengembangan kemampuan bilateral pertamanya di Asia Tenggara, sebuah seminar kedokteran bawah laut yang diadakan bersama dengan Angkatan Laut Vietnam. Acara bilateral kedua adalah seminar bertema oseanografi pada Februari 2013 di Pusat Operasi Maritim TNI AL di Jakarta. Sejak itu, Jepang telah melakukan aktivitas pengembangan kemampuan bilateral serupa dengan delapan negara mitra lainnya. Dari 10 mitra ini, semuanya kecuali Mongolia merupakan negara pesisir di Laut Cina Selatan atau Teluk Benggala. 

Pada Desember 2013, Strategi Keamanan Nasional pertama Jepang menjelaskan maksud strategis di balik aktivitas ini: “Jepang akan memberikan bantuan kepada negara-negara pesisir di sepanjang jalur komunikasi laut dan negara-negara lain dalam meningkatkan kemampuan penegakan hukum maritim mereka serta memperkuat kerja sama dengan berbagai mitra di jalur laut itu yang memiliki kepentingan strategis yang sama dengan Jepang.” 

Dalam dekade terakhir, JMSDF juga telah memperluas operasinya di Laut Cina Selatan. Tidak seperti latihan multilateral dan aktivitas pengembangan kemampuan yang disebutkan sebelumnya, aktivitas ini tampaknya lebih terfokus pada pengembangan opsi untuk melakukan operasi angkatan laut ekstensif di sekitar perairan itu. Karena Jepang tidak memublikasikan lokasi kapal dan kapal selamnya, tidak jelas kapan pengerahan ini dimulai. 

Beberapa analis, termasuk purnawirawan laksamana Jepang, berpendapat bahwa JMSDF juga siap untuk melawan potensi pangkalan kapal selam rudal balistik RRT di Laut Cina Selatan. Kekhawatiran seperti itu akan membantu menjelaskan penekanan JMSDF pada kemitraannya dengan Filipina dan Vietnam, negara-negara yang membentang di bagian utara Laut Cina Selatan dan mengapit pangkalan kapal selam RRT yang penting di pulau Hainan.

Hubungan JMSDF dengan Angkatan Laut Filipina merupakan hubungan yang paling berkembang dari kemitraannya di Asia Tenggara. Petugas JMSDF mulai mengamati latihan tahunan Balikatan Filipina-A.S. pada tahun 2012 dan kemudian meningkatkan keterlibatannya. Pada tahun 2016, kapal selam pelatihan Jepang, Oyashio, mengunjungi Teluk Subic di Filipina bersama dengan dua kapal perusak JMSDF, dan anak buah kapal mengambil bagian dalam aktivitas pembangunan kepercayaan dengan rekan-rekan Filipina mereka. Ini merupakan kunjungan pelabuhan kapal selam JMSDF pertama ke Filipina dalam 15 tahun. Sejak itu, kapal selam JMSDF telah sering kali berkunjung ke Teluk Subic.

Filipina juga merupakan negara pertama dan, sejauh ini, satu-satunya yang memperoleh alutsista Jepang. Reformasi kebijakan pada tahun 2014 memungkinkan Tokyo untuk menyetujui ekspor pertahanan ke militer mitra, dan pada tahun 2017, dua pesawat latih TC-90 bekas JMSDF dikirim ke Angkatan Bersenjata Filipina, ketika pesawat terbang itu ditetapkan sebagai pesawat patroli maritim C-90. Tiga TC-90 tambahan ditransfer pada tahun 2018. 

Jepang juga memprioritaskan pengembangan hubungan pertahanannya dengan Vietnam. Aktivitas pengembangan kemampuan JMSDF pertama di kawasan ini adalah saat pengiriman kapal dek angkut amfibi JS Kunisaki pada tahun 2010 ke Qui Nhon, Vietnam, di bawah payung Pacific Partnership. Meskipun difokuskan pada aktivitas perawatan medis dan pertukaran budaya, kunjungan tersebut menyertakan penggunaan kendaraan amfibi yang mendarat di pantai Vietnam. Tahun berikutnya, Vietnam menjadi tuan rumah aktivitas pengembangan kemampuan JSDF pertama di Asia Tenggara yang tidak difasilitasi sebagai bagian dari acara A.S. atau multilateral. Sejak itu, hubungan tersebut berkembang, meskipun belum mencapai tingkat yang mencakup latihan atau operasi pertahanan bilateral. 

Pengerahan tahunan kapal induk pengangkut helikopter besar, seperti JS Izumo untuk pengerahan selama beberapa bulan ke Asia Tenggara dan Samudra Hindia, merangkum beragam sifat aktivitas JMSDF di kawasan ini. Pada tahun 2016, selama pengerahan pertama ini, JS Ise merupakan kapal terbesar di latihan multinasional Komodo yang diselenggarakan oleh Indonesia. Kapal itu kemudian transit ke Laut Cina Selatan dan mengikuti pelatihan bersama dengan kader taruna dari angkatan laut WPNS sembari melakukan latihan komunikasi dan kerja sama pada saat perang atau bantuan kemanusiaan (passing exercise – PASSEX) trilateral dengan kapal Angkatan Laut Australia dan Angkatan Laut A.S. Setelah kunjungan muhibah ke Manila, JS Ise merupakan kapal terbesar yang terlibat dalam Latihan Lapangan Keamanan Maritim/Kontra-Terorisme ADMM+ pada Mei 2016 yang dimulai di Brunei dan berakhir di Singapura. Tahun berikutnya, JS Izumo, kapal terbesar JMSDF, melakukan pengerahan serupa ke Asia Tenggara yang meliputi: program pelatihan keamanan maritim bagi para perwira dari angkatan laut ASEAN ketika kapal itu berada di Laut Cina Selatan; menjamu Presiden Filipina Rodrigo Duterte selama kunjungan pelabuhan ke Manila; melakukan kunjungan pelabuhan di Sri Lanka; dan menyelesaikan latihan selama dua hari dengan kapal dari Australia, Kanada, dan A.S. yang mencakup pertukaran lintas dek dan acara penembakan dengan amunisi aktif. Pengerahan serupa pada tahun 2018 (JS Kaga) dan 2019 (JS Izumo) memadukan operasi sepihak di Laut Cina Selatan, latihan dengan angkatan laut A.S. dan angkatan laut negara lainnya, dukungan untuk program keamanan maritim multilateral, dan pembangunan hubungan bilateral dengan mitra regional.

LINTASAN MASA DEPAN UNTUK KETERLIBATAN JEPANG DALAM KEAMANAN MARITIM ASIA TENGGARA

Sifat campuran dari pengerahan kapal perang utama JMSDF ke perairan Asia Tenggara mencerminkan sasaran maritimnya multisisinya di kawasan ini. Jepang memperluas prakarsa pengembangan kemampuan selama beberapa dekade di kawasan ini dengan menyertakan dimensi militer. Aktivitas ini bertujuan untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara pesisir yang semakin mumpuni di sepanjang jalur laut Indo-Pasifik Jepang. Aktivitas angkatan laut ini, dalam beberapa hal, merupakan perkembangan sederhana dari kebijakan yang sudah lama diambil oleh Jepang untuk mendukung pengembangan kemampuan maritim. Akan tetapi, ekspansi ini mencerminkan melonggarnya pembatasan kebijakan domestik Jepang dan peningkatan kenyamanan mitra Asia Tenggara dalam menjadi tuan rumah bagi pasukan Jepang. Peningkatan kemampuan dan keagresifan perilaku maritim RRT telah mempercepat lintasan ini, mengingat ketergantungan Jepang yang besar pada Laut Cina Selatan dan kekhawatirannya bahwa kampanye RRT untuk menegaskan kedaulatan di sana sangat terkait dengan kampanyenya dalam melawan Jepang di Laut Cina Timur.

Sasaran strategis menyeluruh Jepang untuk mempromosikan keselamatan dan keamanan berkelanjutan terhadap jalur laut Asia Tenggara yang kritis pada dasarnya tetap tidak berubah selama lebih dari 50 tahun. Akan tetapi, Jepang memperluas secara bertahap rangkaian tantangan keamanan regional yang ditanganinya secara langsung dan berbagai lembaga yang dimobilisasikannya untuk membantu upaya ini. Selama sekitar satu dekade terakhir, berbagai lembaga ini mencakup Kementerian Pertahanan Jepang dan JMSDF. JMSDF sekarang dikerahkan secara reguler ke Laut Cina Selatan dan memiliki catatan melakukan latihan perang ekstensif dengan A.S. dan angkatan laut negara lainnya di luar kawasan ini di perairan yang disengketakan itu. JMSDF memberikan kontribusi besar terhadap latihan multilateral di kawasan ini dan telah melakukan aktivitas pengembangan kemampuan bilateral dengan angkatan laut regional. Aktivitas itu diharapkan dapat terus berkembang dengan faktor pembatas utama adalah ketersediaan kapal dan sumber daya armada lainnya.

Hingga saat ini, keterlibatan bilateral di Asia Tenggara hampir seluruhnya terbatas pada aktivitas muhibah dan proyek-proyek sederhana yang berfokus pada pengembangan kemampuan pemolisian mitra regional. Akan tetapi, Jepang diharapkan dapat lebih terlibat dalam membantu meningkatkan kemampuan pertahanan militer negara-negara di kawasan itu. Kesepakatan untuk mengirimkan radar pertahanan udara baru ke Filipina menjadi preseden dalam hal ini. Agresi maritim berkelanjutan yang dilakukan oleh RRT akan menjadi pendorong penting, tetapi Jepang akan tetap mengkhawatirkan ancaman maritim lainnya dan semakin berupaya untuk mendiversifikasi hubungan pertahanannya sehingga tidak hanya mengandalkan pada A.S.

Dengan bergabungnya Kementerian Pertahanan Jepang dan JMSDF dengan berbagai lembaga Jepang lainnya sebagai peserta langsung dalam keamanan maritim Asia Tenggara, kawasan ini jelas menjadi fokus baru dalam strategi maritim Jepang. Penting bagi negara-negara Asia Tenggara untuk menyadari bahwa ketika pengekangan diri Jepang mengendur, mereka akan menghadapi keputusan yang lebih besar mengenai sifat dan ruang lingkup hubungan pertahanan yang mereka inginkan dengan Jepang.

Center for International Maritime Security pada awalnya menerbitkan artikel ini pada September 2020. Artikel ini telah diedit agar sesuai dengan format FORUM.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button