Tajuk Utama

Memasok Tenaga Listrik

Energi terbarukan menawarkan kesempatan bagi kawasan ini untuk menjadi pemimpin ketahanan energi

Staf FORUM

Ketika pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang pesat terus berlanjut di Indo-Pasifik, permintaan energi melonjak lebih cepat daripada di mana pun di planet ini. Dengan permintaan yang diperkirakan akan tumbuh lebih dari 60% paling lambat pada tahun 2040, ketahanan energi akan menjadi tantangan utama dalam beberapa dekade mendatang, demikian menurut proyeksi Badan Energi Internasional (International Energy Agency – IEA).

Untuk memenuhi permintaan energi yang terus meningkat di kawasan ini, negara-negara Indo-Pasifik sedang mengubah sistem energi mereka. Mereka berusaha untuk mencapai ketahanan energi dan melindungi perekonomian dari fluktuasi harga dan ketidakstabilan pasar serta mengurangi ketergantungan pada energi impor, demikian yang dilaporkan Komisi Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Asia dan Pasifik (UNESCAP). Selain itu, negara-negara Indo-Pasifik sedang berjuang untuk menyediakan akses energi kepada lebih dari 420 juta orang yang mengalami kekurangan energi dan 2,1 miliar orang lainnya yang bergantung pada biomassa tradisional untuk memasak dan memanaskan, demikian ungkap laporan pada tahun 2017 itu.

Peralihan ke sumber daya energi rendah karbon dan diversifikasi bauran energi akan meningkatkan ketahanan energi, mengurangi dampak lingkungan, terutama polusi udara, dan memastikan akses ke energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan, dan modern bagi semua orang, demikian ungkap laporan UNESCAP. “Mengatasi berbagai tantangan terkait energi ini memerlukan transisi dalam cara energi dihasilkan, ditransmisikan, dan dikonsumsi,” ungkap laporan itu. “Meskipun sektor energi di banyak negara diubah secara perlahan-lahan, laju perubahan itu perlu dipercepat.”

Panel surya menghadap ke langit di Funafuti, Tuvalu. Negara ini berupaya membangkitkan 100% tenaga listriknya dari energi terbarukan paling lambat pada tahun 2025. GETTY IMAGES

Mengingat waktu kemunculan kuat kawasan ini di panggung dunia, Indo-Pasifik siap menjadi model global untuk beralih ke sumber daya terbarukan, solusi yang diperjuangkan secara luas untuk mengakhiri ketergantungan pada bahan bakar fosil dan memastikan sumber daya energi yang memadai untuk semua penduduk. “Pertumbuhan berkelanjutan dalam permintaan energi di sektor tenaga listrik, pemanas dan pendingin, dan transportasi membuka peluang energi terbarukan multiaspek di kawasan ini,” demikian menurut “Laporan Status Energi Terbarukan Asia dan Pasifik” 2019, yang diterbitkan oleh REN21, sebuah jaringan kebijakan internasional yang didedikasikan untuk membangun masa depan energi berkelanjutan dengan energi terbarukan, dan didanai oleh Bank Pembangunan Asia (ADB).

Transisi ke energi terbarukan membawa berbagai keuntungan yang di antaranya adalah dapat mendiversifikasi pasokan energi, meningkatkan akses energi, mengurangi polusi udara, dan mengentaskan kemiskinan, demikian pendapat para pendukungnya. “Sumber daya energi terbarukan dapat memainkan peran penting dalam mencapai akses universal ke energi modern,” ungkap laporan itu. Misalnya, “teknologi tenaga surya, angin, dan air skala kecil, serta pembangkit listrik pembakaran internal yang menggunakan biomassa atau biogas, dapat menyediakan sumber listrik yang dapat diandalkan di berbagai lokasi terpencil.” Para ahli memperkirakan bahwa lebih dari 750 juta orang di Indo-Pasifik yang lebih luas masih mengalami kekurangan akses listrik.

“Peningkatan investasi saat ini dalam energi terbarukan, efisiensi energi, dan jaringan cerdas (smart grid) dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan berkualitas tinggi dan jangka panjang, serta mengurangi polusi udara dan emisi gas rumah kaca,” ungkap Presiden ADB Masatsugu Asakawa selama KTT Transisi Energi Bersih IEA pada Juli 2020. “Perekonomian akan menjadi lebih tahan terhadap guncangan di masa depan — karena energi terbarukan dengan penyimpanan energi tidak bergantung pada pasokan bahan bakar, dan sistem jaringan cerdas dapat diaktifkan kembali dengan cepat setelah terjadinya suatu peristiwa. Energi terbarukan juga dapat membantu memperkuat fasilitas kesehatan, terutama di daerah pedesaan — misalnya, rantai pasokan kegiatan produksi, penyimpanan, dan distribusi berpendingin berbasis tenaga surya akan sangat penting untuk menyediakan vaksin,” ungkap Asakawa.

Tren dan Target

Indo-Pasifik telah melampaui Eropa dan Amerika Serikat dalam beralih ke energi terbarukan, menyumbang lebih dari 54% pertumbuhan baru dalam energi terbarukan di seluruh dunia pada tahun 2019, demikian menurut laporan Badan Energi Terbarukan Internasional (International Renewable Energy Agency – IRENA) pada Maret 2020. Para ahli menjelaskan bahwa kawasan ini telah mengembangkan kapasitas energi terbarukan yang cukup besar dalam berbagai teknologi, termasuk fotovoltaik surya (PV), tenaga angin, tenaga air, bioenergi, dan panas bumi. Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam, misalnya, memiliki kapasitas surya baru tertinggi pada tahun 2019, sementara itu Tiongkok dan A.S. memimpin di bidang tenaga angin baru, demikian ungkap laporan IRENA. Pada tahun yang sama, kawasan yang meliputi Australia, Selandia Baru, dan negara-negara kepulauan Pasifik mengalami tingkat pertumbuhan tercepat dalam energi terbarukan sebesar 18,4%, meskipun pangsa subkawasan itu relatif kecil dibandingkan dengan kapasitas global, demikian ungkap laporan itu. 

Indo-Pasifik menyumbang lebih dari 52% investasi baru dalam sektor energi terbarukan di seluruh dunia pada tahun 2018, demikian menurut laporan REN21. Tiongkok memimpin kawasan ini dalam investasi energi terbarukan pada tahun 2019, menyumbang hampir sepertiga dari total global, dan Australia, India, dan Jepang juga berada dalam 10 besar pada tahun itu, demikian menurut data Bloomberg New Energy Finance. Banyak negara yang terdepan dalam investasi energi terbarukan juga memiliki beberapa proyek terbesar dan paling inovatif di kawasan ini.

Australia, misalnya, pada Mei 2020 mengumumkan dana sebesar 2,76 triliun rupiah (191 juta dolar A.S.) untuk memulai proyek hidrogen guna memenuhi sasaran negara itu untuk membangun industri hidrogen skala besar paling lambat pada tahun 2030, demikian yang dilaporkan Reuters. “Dan yang lebih penting lagi, jika kita bisa memproduksi hidrogen dengan biaya di bawah 2 dolar Australia [1,47 dolar A.S.] per kilogram, ini akan dapat memainkan peran dalam bauran energi domestik kita untuk menurunkan harga energi dan terus menyalakan penerangan,” ungkap Angus Taylor, menteri energi dan pengurangan emisi Australia. Reuters melaporkan bahwa per tahun 2018, biaya rata-rata untuk memproduksi hidrogen mencapai 6 dolar Australia (4,42 dolar A.S.) per kilogram. Infinite Blue Energy sedang mengembangkan pabrik besar senilai 3,18 triliun rupiah (220 juta dolar A.S.), 320 kilometer di utara kantor pusat perusahaan di Perth, Australia, untuk memproduksi 25 ton hidrogen hijau sehari, yang ditenagai oleh energi angin dan surya, dengan produksi pertama ditargetkan pada akhir tahun 2022. 

India mengumumkan rencananya pada akhir tahun 2019 untuk membangun proyek tenaga surya senilai 86,7 triliun rupiah (6 miliar dolar A.S.) di distrik Leh dan Kargil di Jammu dan Kashmir. Wilayah Himalaya itu memiliki potensi tenaga surya yang sangat besar. Kementerian Energi Baru dan Terbarukan merencanakan “proyek pembangkit listrik tenaga surya dengan kapasitas kumulatif sekitar 14 MW [megawatt] dengan kapasitas penyimpanan baterai 42 MWh [megawatt-jam] di Leh dan Kargil,” ungkap Raj Kumar Singh, menteri negara India di bidang tenaga listrik, energi baru dan terbarukan, saat mengumumkan proyek itu. Sementara itu, Adani Group India, yang berkantor pusat di Ahmedabad, bertujuan untuk menjadi perusahaan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di dunia paling lambat pada tahun 2025 dan perusahaan energi terbarukan terbesar di dunia paling lambat pada tahun 2030, demikian menurut laporan industri pada Juli 2020. India telah membuat kemajuan pesat dalam menciptakan kota pertama yang 100% ditenagai oleh energi terbarukan. Diu, di ujung timur pulau Diu di negara bagian Gujarat, menjadi kota pertama di India yang menggunakan 100% energi terbarukan selama siang hari pada tahun 2016, sebagai peserta prakarsa Kota Cerdas Perdana Menteri Narendra Modi. Kota seluas 42 kilometer persegi dan berpenduduk lebih dari 52.000 jiwa itu menciptakan taman surya 9 MW, memasang panel surya di atap gedung pemerintah, dan membantu penduduk memasang unit PV surya di atap, demikian ungkap laporan REN21.

Turbin berputar di ladang angin di dekat Canberra, Australia. REUTERS

Pemerintah Jepang juga telah menjadikan investasi dalam energi surya sebagai prioritas. Jepang memperkenalkan undang-undang pada tahun 2017 untuk membantu transisi ke tenaga listrik terbarukan bagi 24% bauran energinya paling lambat pada tahun 2030, lebih dari dua kali lipat produksinya saat ini. Jepang mengoperasikan hampir tiga perempat dari 100 pembangkit listrik tenaga surya terapung terbesar di dunia, demikian menurut situs web Power Technology. Fasilitas terbesar Jepang di Bendungan Yamakura mencakup daerah seluas 18 hektare dan memberi daya listrik pada sekitar 5.000 rumah setahun.

Banyak negara Indo-Pasifik lainnya telah menetapkan target ambisius untuk energi terbarukan dan beberapa negara telah membuat kemajuan pesat dalam mencapai sasaran tersebut. Misalnya, pada tahun 2019, Selandia Baru menetapkan target 100% pembangkit listrik terbarukan paling lambat pada tahun 2035. Negara itu, yang juga bercita-cita untuk membangun pembangkit listrik tenaga air pompa-tandon senilai miliaran dolar, sudah hampir setengah jalan dalam mencapai sasarannya dengan tenaga air dan sumber daya panas bumi yang ada. “Kami dapat memiliki sasaran yang ambisius sekaligus bersikap pragmatis,” ungkap Dr. Megan Woods, menteri energi dan sumber daya Selandia Baru, saat mengumumkan target tersebut. “Kami akan melakukan penilaian lima tahunan untuk memastikan trilema energi yaitu keterjangkauan, keberlanjutan, dan ketahanan dikelola dengan baik.”

Kisah Sukses

Banyak keberhasilan terbesar di kawasan ini dalam beralih ke energi terbarukan dapat ditemukan di Asia Tenggara dan Asia Selatan, yang memiliki penetrasi energi terbarukan tertinggi masing-masing sebesar 45,7% dan 42%, demikian menurut laporan REN21. Berbagai negara dengan pangsa energi terbarukan tertinggi di kawasan ini dalam total konsumsi energi final (total final energy consumption – TFEC) termasuk Myanmar, 68%; Sri Lanka, 51,3%; Filipina, 47,5%; dan Indonesia, 47%. Laporan itu menemukan bahwa persentase itu dicapai melalui pemanfaatan tenaga air dan bioenergi.

Indonesia sedang mempertimbangkan untuk membangun ibu kota “cerdas dan bersih” yang mengandalkan energi terbarukan untuk kelistrikannya. Pada Agustus 2019, pemerintah Indonesia mengungkapkan rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur di pulau Kalimantan guna mengatasi urbanisasi yang cepat dan kelebihan penduduk di Jakarta, tetapi sejak itu menunda pelaksanaan rencana senilai 477,1 triliun rupiah (33 miliar dolar A.S.) karena perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Membangun infrastruktur energi terbarukan untuk kota baru itu akan menawarkan peluang investasi energi terbarukan. Sementara itu, Departemen Energi Filipina berencana untuk mengadopsi teknologi jaringan cerdas di banyak pulau di negara itu. Jaringan listrik itu menggunakan teknologi digital untuk memantau dan mengelola pergerakan listrik dari pembangkitan ke berbagai beban permintaan di daerah layanan dan meningkatkan keandalan jaringan. Perusahaan distribusi tenaga listrik terbesar di negara itu, Meralco, dengan lebih dari 5 juta pelanggan, juga berencana untuk mengintegrasikan platform jaringan cerdas canggih bagi konsumen untuk mengelola konsumsi listrik mereka dengan lebih baik, dengan pengukuran cerdas prabayar sebagai salah satu layanan pertamanya, demikian menurut laporan REN21.

Seorang pekerja memeriksa panel di pembangkit listrik tenaga surya di provinsi Phetchaburi, Thailand. REUTERS

Negara-negara seperti Bangladesh dan Vietnam juga muncul sebagai pemimpin dalam mengembangkan dan menerapkan teknologi energi terbarukan di Indo-Pasifik. Bangladesh membuat program tenaga surya dalam negeri yang dikenal sebagai Infrastructure Development Co. Ltd. (IDCOL), yang memberikan daya listrik kepada lebih dari 12% penduduknya. Bangladesh, melalui kemitraan dengan Bank Dunia, mendirikan IDCOL pada tahun 1997 untuk mendanai proyek infrastruktur energi terbarukan. Dengan investasi senilai 10,1 triliun rupiah (700 juta dolar A.S.), program tersebut telah memasang 4,2 juta sistem rumah bertenaga surya yang memberikan manfaat bagi 18 juta jiwa hingga pertengahan tahun 2019. Selain itu, IDCOL telah memasang 1.000 pompa irigasi tenaga surya, 13 jaringan mini, 1 juta kompor masak, dan 46.000 fasilitas biogas untuk memberikan solusi memasak bersih bagi lebih dari 200.000 orang. Dalam lima tahun ke depan, IDCOL menargetkan untuk melipatgandakan jumlah sistem tenaga surya dan memasak, dengan sasaran mengganti setiap kompor masak tradisional di negara itu paling lambat pada tahun 2030.

Tantangan ke Depan

Masih ada banyak tantangan untuk mengadopsi energi terbarukan dan praktik hemat energi. “Meskipun kawasan Asia Pasifik adalah pemimpin dalam energi terbarukan di seluruh dunia, penggunaan energi terbarukan terus tertinggal dari sumber energi tradisional dalam memasok kebutuhan energi kawasan ini yang meningkat pesat,” ungkap laporan REN21. Kawasan ini memiliki enam penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Tiongkok, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, dan A.S. Selain itu, sebagian besar pertumbuhan penduduk di kawasan ini terjadi di kota-kota, dan sudah menampung 93 dari 100 kota paling tercemar di dunia, dengan 56 kota di Tiongkok dan 17 kota di India.

“Masih ada kesenjangan besar di antara ambisi mitigasi perubahan iklim dan kecepatan tindakan untuk mengurangi emisi,” ungkap laporan itu.

Konsumsi bahan bakar fosil konvensional terus tumbuh lebih cepat daripada penggunaan tenaga listrik terbarukan di kawasan ini. Secara keseluruhan, energi terbarukan modern menyumbang kurang dari 10% dari total konsumsi energi di kawasan ini, demikian perkiraan para ahli.

Sebagian besar negara Indo-Pasifik belum mencapai swasembada energi. Indonesia, yang merupakan pengekspor batu bara terbesar di dunia, dan Mongolia, yang merupakan pengekspor batu bara terbesar kesembilan di dunia, merupakan pengecualian yang patut diperhatikan, demikian menurut laporan REN21. Banyak negara Indo-Pasifik, termasuk Jepang dan Korea Selatan, mengimpor lebih dari 50% energi mereka. 

Selain itu, beberapa negara terbesar dalam ukuran dan potensi energi terbarukan masih memiliki pangsa energi terbarukan yang relatif rendah di TFEC mereka, demikian ungkap laporan itu. Bersama-sama, India dan Tiongkok menyumbang 28% dari konsumsi energi primer dunia, namun pada tahun 2016, India memiliki kurang dari 40% pangsa energi terbarukan di TFEC-nya, sementara itu pangsa energi terbarukan Tiongkok di bawah 20%, demikian ungkap laporan itu. 

Hambatan lain untuk mengadaptasi energi terbarukan termasuk pembiayaan, transisi ke dukungan pemerintah yang lebih canggih untuk energi terbarukan, dinamika industri yang berubah dalam menanggapi permintaan yang tumbuh pesat, kendala perubahan iklim, dan urbanisasi yang meningkat, demikian ungkap laporan itu. 

Memenuhi permintaan energi Indo-Pasifik akan membutuhkan investasi senilai triliunan dolar paling lambat pada tahun 2040, demikian menurut proyeksi IEA. “Bagaimana berbagai negara memenuhi permintaan yang meningkat akan berdampak signifikan terhadap ketahanan energi dan stabilitas ekonomi di seluruh kawasan,” ungkap Francis R. Fannon, asisten menteri di biro sumber daya energi A.S., dalam lokakarya pada Juni 2020 untuk prakarsa Meningkatkan Pembangunan dan Pertumbuhan melalui Energi Asia (Asia Enhancing Development and Economic Growth through Energy – Asia EDGE). “Itu memiliki konsekuensi global.”

Diluncurkan pada tahun 2018 dengan investasi awal sebesar 2,03 triliun rupiah (140 juta dolar A.S.), Asia EDGE mendukung ketahanan, diversifikasi, akses, dan perdagangan energi di seluruh Indo-Pasifik. Di bawah program itu, India bermitra dengan Komisi Pengaturan Energi Federal A.S. pada Oktober 2019 untuk membentuk Prakarsa Sumber Daya Fleksibel guna memperkuat kemampuan India untuk meningkatkan modal swasta, membiayai kebutuhan keamanannya, dan meningkatkan peluang bagi perusahaan A.S. dalam sistem tenaga listrik, demikian ungkap Fannon.

Upaya Kerja Sama Utama

Kerja sama regional sangat penting untuk meningkatkan praktik energi bersih dan ketahanan energi, demikian ungkap laporan REN21. Perdagangan tenaga listrik lintas perbatasan, misalnya, terbukti sangat bermanfaat di wilayah Mekong di Asia Tenggara. Melalui investasi Asia EDGE, Jepang dan Departemen Luar Negeri A.S. dan Badan Pembangunan Internasional A.S. (USAID) membentuk Kemitraan Tenaga Listrik Jepang-A.S.-Mekong untuk menargetkan jaringan listrik regional guna mendukung perusahaan A.S. dalam membangun jalur transmisi lintas perbatasan.

“Meningkatkan kerja sama regional dapat membantu meningkatkan akses energi di antara negara-negara berkembang yang mengalami defisit energi di Asia dan dapat menguntungkan kawasan ini dalam hal pelestarian aset alam, produksi pertanian, dan ketahanan pangan,” tulis laporan tentang Asia Selatan yang diterbitkan oleh para peneliti di ADB Institute pada April 2020. Selain itu, “meningkatkan kerja sama regional dan integrasi dalam berbagai lapisan pembagian, produksi, dan perdagangan sumber daya dapat menyatukan berbagai negara ke dalam jaringan saling ketergantungan untuk memastikan penggunaan maksimum sumber daya energi terbarukan dan tidak terbarukan.”  


Pemimpin Kerja Sama Energi di Indo-Pasifik

Organisasi dan prakarsa terkemuka yang mempromosikan energi terbarukan dan efisiensi energi di Indo-Pasifik mencakup Komisi Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Asia dan Pasifik, Kelompok Kerja Energi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik, Pusat Energi Perhimpunan Kerja Sama Regional Asia Selatan, Program Kerja Sama Ekonomi Regional Asia Tengah, Pusat Energi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, dan Pusat Pasifik untuk Energi Terbarukan dan Efisiensi Energi, sebagaimana diidentifikasi dalam laporan REN21.

Asia Selatan

Pusat Energi Perhimpunan Kerja Sama Regional Asia Selatan (SAARC)

Perhimpunan Kerja Sama Regional Asia Selatan (South Asian Association for Regional Cooperation – SAARC) didirikan pada tahun 2006 dengan program kerja sama energi yang bertujuan untuk mengubah tantangan energi menjadi peluang pembangunan. Platform ini melibatkan para pejabat, ahli, akademisi, aktivis lingkungan, dan lembaga swadaya masyarakat untuk memanfaatkan potensi di berbagai bidang termasuk pengembangan tenaga air, energi terbarukan lainnya, dan energi alternatif. Pusat Energi ini mempromosikan transfer teknologi, perdagangan energi, konservasi energi, dan peningkatan efisiensi, sehingga memungkinkan para pemangku kepentingan untuk memenuhi tantangan energi yang dihadapi oleh negara-negara anggota SAARC.

Badan Pembangunan Internasional A.S. (USAID)

Pada tahun 2000, USAID meluncurkan program Prakarsa Regional Asia Selatan untuk Integrasi Energi, meliputi Afganistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka. Tiga tahap pertama berfokus pada perdagangan energi lintas perbatasan, pembentukan pasar energi, dan pengembangan energi bersih, sedangkan tahap terbaru sebagian besar berfokus pada memajukan integrasi pasar regional.

Asia Tenggara

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)

Pusat Energi ASEAN didirikan pada tahun 1999 sebagai organisasi antarpemerintah untuk mempercepat integrasi strategi energi di negara-negara anggota ASEAN. Pusat ini memberikan informasi dan keahlian untuk memastikan bahwa kebijakan dan program energi selaras dengan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan kawasan ini. Rencana Aksi Kerja Sama Energi ASEAN 2016-2025 berisi prakarsa kerja sama dalam transisi menuju sistem energi yang bersih dan terjangkau. Misalnya, jaringan Kota Cerdas ASEAN bertujuan untuk menyinergikan upaya pembangunan kota cerdas dan berkelanjutan. Jaringan 26 kota percontohan itu berbagi praktik terbaik, memfasilitasi proyek dengan sektor swasta, dan mendapatkan pendanaan dari mitra eksternal seperti Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank – ADB).

Subkawasan Mekong Raya

Negara-negara yang termasuk dalam subkawasan ini — Myanmar, Kamboja, Laos, Republik Rakyat Tiongkok, Thailand, dan Vietnam — sebagian besar berkolaborasi berdasarkan perdagangan listrik dari potensi pembangkit listrik tenaga air yang tersedia di sepanjang Sungai Mekong. ADB dan sponsor lainnya, misalnya, berupaya untuk: meningkatkan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur berkelanjutan dan transformasi koridor transportasi menjadi koridor ekonomi transnasional; meningkatkan daya saing melalui fasilitasi pergerakan orang dan barang lintas perbatasan secara efisien dan integrasi pasar, proses produksi, dan rantai nilai; dan membangun rasa kebersamaan yang lebih besar melalui proyek dan program yang menangani masalah sosial dan lingkungan bersama.

Negara Kepulauan Pasifik

Sekretariat Komunitas Pasifik

Sekretariat ini adalah platform utama untuk kerja sama pembangunan regional lintas sektor di Pasifik dan merupakan anggota pendiri Dewan Organisasi Regional Pasifik. Program Sumber Daya Bumi dan Energi berupaya memanfaatkan penggunaan sumber daya energi Pasifik untuk memastikan keberlanjutan dan mengurangi dampak lingkungan. Program ini berkomitmen untuk mengurangi dampak karbon dari jaringan dan penggunaan energi yang ada, dan berfokus pada tata kelola, penilaian teknis, dan pengembangan kemampuan. Bersama dengan pemerintah Tonga, sekretariat ini menjadi tuan rumah Pusat Pasifik untuk Energi Terbarukan dan Efisiensi Energi.

Perhimpunan Tenaga Listrik Pasifik

Badan antarpemerintah ini mempromosikan kerja sama perusahaan tenaga listrik kepulauan Pasifik dalam pelatihan teknis, pertukaran informasi, pembagian keahlian teknik dan manajemen senior serta kegiatan lainnya.

Universitas Pasifik Selatan

Universitas yang dimiliki oleh 12 negara anggota ini bertanggung jawab untuk menyediakan pendidikan tinggi dan penelitian keberlanjutan untuk kawasan Pasifik serta memiliki kegiatan yang mendukung perluasan energi terbarukan.

Sumber: “Laporan Status Energi Terbarukan Asia dan Pasifik,” REN21, 2019 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button