Strategi Maritim Tiongkok
Bagaimana seharusnya A.S. beserta sekutu dan mitranya merespons?
Liza Tobin
Jika Beijing berharap untuk mencapai “peremajaan besar bangsa Tiongkok” paling lambat pertengahan abad ke-21, Tiongkok harus menjadi “kekuatan besar maritim,” demikian menurut Presiden Tiongkok Xi Jinping. Apa artinya sasaran ini bagi para pemimpin Tiongkok, dan apa saja implikasi dari babak reformasi institusi terbaru Beijing untuk mewujudkannya? Partai Komunis Tiongkok (Chinese Communist Party – CCP) memiliki strategi menyeluruh untuk meningkatkan kekuatan maritimnya. Strategi ini mencakup beberapa bidang fokus utama: mengembangkan “ekonomi biru,” melestarikan lingkungan laut, mengeksploitasi sumber daya maritim, dan melindungi “hak dan kepentingan” Tiongkok di laut dekat dan jauh.
Sasaran membangun Tiongkok menjadi kekuatan besar maritim bukan gagasan baru. Sasaran itu telah muncul dalam dokumen resmi partai sejak tahun 2012, meskipun peran dari beberapa departemen terkait maritim Tiongkok telah dicampuradukkan. Seperti yang dinyatakan pakar maritim yang berafiliasi dengan pemerintah Tiongkok pada tahun 2016, lembaga maritim Tiongkok “masing-masing bekerja dengan cara mereka sendiri,” sehingga menghambat koordinasi. Upaya terbaru Beijing untuk mengatasi masalah ini mengungkapkan usulan untuk memajukan transformasi Tiongkok menjadi kekuatan maritim yang komprehensif dengan peran yang lebih besar dalam urusan global.
Pada Maret 2018, Beijing mengumumkan tiga perubahan besar terhadap lembaga maritim sebagai bagian dari serangkaian reformasi menyeluruh terhadap lembaga partai dan pemerintah. Kantor berita resmi Tiongkok, Xinhua, menyatakan bahwa reformasi itu dimaksudkan untuk “membuat pemerintah lebih terstruktur, lebih efisien, dan lebih berorientasi untuk melayani.” Selanjutnya, menurut Xinhua, perubahan itu mencerminkan “peran lebih besar Tiongkok di panggung dunia.” Frasa ini diperkuat kembali oleh deklarasi Xi dalam laporannya ke Kongres CCP ke-19 pada Oktober 2017 bahwa Tiongkok “bergerak mendekat ke panggung utama.” Beijing secara terbuka telah menyatakan aspirasinya untuk memainkan peran lebih besar dalam membentuk tata kelola global, dan samudra memiliki fitur yang menonjol dalam upayanya. Jalur Sutra Maritim abad ke-21 Tiongkok, bagian dari Satu Sabuk, Satu Jalan (One Belt, One Road – OBOR) yang banyak digembar-gemborkan, merupakan kuncinya. Prakarsa itu bertujuan untuk membangun konvergensi antara Tiongkok dan negara-negara lain di bidang ekonomi, politik, dan keamanan sesuai dengan preferensi tata kelola global Tiongkok. Visi Kerja Sama Maritim Di Bawah OBOR yang diterbitkan Beijing pada tahun 2017 memperjelas hal ini.
Beijing telah mengonsolidasikan birokrasi maritimnya di masa lampau. Pada tahun 2013, Tiongkok menggabungkan beberapa lembaga penegak hukum maritim di bawah Administrasi Samudra Negara dan mendirikan pasukan penjaga pantai Tiongkok di bawah ruang lingkupnya. Dr. Ryan Martinson, asisten profesor di Institut Studi Maritim Tiongkok, U.S. Naval War College telah menunjukkan bahwa reformasi ini meningkatkan koordinasi dan merampingkan komando dan kontrol pasukan penegak hukum maritim, meskipun dia mencatat bahwa prosesnya masih belum tuntas.
Reformasi pada Maret 2018 itu diungkapkan dalam rencana berjudul “Memperdalam Reformasi Instansi Partai dan Pemerintah.” Rencana itu mencakup tiga perubahan dalam birokrasi maritim. Pertama, pekerjaan melindungi hak dan kepentingan maritim, fokus utama dalam strategi maritim Tiongkok, akan diintegrasikan secara lebih komprehensif dalam pendekatan kebijakan luar negeri Tiongkok secara keseluruhan. Kedua, pasukan penjaga pantai Tiongkok tidak akan lagi berada di bawah Administrasi Samudra Negara sipil tapi sekarang akan berada di bawah Kepolisian Bersenjata Rakyat. Kepolisian Bersenjata Rakyat baru-baru ini mulai ditempatkan secara eksklusif di bawah komisi militer pusat. Ketiga, Administrasi Samudra Negara direncanakan untuk dihapus, dengan sisa tanggung jawabnya dibagi antara Kementerian Sumber Daya Alam dan Kementerian Ekologi dan Lingkungan yang baru dibentuk. (Rencana itu mencatat bahwa Administrasi Samudra akan terus dicantumkan pada diagram organisasi Kementerian Sumber Daya Alam namun tidak menjelaskan alasannya.)
Mengintensifkan Diplomasi Maritim
Perubahan pertama mencerminkan adaptasi organ-organ pembuatan kebijakan Tiongkok agar sesuai dengan semakin pentingnya strategi maritim dalam kebijakan luar negeri Tiongkok. Rencana itu menyatakan bahwa Kelompok Kecil Pimpinan Pusat untuk Melindungi Hak dan Kepentingan Maritim (selanjutnya disebut Kelompok Pimpinan Maritim) akan dihapus dan tanggung jawabnya akan diserap ke dalam Komite Urusan Luar Negeri Pusat. Tujuan menggabungkan dua kelompok itu, menurut rencana tersebut, adalah untuk meningkatkan koordinasi “sumber daya dan tenaga kerja departemen diplomatik dan maritim.” Mengenai hak dan kepentingan maritim, komite itu akan bertanggung jawab untuk membimbing pelaksanaan keputusan partai, mengatur pengumpulan dan analisis intelijen, mengoordinasikan tanggapan terhadap keadaan darurat, dan mengarahkan penelitian tentang isu-isu utama.
Perubahan situasi eksternal Tiongkok sejak tahun 2012, ketika Kelompok Pimpinan Maritim didirikan di bawah Wakil Presiden saat itu Xi Jinping, membantu menjelaskan alasan dilaksanakannya reformasi itu. Pada tahun 2012, ketegangan terjadi di Laut Cina Selatan, khususnya antara Tiongkok dan Filipina atas kendali Scarborough Shoal. Kondisi ini membantu meningkatkan urgensi bagi Beijing untuk menyinkronkan entitas penegak hukum maritim yang berbeda untuk melindungi hak dan kepentingan yang dirasakan Tiongkok. Pembentukan Kelompok Pimpinan Maritim dan konsolidasi beberapa lembaga di bawah Administrasi Samudra Negara pada tahun 2013 menanggapi kebutuhan ini pada saat itu untuk koordinasi internal yang lebih baik.
Enam tahun kemudian, Tiongkok mengalami kemajuan yang signifikan di Laut Cina Selatan. Beijing telah melakukan pengembangan infrastruktur, pasukan, dan peralatan militer secara ekstensif untuk melindungi fitur yang diklaimnya, pengembangan yang saat ini dibela secara terbuka oleh pejabat Tiongkok yang sangat kontras dengan keseganan yang ditunjukkan sebelumnya. Di front diplomatik, Beijing sering kali mengekspresikan kepuasan dengan apa yang disebutnya sebagai “ketenangan yang dialami saat ini” di Laut Cina Selatan (meskipun Tiongkok masih mengajukan keberatan atas operasi militer A.S. yang memicu “destabilisasi” di sana). Menurut Xinhua, Tiongkok telah “berhasil mencapai kontrol administrasi atas situasi di Laut Cina Selatan dan mempertahankan stabilitas keseluruhan di kawasan maritim sekitarnya.” Selanjutnya, Xinhua telah menyatakan bahwa diplomasi Tiongkok terhadap Filipina dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah membantu “menghilangkan secara bertahap dampak negatif dari kasus arbitrase Laut Cina Selatan.” (Xinhua mengacu pada kasus klaim Tiongkok yang dibawa Filipina pada tahun 2016 ke Mahkamah Hukum Laut Internasional, yang menetapkan putusan yang mendukung klaim Filipina.) Dalam konteks perkembangan ini, Beijing bersiap untuk mengintegrasikan portofolio maritimnya secara lebih menyeluruh guna mendorong berkembangnya peran global Tiongkok.
Ke depannya, pemerintah A.S. dan sekutunya harus memantau dengan hati-hati bagaimana Tiongkok mengonsolidasikan pelajaran yang dipetiknya di Laut Cina Selatan. Bagaimana Tiongkok menerapkan apa yang telah dipelajarinya sehubungan dengan alat diplomatik, militer, ekonomi, hukum, dan alat kekuasaan nasional lainnya? Bagaimana Tiongkok menerapkan pelajaran ini ke daerah yang lebih luas tempat Tiongkok merasa memiliki hak dan kepentingan? Secara geografis, daerah ini mencakup Samudra Hindia dan Pasifik Barat. Daerah itu juga mencakup lokasi lain yang terkait dengan prakarsa OBOR Tiongkok, yang pada awalnya berfokus pada Eurasia dan Afrika tetapi telah diperluas dengan mencakup Amerika Latin dan Arktik. Secara fungsional, daerah itu mencakup apa yang disebut sumber-sumber Tiongkok sebagai ranah “baru” atau tidak konvensional: laut dalam, kawasan kutub, ruang angkasa, dan ruang siber (dua yang pertama berhubungan langsung dengan isu maritim). Beijing menyatakan dengan jelas bahwa pihaknya berniat untuk memainkan peran yang lebih besar dalam membentuk tata kelola global dari semua ranah ini.
Memusatkan Kontrol Militer atas Pasukan Penjaga Pantai
Perubahan kedua mencerminkan upaya untuk memperkuat komando dan kontrol militer atas pasukan penegak hukum maritim Tiongkok. Ini merupakan bagian dari dorongan yang lebih luas untuk memperkuat kontrol CCP atas semua tuas kekuasaan nasional. Menurut rencana reformasi itu, pasukan penjaga pantai akan dihapus dari kontrol sipil di bawah Administrasi Samudra Negara dan diintegrasikan ke dalam Kepolisian Bersenjata Rakyat, yang telah ditempatkan secara eksklusif di bawah komisi militer pusat sejak Januari 2018. Sebelumnya, pasukan penjaga pantai memiliki rantai komando militer-sipil ganda, berada di bawah komisi militer dan dewan negara. Kementerian Pertahanan Tiongkok mengatakan bahwa perubahan itu dimaksudkan untuk “memperkuat kepemimpinan mutlak Partai” atas angkatan bersenjata. Menurut surat kabar South China Morning Post, Beijing berusaha membatasi kemampuan otoritas setempat untuk mengerahkan polisi bersenjata untuk menangani bencana atau krisis lokal dan berpotensi menentang otoritas pusat.
Karena reformasi pada Maret 2018 itu, pasukan penjaga pantai sekarang memiliki rantai komando militer eksklusif dan telah kehilangan penampilan sebagai lembaga penegak hukum sipil. Martinson telah menunjukkan bahwa pasukan penjaga pantai sudah memiliki fungsi militer. Reformasi itu pada dasarnya membawa status institusinya sejalan dengan realitas operasional.
Pada tahap awal ini, implikasi bagi pemerintah dan militer asing tidak pasti, karena banyak rincian tentang struktur komando dan kontrol baru untuk pasukan penjaga pantai mungkin masih belum terselesaikan. Di sisi lain, ada peluang potensial bagi Amerika Serikat. Melepaskan tampilan sipil pasukan penjaga pantai dapat memungkinkan komunikasi yang lebih jelas antara angkatan bersenjata A.S. dan Tiongkok (pasukan penjaga pantai dan angkatan laut) untuk memfasilitasi interaksi yang lebih aman di laut. Hasil ini tergantung pada kemampuan militer A.S. untuk melibatkan rekan-rekan Tiongkok dalam pertukaran terperinci tentang reformasi itu. Hal ini dapat terjadi melalui pertukaran bilateral tingkat kerja yang ada yang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan dan profesionalisme maritim dan penerbangan, termasuk Perjanjian Konsultatif Kelautan Militer. A.S. harus mencoba untuk menyertakan pasukan penjaga pantai Tiongkok dalam diskusi seperti itu dan mencari kejelasan tentang perubahan peran dan struktur komando dan kontrol pasukan penjaga pantai dalam masa damai dan konflik. Demikian pula, Amerika Serikat harus menganjurkan diskusi bilateral mengenai milisi maritim Tiongkok, pasukan cadangan bersenjata yang digunakan Tiongkok untuk menegaskan dan membela klaim maritimnya. Pihak dari Tiongkok mungkin enggan untuk membahas masalah ini karena adanya rintangan organisasi internal dan belum tuntasnya reformasi itu. Akan tetapi, pejabat A.S. dapat mengingatkan interlokutor Tiongkok tentang arahan terbaru dari Xi Jinping di pertemuan politbiro bahwa Tiongkok harus lebih mengintegrasikan berbagai pasukan maritimnya. Xi menyatakan bahwa pasukan “lima-dalam-satu partai-pemerintah-militer-polisi-sipil” Tiongkok memberikan “keuntungan unik” dalam pertahanan pantai dan perbatasan. A.S. harus menegaskan bahwa pihaknya memerlukan pemahaman yang lebih baik tentang pasukan “lima-dalam-satu” ini dan bagaimana pasukan itu bekerja bersama-sama untuk memfasilitasi interaksi yang aman di laut.
Reformasi itu berpotensi memberikan implikasi yang mengkhawatirkan bagi Amerika Serikat. Lyle Morris, analis kebijakan senior di Rand Corp., baru-baru ini berpendapat bahwa perubahan itu dapat membuka jalan bagi pasukan penjaga pantai untuk mengambil fungsi militer tambahan dan memberi pasukan penjaga pantai lebih banyak fleksibilitas untuk bertindak secara agresif di perairan yang disengketakan di Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan. Kemungkinan ini mendasari lebih lanjut pentingnya mencari kejelasan yang lebih besar dari Beijing mengenai reformasinya dan memperkuat mekanisme yang ada untuk mengelola perjumpaan yang tidak direncanakan di laut dengan aman.
Melembagakan Masalah Lingkungan dan Sumber Daya
Perubahan ketiga berupaya untuk meningkatkan eksekusi dua elemen inti strategi maritim Tiongkok: pelestarian lingkungan laut dan eksploitasi sumber daya samudra (energi, ikan, dan mineral). Menurut rencana reformasi itu, unsur-unsur yang tersisa di portofolio Administrasi Samudra Negara akan dibagi di antara Kementerian Sumber Daya Alam dan Kementerian Ekologi dan Lingkungan yang baru dibentuk. Kementerian Sumber Daya Alam akan menggantikan mantan organisasi induk Administrasi Samudra Negara, Kementerian Pertanahan dan Sumber Daya. Portofolionya akan diperluas dengan menyertakan bagian dari portofolio perubahan iklim yang sebelumnya dimiliki oleh kementerian ekonomi super Tiongkok, Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, serta portofolio Biro Survei dan Pemetaan negara yang ditiadakan. Menurut Penasihat Negara Tiongkok, Wang Yong, Kementerian Sumber Daya Alam akan “mengelola pegunungan, perairan, hutan, ladang, danau, dan padang rumput secara menyeluruh.” Sehubungan dengan hal itu, Kementerian Ekologi dan Lingkungan akan menggantikan Kementerian Lingkungan dan akan “mengintegrasikan tanggung jawab perlindungan lingkungan ekologi terdesentralisasi” yang sebelumnya tersebar di beberapa lembaga. Ini akan mencakup menyerap tugas-tugas perlindungan lingkungan yang sebelumnya dilakukan oleh Administrasi Samudra Negara.
Kementerian Sumber Daya Alam dan Kementerian Ekologi dan Lingkungan akan besar kemungkinan mempertahankan beberapa tugas penegakan hukum sipil, menunjukkan bahwa perubahan ini — yang mungkin terdengar biasa bagi pihak luar — penting untuk dilacak bagi analis yang memantau perilaku Tiongkok di Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan. Salah satu penulis Tiongkok menilai bahwa Kementerian Ekologi dan Lingkungan mungkin akan mengelola penegakan hukum terhadap isu-isu perlindungan lingkungan, Kementerian Sumber Daya Alam akan menegakkan hukum yang terkait dengan pengelolaan sumber daya dan pemanfaatan ruang, dan pasukan penjaga pantai akan menangani isu-isu seperti keamanan maritim, kontrapenyelundupan, dan “tugas-tugas yang berurusan dengan pihak luar negeri.” Klarifikasi tambahan diperlukan. Akan tetapi, apa yang terlihat dengan jelas adalah bahwa kementerian ini akan menjadi versi yang diperluas dari diri mereka sebelumnya — dan besar kemungkinan lebih kuat. Sebagai kementerian, lembaga itu diharapkan akan memiliki lebih banyak pengaruh daripada Administrasi Samudra Negara (sebagai organisasi di bawah kementerian). Hal ini dapat membantu lembaga itu mendorong dan menyinkronkan dua prioritas penting yang sering kali bertentangan: pembangunan ekonomi (yang mengandalkan pemanfaatan sumber daya, termasuk dari samudra) dan perlindungan lingkungan.
Perubahan ini muncul dari persyaratan yang lebih besar dalam strategi nasional Tiongkok. Xi dalam laporannya kepada Kongres CCP ke-19 menyatakan sasaran untuk membangun “Tiongkok yang Indah” paling lambat tahun 2035, “tempat langitnya membiru, tanahnya menghijau, dan airnya bersih.” Seperti yang dicatat di kolom komentar surat kabar harian People’s Daily, samudra yang indah merupakan bagian tak terpisahkan dari “Tiongkok yang Indah.” Dalam laporan ke Kongres CCP ke-19, Xi selanjutnya menyerukan pendirian lembaga-lembaga regulasi untuk melakukan tugas-tugas membangun “Tiongkok yang Indah”: mengelola sumber daya alam milik negara, memantau ekosistem alam, dan mengembangkan sistem cagar alam yang terutama terdiri dari taman nasional. Tiongkok telah melihat banyak kegagalan akut untuk melindungi lingkungannya hingga saat ini — merusak lingkungan alaminya untuk dipertukarkan dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Sekarang, paling tidak secara retoris, Beijing melipatgandakan penentuan prioritas perlindungan lingkungan.
Terlalu cepat untuk mengetahui apakah perubahan terbaru pada birokrasi lingkungan dan sumber daya ini akan berhasil ketika upaya sebelumnya untuk memperkuat pendekatan yang lebih berkelanjutan telah mengalami kegagalan. Hal yang penting adalah semakin besar penentuan prioritas yang diberikan kepada samudra dan sumber dayanya dalam pendekatan keseluruhan Tiongkok terhadap kepentingan pembangunan dan keamanannya. Peneliti Administrasi Samudra Negara memberikan komentar bahwa Tiongkok di masa mendatang akan mengandalkan upaya “menjelajahi, mengembangkan, dan menggunakan samudra pada tingkat yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya.” Menurut penulis Tiongkok lainnya, upaya ini tidak terbatas pada laut yurisdiksi Tiongkok tetapi juga mencakup ranah maritim “baru” (laut dalam dan wilayah kutub) dan eksploitasi sumber daya di laut di bawah yurisdiksi asing.
Implikasi A.S.
Bagaimana seharusnya Amerika Serikat merespons? Mendapatkan lebih banyak kejelasan dari rekan-rekan Tiongkok mengenai pasukan penjaga pantai dan milisi maritimnya hanya merupakan bagian dari jawabannya. Strategi maritim Tiongkok mengintegrasikan tujuan ekonomi, lingkungan, diplomatik, dan militer. Amerika Serikat harus merumuskan pendekatan yang cocok. Beberapa tujuan maritim jangka panjang Tiongkok — seperti pelestarian lingkungan laut — sejalan dengan kepentingan nasional A.S. Tujuan lainnya — termasuk upaya Tiongkok untuk memastikan hak dan kepentingan maritimnya di laut di dekatnya dan di seluruh dunia — berseberangan dengan kepentingan A.S. Pengelolaan berbagai aspek itu sebagian besar berada di tangan, meskipun tidak secara eksklusif, Departemen Pertahanan A.S., namun pengaruhnya akan terbatas tanpa upaya kohesif dari bagian-bagian pemerintah lainnya. Dalam pertukaran bilateral, ambisi maritim Tiongkok harus ditangani di tingkat negara-ke-negara selain saluran militer-ke-militer.
Di antara berbagai tantangan yang ditimbulkan strategi maritim Tiongkok, upayanya di bidang hukum benar-benar paling meminta peningkatan perhatian A.S. Beijing berusaha untuk memaksakan preferensinya atas tata kelola global terhadap rezim hukum maritim internasional. Ada implikasi serius bagi Washington dan sekutunya jika Beijing berhasil. Preferensi Beijing mencakup pengurangan aliansi, kehadiran, dan operasi militer A.S. di dekat Tiongkok sehingga mengakibatkan terkikisnya kemampuan Amerika untuk memproyeksikan kekuatan dan menyediakan pengamanan di kawasan tersebut. Tiongkok juga berupaya mendapatkan peran yang lebih kuat untuk dirinya sendiri sebagai “kekuatan besar” di kawasan kutub dan laut dalam sehingga membuka jalan bagi masa depan ketika kepentingan dan nilai-nilai Tiongkok menjadi dominan dalam kepentingan bersama global ini. Selain itu, Tiongkok mencoba membangun pengaruh internasional atas pengadilan maritim domestiknya yang bertujuan untuk memperkuat kemampuannya untuk menegaskan klaim kedaulatannya dengan negara lain.
Kesenjangan utama yang menghambat upaya hukum Tiongkok adalah ketiadaan “hukum laut dasar” domestik Tiongkok. Menurut pakar yang berafiliasi dengan pemerintah Tiongkok, meskipun banyak hukum Tiongkok membahas isu maritim yang berbeda, hukum maritim terpadu diperlukan untuk menempatkan strategi maritim Tiongkok pada pijakan hukum yang lebih solid dan mengklarifikasi prioritas Beijing. Hukum itu akan membahas keseimbangan yang tepat antara keamanan nasional dan masalah pembangunan ekonomi dalam strategi maritim. Dengan cara yang sama, hukum itu akan memberikan bimbingan mengenai menyeimbangkan hubungan positif dengan negara-negara tetangga, di satu sisi, dan penegasan klaim kedaulatan maritim Tiongkok di sisi lain. Selain itu, hukum itu akan membahas keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Laut Cina Selatan — dengan berbagai negara penggugat yang mengincar kepentingan ekonomi, militer, dan lingkungan — menunjukkan prioritas tumpang tindih ini.
Tanggapan holistis A.S. harus mengeksploitasi kesenjangan dalam strategi Tiongkok dan mengatasi celah dalam pendekatan A.S. Setidaknya tiga rekomendasi kebijakan A.S. tampak menonjol dalam hal ini. Pertama, Amerika Serikat harus meratifikasi Konvensi Hukum Laut P.B.B. Langkah semacam itu akan menjadi isyarat penting dari komitmen abadi Washington terhadap tatanan berbasis aturan internasional. Kedua, Strategi Indo-Pasifik Bebas dan Terbuka dari Washington, yang diperkenalkan pada tahun 2017 dan masih dalam perumusan, harus menjelaskan gagasan tandingan positif terhadap visi Beijing untuk tata kelola global di ranah maritim. Strategi itu harus memperkuat konsep ekonomi, lingkungan, diplomatik, hukum, dan keamanan yang telah melayani kepentingan A.S., regional, global, dan Tiongkok selama beberapa dekade. Strategi itu harus memperhatikan upaya Tiongkok untuk membentuk kembali konsep-konsep ini sesuai dengan preferensi dan nilainya sendiri. Upaya yang sebagian besar bersifat retoris ini harus disesuaikan dengan kehadiran militer, kerja sama keamanan maritim, dan keterlibatan diplomatik A.S. secara berkelanjutan dengan sekutu dan mitra — tidak hanya di Indo-Pasifik tetapi juga secara global ketika jangkauan strategi maritim Tiongkok meluas. Ketiga, A.S. harus mengusulkan strategi dan hukum maritim sebagai topik untuk pembicaraan tingkat tinggi A.S.-Tiongkok di masa mendatang. Dialog Penegakan Hukum dan Keamanan Siber A.S.-Tiongkok merupakan salah satu lokasi yang memungkinkan untuk membahasnya. Washington harus menggunakan pertukaran ini untuk memahami konsep hukum maritim yang dipromosikan Beijing dan menekankan bahwa konsep-konsep ini tidak sejalan dengan aturan dan norma internasional yang sudah ada sejak dahulu kala. Tujuan A.S. seharusnya membentuk konsep hukum Tiongkok ketika konsep itu muncul — sebelum konsep itu diratifikasi dalam hukum laut dasar Tiongkok.
Perairan Lebih Jernih, Laut Lebih Dalam
Ketiga perubahan institusi itu menyorot bidang tempat Beijing melihat kebutuhan untuk menyempurnakan eksekusi strategi maritimnya guna mengambil peran yang lebih besar di panggung global. Jika reformasi itu mencapai apa yang Beijing inginkan, para pengamat harus mengantisipasi bahwa strategi maritim Tiongkok itu akan menjadi elemen yang lebih eksplisit dari kebijakan luar negerinya, khususnya dukungan Xi terhadap “komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia.” Bagi Xi, membangun komunitas ini berarti kepentingan dan nilai-nilai partai akan mendapatkan cengkeraman yang lebih besar dalam tata kelola global. Kedua, para pengamat harus melihat komando dan kontrol yang lebih jelas dari pasukan penegak hukum maritim Tiongkok di bawah Komisi Militer Pusat yang melaksanakan sasaran strategis partai untuk meremajakan Tiongkok. Terakhir, para pengamat harus memperhatikan keseimbangan yang lebih efektif di antara berbagai aspirasi partai untuk menggunakan samudra guna membuat Tiongkok kaya dan indah. Keberhasilan Beijing dalam setiap upaya ini masih belum pasti, tapi niatnya jelas. A.S., sekutu, dan mitranya memerlukan tujuan yang sama jelasnya. ο
Liza Tobin pada awalnya menerbitkan artikel di atas di situs web War on the Rocks, platform untuk isu-isu kebijakan luar negeri dan keamanan nasional. Artikel ini telah diedit agar sesuai dengan format FORUM.