Cerita populer

RRT masih mencuri kekayaan intelektual di seluruh dunia, bahkan dari sekutunya

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terus menggunakan berbagai taktik koersif untuk mencuri kekayaan intelektual dari seluruh dunia, bahkan dari negara-negara yang diklaim sebagai sekutunya, merampok ratusan miliar dolar dari perekonomian negara lain, demikian pendapat para ahli.

Otoritas Rusia menangkap seorang ilmuwan Rusia pada akhir September 2020, misalnya, atas tuduhan pengkhianatan karena mencoba mentransfer teknologi rahasia ke RRT, demikian menurut berbagai laporan media.

BBC melaporkan bahwa ilmuwan itu adalah Alexander Lukanin, fisikawan berusia 64 tahun, yang bekerja di beberapa lembaga pendidikan, termasuk Tomsk Polytechnic University, dalam penelitian radiasi elektromagnetik di bidang fisika nuklir.

Otoritas Rusia menangkap ilmuwan lain, mantan kolonel pasukan kapal selam Angkatan Laut Soviet-Rusia, pada awal tahun 2020 karena diduga menyampaikan penelitian terkait Arktik ke RRT saat menjadi dosen tamu di Dalian University di Liaoning, Tiongkok, demikian menurut lenta.ru, surat kabar online berbahasa Rusia.

RRT merupakan “pelanggar hak kekayaan intelektual utama di dunia,” demikian menurut Komisi A.S. untuk Pencurian Kekayaan Intelektual Amerika.

Selain menggunakan aset manusia untuk spionase tradisional dan bentuk pencurian lainnya seperti peretasan, RRT memperoleh teknologi asing melalui praktik legal, namun curang, yang memaksa transfer teknologi melalui perjanjian kemitraan, pembelian perusahaan, dan usaha patungan.

John Demers, kepala Divisi Keamanan Nasional di Departemen Kehakiman A.S., menjelaskan dalam sebuah acara pada Agustus 2020 di Center for Strategic and International Studies di Washington, D.C. bahwa Kementerian Keamanan Negara RRT menjalankan operasi yang berfokus pada orang dalam untuk mengembangkan hubungan dengan berbagai individu di perusahaan dan universitas yang memiliki akses ke kekayaan intelektual, demikian menurut jurnal National Law Review.

Program “Ribuan Bakat (Thousand Talents)” RRT, yang paling dikenal dengan lebih dari 200 rencana perekrutannya yang menargetkan profesor dan akademisi asing, juga memfasilitasi transfer kekayaan intelektual, demikian ungkap Demers. Otoritas A.S. menangkap beberapa ilmuwan A.S. yang berafiliasi dengan program yang disponsori RRT itu pada tahun 2020 karena lalai mengungkapkan hubungan mereka dengan pemerintah Tiongkok. Lebih dari 80% dari semua kasus spionase ekonomi A.S., termasuk pencurian rahasia dagang, melibatkan RRT atau agennya, demikian ungkap Demers.

Namun, strategi RRT lebih dari sekadar pencurian. RRT mencuri kekayaan intelektual negara lain, mereplikasi teknologinya, mematenkannya di Tiongkok, mengganti perusahaan itu di pasar domestik Tiongkok, dan kemudian menyingkirkan perusahaan itu di pasar global, demikian yang dijelaskan Demers.

Raksasa telekomunikasi Huawei “merupakan salah satu contoh terbaik dari masalah ini,” ungkap William Schneider Jr., mantan wakil menteri luar negeri A.S. untuk bantuan keamanan, sains, dan teknologi, dan mantan ketua Defense Science Board, dalam sebuah konferensi pada November 2019 di Tokyo, demikian yang dilaporkan National Defense.

Perusahaan Tiongkok itu telah mengakuisisi 56.000 paten Tiongkok terkait 5G dan kecerdasan buatan dengan investasi minimal dalam penelitian dan pengembangan, demikian ungkap Schneider. “Sangat penting bagi kita untuk menghadapi dan mengatasi masalah ini,” ujarnya.

Pasar persenjataan Rusia mungkin merupakan salah satu industri yang pada akhirnya menyerah pada strategi dominasi industri RRT.

Konglomerat pertahanan negara Rusia, Rostec, misalnya, pada Desember 2019 menuduh RRT meniru secara ilegal serangkaian persenjataan Rusia dan alutsista militer lainnya terutama melalui rekayasa balik, demikian yang dilaporkan majalah berita Nikkei Asia.

“Peniruan secara tidak sah terhadap alutsista kami di luar negeri merupakan masalah besar. Ada 500 kasus seperti itu selama 17 tahun terakhir,” ungkap Yevgeny Livadny, kepala proyek kekayaan intelektual Rostec. “Tiongkok sendiri telah meniru mesin pesawat terbang, pesawat tempur Sukhoi, pesawat jet penumpang, sistem pertahanan udara, rudal pertahanan udara portabel, dan analog dari sistem rudal permukaan-ke-udara jarak menengah Pantsir.”

Kemunculan RRT sebagai pengekspor persenjataan utama setelah puluhan tahun mencuri kekayaan intelektual dan merekayasa balik teknologi asing menjadi “krisis dan peluang” bagi Rusia, demikian ungkap Andrei Frolov, pemimpin redaksi jurnal Arms Exports kepada Nikkei Asia.

“Di satu sisi, Rusia merasa khawatir bahwa Tiongkok akan menyingkirkan Rusia secara bertahap dari pasar persenjataan tradisionalnya,” ungkapnya. “Namun di sisi lain, Tiongkok memiliki uang dan keinginan untuk bekerja sama, jadi ini mungkin menjadi peluang bagi Rusia untuk mencapai kemajuan dengan memanfaatkan bantuan uang dan teknologi Tiongkok.”

Mengingat kompleks industri militer RRT telah melampaui kemampuan Rusia di beberapa bidang utama, RRT mungkin tidak lagi menganggap Rusia sebagai mitra yang cocok.

“Saya tidak tahu sejauh mana model baru ini akan menarik minat Tiongkok, karena mereka lebih suka membuat semuanya sendiri dan hanya mengimpor teknologi dari luar negeri,” ungkap Vadim Kozyulin, direktur Proyek Keamanan Asia di lembaga swadaya masyarakat PIR Center, kepada Nikkei Asia.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button