Menghindari Sanksi
Dengan bantuan berbagai pihak, Korea Utara mengelak dari larangan P.B.B.
Staf FORUM
Dalam bulan-bulan menjelang pertemuan puncak bersejarah antara Amerika Serikat dan Korea Utara, sanksi yang menargetkan segalanya dari makanan laut dan ekspor tenaga kerja Korea Utara hingga hukuman terhadap bank yang tidak patuh disesuaikan untuk mengekang program senjata nuklir dan rudal rezim penjahat. Namun, laporan P.B.B. yang dirilis pada Maret 2018 mengungkapkan bahwa Korea Utara melanggar sanksi P.B.B. pada 2017 dengan mengekspor batu bara dan komoditas terlarang lainnya senilai setidaknya 2,8 triliun rupiah (200 juta dolar A.S.).
Korea Utara bahkan mengirimkan pasokan yang dilarang ke Suriah, seperti termometer, katup, dan ubin tahan asam, puluhan kali selama satu dekade untuk membantu program senjata kimia Suriah, kata laporan itu. Bagi sekutu yang ingin Korea Utara mengubah perilakunya, juru bicara P.B.B. Stephane Dujarric menawarkan tantangan ini: “Saya pikir pesan teramat penting adalah bahwa semua negara anggota memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mematuhi sanksi yang berlaku,” demikian menurut laporan surat kabar The New York Times.
Kampanye Tekanan
Meski dengan upaya Korea Utara untuk menghindari sanksi, langkah tersebut tetap memiliki dampak. Ketika diktator Korea Utara Kim Jong Un pada Maret 2018 mengatakan ia tidak akan melakukan uji coba nuklir atau rudal lebih lanjut sampai ia bertemu dengan Presiden A.S. Donald Trump, pejabat A.S. menyebut terobosan ini sebagai hasil dari kampanye tekanan terhadap Pyongyang.
“Dengan ini [kampanye tekanan] kita sekarang sampai di titik di mana kita bisa mengupayakan solusi diplomatik bagi denuklirisasi Semenanjung Korea sepenuhnya,” kata Letnan Jenderal H.R. McMaster, yang saat itu menjabat sebagai penasihat keamanan nasional Presiden Trump, demikian menurut majalah Time. “Jadi, kami bertekad mengupayakan cara tersebut.”
Langkah tersebut membantu menarik Kim ke meja perundingan. Pertemuan 12 Juni 2018 antara Kim dan Trump adalah tontonan internasional dan mengarah pada pernyataan bersama di mana Kim setuju untuk melakukan denuklirisasi sebagai ganti jaminan keamanan dari Amerika Serikat. Akan tetapi, Trump mengatakan sanksi akan tetap berlaku sampai ia melihat bagaimana Korea Utara menepati janjinya untuk meninggalkan pengembangan senjata nuklir.
Tekanan terhadap negara miskin Kim telah bertambah selama beberapa waktu. Pada tahun 2017, P.B.B. menyetujui sanksi terberatnya terhadap Korea Utara, yang secara efektif membuat sekitar 90 persen ekspor Korea Utara ilegal menurut hukum internasional, demikian menurut Nikki Haley, duta besar A.S. untuk P.B.B.
“Hari ini, kami mencoba merenggut masa depan program nuklir Korea Utara dari tangan rezim penjahat,” kata Haley pada September 2017, menurut sebuah artikel di surat kabar The Washington Post. “Hari ini, kami mengatakan dunia tidak akan pernah menerima senjata nuklir Korea Utara.”
Sanksi P.B.B. juga melarang ekspor tekstil Korea Utara dan membatasi impor minyak Pyongyang. Sanksi ini merupakan tambahan dari sanksi sebelumnya yang membatasi kemampuan Korea Utara untuk mengekspor batu bara, bijih besi, dan makanan laut. Selama beberapa tahun, P.B.B. memperluas sanksi tersebut dengan menyertakan pembekuan aset orang-orang yang terlibat dalam program nuklir Korea Utara, dan larangan ekspor peralatan listrik, mineral, makanan, dan produk pertanian, serta buruh. Meski efektivitas upaya ini telah diperdebatkan selama bertahun-tahun sebab Pyongyang melanjutkan uji coba dan program rudal jarak jauh dan senjata nuklirnya, beberapa pakar internasional mengatakan bahwa upaya tersebut berperan dalam keputusan Korea Utara untuk menangguhkan uji coba.
Ekspor Korea Utara turun 30 persen pada 2017, menurut laporan BBC News. Ekspor ke Tiongkok — mitra perdagangan terbesar negara itu — menurun dengan cepat karena Beijing mulai berpartisipasi lebih penuh dalam program sanksi P.B.B.. Pada akhir 2017, Tiongkok melaporkan tidak ada impor aluminium, batu bara, tembaga, besi, timah, atau seng dari Korea Utara. Kendati demikian, Tiongkok terus mengekspor bahan bakar, jagung, kapas, minyak kelapa sawit, beras, karet, dan baja tahan karat ke Korea Utara sementara mengimpor pupuk, kayu, dan baja, menurut laporan Bloomberg.com.
Meski mungkin membutuhkan lebih banyak waktu agar dampak sanksi yang lebih berat menjadi jelas, pemerintahan Kim kemungkinan menyetujui pertemuan puncak karena takut apa yang akan terjadi berikutnya. “Banyak dari langkah yang lebih keras tersebut akan memerlukan lebih banyak waktu, implementasi yang luas dan ketat agar sepenuhnya efektif,” kata William Newcomb, mantan anggota Panel Pakar P.B.B., kepada BBC News. “Indikasi awal tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang kemungkinan menjadi lebih jelas bagi Pyongyang.”
Lebih Banyak Pekerjaan Menanti
Korea Utara membutuhkan bantuan untuk mendapatkan 2,8 triliun rupiah (200 juta dolar A.S.) dari penjualan komoditas yang dilarang. Korea Utara mengirimkan batu bara ke pelabuhan di banyak negara, termasuk Tiongkok dan Rusia, sering kali menggunakan dokumen palsu yang menunjukkan batu bara berasal dari negara selain Korea Utara. Korea Utara “sudah mencemooh resolusi terbaru dengan mengeksploitasi rantai pasokan minyak global, warga negara asing yang terlibat aktivitas ilegal, daftar perusahaan luar negeri, dan sistem perbankan internasional,” tulis pemantau P.B.B. dalam laporan 213 halaman pada 2018.
Laporan itu secara khusus mengkritik Rusia dan Tiongkok karena gagal menegakkan sanksi terhadap barang termasuk batu bara, barang mewah, dan minyak. Sanksi belum diikuti, kata laporan itu, “dengan niat politik, koordinasi internasional, prioritisasi, dan alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mendorong implementasi yang efektif.” Tiongkok, yang mewakili 90 persen perdagangan Korea Utara, telah berfungsi sebagai fasilitator utama perdagangan pasar gelap Korea Utara, demikian menurut P.B.B. Selama 2017, Tiongkok dan Rusia terus memungkinkan pelanggaran sanksi P.B.B. dengan mengimpor batu bara, tembaga, bijih besi, dan baja dari Korea Utara.
Partisipasi Tiongkok dalam program sanksi bisa menjadi faktor penentu keberhasilan program tersebut. “Ingat bahwa Tiongkok, pada kenyataannya, mewakili sekitar 90 persen perdagangan barang Korea Utara; ada pendapatan jasa lain yang berasal dari sana-sini yang lebih sulit dilacak, meski telah ada tekanan pada negara-negara untuk mengusir diplomat yang terlibat dalam bisnis,” ungkap Stephan Haggard, seorang visiting fellow di Peterson Institute of International Economics, kepada FORUM. “Akan ada beberapa kebocoran negara kecil, tetapi pertanyaan utamanya adalah: Seberapa banyak yang dilakukan Tiongkok? Sisanya adalah perubahan kecil — bukan sama sekali tidak penting, namun sudah diperkirakan. Korea Utara tidak bisa bertahan dengan sejumlah kecil perdagangan dengan Malaysia atau Namibia.”
Anggota lain dari Dewan Keamanan P.B.B. juga merupakan kunci. Rusia, menurut laporan P.B.B. dan media, terus terlibat dalam perdagangan terlarang dengan Korea Utara. Reuters melaporkan pada Desember 2017 bahwa tanker Rusia dalam setidaknya tiga kejadian memasok bahan bakar ke Korea Utara dengan mentransfer kargo di laut.
Laporan P.B.B. mengatakan “upaya terkoordinasi oleh Negara-Negara Anggota sangat penting untuk memberantas aktivitas gelap yang marak terjadi ini.” Peningkatan sanksi, kata laporan itu, telah menciptakan pasar yang menggiurkan bagi pedagang dukungan Korea Utara yang “berusaha mendapatkan minyak bumi sembari mengekspor sumber daya alam negara itu. Margin keuntungan yang ada, ditambah dengan sifat offshore dari banyak sektor minyak, maritim, dan keuangan yang terdampak, membutuhkan uji tuntas, pembagian informasi, dan penertiban diri sektor swasta yang jauh lebih besar.”
Perdagangan senjata mendanai rezim
Meski seluruh dunia mengutuk uji coba nuklir dan rudal Korea Utara, negara-negara terus terlibat dalam transaksi senjata terlarang dengan rezim ini. Dari Afrika sampai Indo-Pasifik, P.B.B. “telah menyelidiki berbagai macam proyek kerja sama militer yang dilarang,” ungkap laporan tersebut, “termasuk kerja sama rudal balistik yang sedang berlangsung dengan Suriah dan Myanmar, transaksi senjata konvensional yang meluas dan operasi siber untuk mencuri rahasia militer.”
P.B.B. menemukan bahwa diplomat Korea Utara terus memainkan peranan penting dalam mendorong program terlarang negara itu, menyediakan “dukungan logistik untuk transfer senjata, teknisi militer, dan operasi intelijen, bertindak sebagai tameng bagi entitas dan individu terlarang dan terlibat dalam kegiatan komersial yang melanggar resolusi dan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik.”
Penyelidik P.B.B. melaporkan pada 2017 bahwa pengiriman udara dari Tiongkok yang berisi peralatan komunikasi militer Korea Utara dicegat di negara yang tidak disebutkan namanya dalam perjalanan menuju Eritrea di Afrika. Pakar P.B.B. juga menyelidiki penyitaan kapal Korea Utara, Jie Shun, di Mesir pada Agustus 2016. Kapal itu membawa 2,3 ton bijih besi dan 30,000 granat berpeluncur roket. Laporan P.B.B. tersebut tidak menyebutkan negara tujuan.
Bank yang mengizinkan akses
Sanksi juga dirancang untuk mencegah Korea Utara mengakses sistem perbankan global. Namun, rezim itu terus mengakses bank internasional “melalui praktik penipuan yang digabungkan dengan kelemahan kritis dalam pelaksanaan sanksi keuangan,” ujar laporan P.B.B. Lembaga keuangan Korea Utara memiliki lebih dari 30 perwakilan di luar negeri “yang tinggal dan bergerak bebas melintasi perbatasan di Timur Tengah dan Asia, tempat mereka mengontrol rekening bank, memfasilitasi transaksi, dan berurusan dengan uang tunai dalam jumlah besar.” Penyedia layanan korporat menghadirkan “kerentanan utama dalam implementasi sanksi keuangan,” memungkinkan Korea Utara untuk membuat perusahaan kedok di luar negeri dan di pusat keuangan Asia untuk membantu memindahkan uang ke seluruh dunia.
Amerika Serikat memberikan sanksi pada sebuah bank Tiongkok karena memfasilitasi akses ke pasar keuangan tersebut. Pada Juni 2017, Departemen Keuangan A.S. mengenakan denda pada Bank of Dandong, memutus aksesnya ke lembaga keuangan A.S. Departemen Keuangan melabeli bank tersebut sebagai “lembaga keuangan asing dengan masalah utama pencucian uang.” Departemen Keuangan juga telah memberikan sanksi pada dua orang dari Tiongkok, serta sebuah perusahaan Tiongkok, Dalian Global Unity Shipping Co. Ltd.
“Bank ini telah berfungsi sebagai gerbang bagi Korea Utara untuk mengakses sistem keuangan A.S. dan internasional, memfasilitasi jutaan dolar transaksi untuk perusahaan yang terlibat dalam program nuklir dan rudal balistik Korea Utara,” ujar Menteri Keuangan A.S. Steven Mnuchin. “Amerika Serikat tidak akan tinggal diam untuk tindakan seperti itu.”
Kucing-Kucingan di Laut
Korea Utara berupaya keras menyembunyikan pengiriman komoditas terlarangnya. “Dalam melanjutkan ekspor batu bara terlarangnya, negara ini menggabungkan penipuan pola navigasi, manipulasi sinyal, trans-shipment, dan penipuan dokumentasi untuk mengaburkan asal batu bara,” ungkap laporan P.B.B. Maret 2018.
Namun, tidak semua penipuan itu kompleks. Dalam beberapa kasus, itu hanyalah perubahan nama saja. Jin Teng, yang diberi sanksi oleh A.S. pada Maret 2016, berubah menjadi Shen Da 8 kemudian Hang Yu 1, demikian menurut laporan Bloomberg News. Jin Tai 7, yang juga diberi sanksi oleh A.S., mengubah namanya menjadi Sheng Da 6 kemudian Bothwin 7. Kedua kapal itu tetap ada dalam daftar kapal yang telah diberi sanksi oleh A.S. Bothwin 7 mengunjungi pelabuhan Lianyungang, Tiongkok, pada Januari 2018, bulan yang sama ketika Hang Yu 1 singgah di Pelabuhan Ningbo-Zhoushan, Tiongkok. Kedua kapal tersebut berbasis di Pyongyang dan diberi sanksi oleh P.B.B.
Anggota P.B.B. sangat menyadari polanya dan menyesuaikan upaya mereka. Pada Februari 2018, Departemen Keuangan A.S. mengumumkan sejumlah besar sanksi baru terhadap 27 entitas dan 28 kapal dalam langkah yang bertujuan untuk “secara signifikan menghambat kemampuan Korea Utara untuk melakukan kegiatan maritim licik yang memfasilitasi transportasi batu bara dan bahan bakar gelap, dan membatasi kemampuan rezim ini untuk mengirim barang melalui perairan internasional.” Panel P.B.B. menambahkan bahwa Korea Utara mampu melanjutkan kegiatan penyelundupan sebagiannya melalui penggunaan daftar bendera asing. Sekitar separuh kapal yang dilarang telah ditandai di Mongolia tetapi dihapus dari daftar setelah pengenaan sanksi. Banyak yang telah bermigrasi ke bendera Tanzania, kata laporan P.B.B.
Upaya Bersama
Kunci untuk mencapai sasaran denuklirisasi Semenanjung Korea dapat bergantung pada seberapa penuh anggota P.B.B. berpartisipasi. Bahkan dengan partisipasi setengah-setengah sekalipun, Haggard dari Peterson Institute mengatakan bahwa program ini kemungkinan memiliki sejumlah dampak. Sanksi “mungkin berkontribusi pada beberapa substitusi impor: perusahaan domestik — baik pemerintah maupun swasta — mencari cara membuat barang yang sebelumnya diimpor, atau langsung tidak menggunakannya,” kata Haggard. “Namun dampak terbesar adalah menurunnya pendapatan valuta asing dari ekspor. Kecuali pemerintah dapat memperoleh kredit atau melepaskan kepemilikan valuta asing dari rekeningnya sendiri, ini artinya akan terjadi kelangkaan dalam beberapa bulan mendatang.”
Keputusan Tiongkok untuk mengenakan sanksi secara tegas sangat penting. Beijing lebih lambat dibandingkan banyak anggota P.B.B. lainnya dalam meningkatkan sanksi. Tiongkok, menurut Dewan Hubungan Luar Negeri, merupakan sumber utama makanan dan energi Korea Utara. Tiongkok secara historis menentang sanksi internasional keras sebagiannya karena takut akan runtuhnya rezim Kim dan pengungsi berbondong-bondong masuk ke Tiongkok.
Namun, uji coba nuklir dan rudal Korea Utara telah memicu Tiongkok menggunakan nada yang lebih keras terhadap sekutu lamanya. Setelah Korea Utara meluncurkan rudal balistik pada November 2017, Tiongkok menyatakan “tentangan dan keprihatinan yang mendalam”. Tiongkok mendukung sebagian sanksi P.B.B., tetapi tidak sebelum beberapa langkah dari versi draf dibuang, termasuk embargo minyak dan otorisasi untuk menggunakan kekuatan ketika kapal tidak mematuhi inspeksi yang diperintahkan.
Namun, Korea Utara akhirnya setuju bernegosiasi untuk meredakan perselisihan atas program senjatanya, yang memicu sebagian optimisme. “Setiap kali diberlakukan sanksi, akan ada kebocoran [orang yang tidak mematuhi sanksi] karena hal itu menguntungkan; pialang dan penyelundup muncul untuk menangani bisnis gelap ini,” ujar Haggard. “Namun kita harus mengingat gambaran yang lebih besar — bahwa kategori komoditas utama berada di bawah tekanan, dan perusahaan yang memiliki ukuran untuk menangani pengiriman besar komoditas seperti batu bara dan bijih besi, mungkin tekstil dan produk bahari, umumnya dilarang melakukannya. Saya pikir sanksi memiliki dampak, dan itulah sebabnya Korea Utara kembali ke meja perundingan.”