Tajuk Utama

Perubahan Iklim dan Pengejaran Kutub

Negara-negara Indo-Asia-Pasifik semakin menaruh minat pada Arktik dan Antartika ketika pemerintah mereka membuat rencana untuk mengelola perubahan iklim

Staf FORUM

Populasi global saat ini yang jumlahnya sekitar 7,1 miliar diperkirakan akan tumbuh menjadi 8,3 miliar orang pada tahun 2030. Pertumbuhan ini menimbulkan peningkatan permintaan pada sumber daya energi, pangan, dan air yang semakin lama semakin berkurang. Ketegangan internasional seperti itu berpotensi membuat negara-negara memperebutkan aset dan akhirnya terjadi konflik akibat mengalami kebuntuan.

“Perubahan iklim dapat memperburuk ketegangan dan meningkatkan risiko konflik antarnegara ketika permukaan laut naik, garis pantai mundur, dan terendamnya pulau-pulau kecil di dataran rendah memengaruhi batas maritim dan zona ekonomi eksklusif tempat sumber daya alam berada,” demikian menurut “Bersiaplah; Perubahan Iklim, Keamanan, dan Pasukan Pertahanan Australia (Be Prepared; Climate Change, Security and Australia’s Defence Force),” laporan yang diterbitkan oleh Dewan Iklim yang berbasis di Australia pada tahun 2015. “Organisasi internasional terkemuka dan pasukan pertahanan di seluruh dunia, dari Pentagon hingga negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara [North Atlantic Treaty Organization – NATO] dan sekarang G7, semuanya mengidentifikasikan perubahan iklim sebagai ancaman signifikan terhadap keamanan nasional.”

Antisipasi terhadap ancaman keamanan dan persaingan sumber daya membuat pemerintah merencanakan masa depan yang dibentuk dengan ketidakpastian lingkungan. Beberapa telah memasukkan wilayah Arktik dan Antartika sebagai cadangan sumber daya masa depan, terutama karena perubahan iklim mencairkan es kutub dan menciptakan akses sepanjang tahun yang belum pernah terjadi sebelumnya ke cadangan sumber daya yang belum dimanfaatkan sebelumnya.

Kapal pemecah es Ahto berhenti di tengah-tengah lapangan es di lepas pantai Tornio di Finlandia utara pada Februari 2016, untuk menguji bagaimana tumpahan minyak akan mengalir di bawah es Arktik. [AFP/GETTY IMAGES]
“Selagi beberapa sumber daya diproyeksikan menurun sehingga memperparah konflik, ketersediaan sumber daya baru mungkin juga berpotensi meningkatkan persaingan di antara berbagai negara,” demikian menurut Dewan Iklim.

Dewan Iklim menunjukkan bahwa Arktik telah menghangat dua kali lipat dari tingkat normal sejak tahun 1980, yang berkontribusi pada pencairan lapisan es kutub. Beberapa proyeksi memperkirakan bahwa Samudra Arktik bisa sepenuhnya bebas dari es musim panas pada akhir abad ini, menjadikan perairan Arktik lebih mudah dinavigasi, membuka rute pelayaran baru, memperpanjang musim perkapalan, dan meningkatkan akses ke cadangan minyak dan gas yang signifikan. Menurut para ilmuwan, perairan Arktik belum pernah bebas dari es selama setidaknya 100.000 tahun.

“Dalam jangka panjang, hal ini bisa meningkatkan risiko potensi sengketa antarnegara atas akses dan pengambilan cadangan sumber daya tersebut,” demikian menurut Dewan Iklim. “Contoh Laut Cina Selatan dan Arktik menunjukkan bagaimana perubahan iklim, melalui kenaikan permukaan laut dan menyusutnya es laut, dapat makin memperumit ketegangan kedaulatan antarnegara, meskipun saat ini, lembaga politik yang ada telah berhasil mengelola ketegangan ini.”

Tiongkok telah menegaskan kepentingannya di Arktik. Meskipun belum menerbitkan makalah strategi Arktik, kepentingannya di kawasan itu telah perlahan-lahan tumbuh dalam beberapa tahun terakhir ini.

“Meskipun tidak ada kebijakan formal, ada tiga lini keterlibatan — penelitian ilmiah, hubungan ekonomi bilateral, dan partisipasi dalam tata kelola regional — yang membentuk dasar interaksi Arktik Beijing. Ini membantu memberikan wawasan tentang aspirasi yang mendasari Tiongkok di wilayah tersebut,” demikian menurut laporan Forum Asia Timur pada Maret 2016. “Keterlibatan Arktik Tiongkok berasal dari dan masih didominasi oleh proyek penelitian ilmiah yang bertujuan membangun kemitraan dengan banyak negara Arktik untuk menindaklanjuti penelitian iklim dan lingkungan. Beberapa komentator dengan serta-merta mengabaikan upaya ilmiah Beijing sebagai kamuflase atas sasaran politik lainnya. Tapi tantangan perubahan lingkungan dan iklim secara besar-besaran yang dihadapi Tiongkok tidak boleh diabaikan. Tantangan-tantangan ini memotivasi banyak karya ilmiah dan iklim internasional mereka.”

Untuk menjernihkan kebingungan tentang posisinya di Arktik, para pejabat Tiongkok telah mengakui minat mereka di wilayah tersebut. Tiongkok juga memegang posisi pengamat permanen di Dewan Arktik.

“Kesediaan Tiongkok untuk menjadi pengamat Dewan Arktik mendukung pandangan bahwa Tiongkok tidak menantang kedaulatan negara-negara pesisir di Samudra Arktik dan tetap berkomitmen untuk menghormati aturan hukum, termasuk UNCLOS [Konvensi P.B.B. tentang Hukum Laut],” demikian menurut laporan The Diplomat, majalah berita online, pada Desember 2015. “Tiongkok sedang memosisikan dirinya, dan memperoleh ‘pijakan di pintu,’ untuk mengakses dan mengambil sumber daya serta memanfaatkan peluang strategis, ekonomi, militer, dan ilmiah di wilayah Arktik dalam beberapa tahun mendatang.”

Sementara itu, Rusia secara terang-terangan menyatakan keinginannya untuk mengklaim sumber daya di Arktik. Pada Agustus 2015, Rusia mengajukan klaim teritorial baru kepada Komisi P.B.B. untuk Batas Landas Kontinen. Rusia mengklaim landas kontinennya membentang lebih jauh hingga ke Samudra Arktik daripada yang diperkirakan sebelumnya. Jika klaim itu disetujui, Rusia akan mendapatkan kontrol atas wilayah penangkapan ikan, minyak, gas, dan sumber daya lainnya yang sangat luas, demikian menurut laporan majalah Nikkei Asian Review pada April 2016.

Seorang awak kapal cutter Healy Pasukan Penjaga Pantai A.S. mengambil persediaan di Samudra Arktik selama misi penelitian. REUTERS

Nikkei melaporkan bahwa Rusia sudah memiliki 40 kapal pemecah es di wilayah itu dan mulai menguji kapal pemecah es baru pada April 2016. Majalah itu juga menyebutkan bahwa Rusia juga mempertimbangkan untuk membangun pangkalan militer lainnya di kawasan itu.

India, yang juga memiliki status pengamat permanen di Dewan Arktik, berpartisipasi dalam pembicaraan trilateral dengan Tiongkok dan Rusia pada tahun 2015 untuk membahas potensi kerja sama dalam produksi minyak dan gas alam. Pembicaraan yang langka ini membuat beberapa pihak bertanya-tanya apakah kerja sama itu bisa berkembang menjadi kemitraan dalam mengeksplorasi Arktik begitu wilayah itu mencair.

“Selagi India masih mempertahankan bahwa kepentingannya di Arktik sebagian besar bersifat ilmiah, Tiongkok telah mengambil sikap lebih tegas, menyebut dirinya sebagai ‘negara di dekat Arktik,’” tulis Politico pada Agustus 2015.

Salah satu jurnalis New Delhi mengatakan bahwa ketika banyak negara mengakui realitas mencairnya es di Arktik, banyak yang mengalihkan fokus mereka dari lingkungan ke ekonomi. DailyO, platform pendapat online untuk India Today Group menyatakan bahwa India telah berfokus pada Antartika selama bertahun-tahun, tetapi penelitian di wilayah Arktik telah meningkat baru-baru ini. Pada tahun 2015, India mulai mendorong untuk mendapatkan peran lebih besar di Arktik lewat menggembar-gemborkan dirinya sebagai pemimpin dalam penelitian ilmiah.

Peneliti India juga mengatakan bahwa proses atmosfer kutub di wilayah Arktik terkait dengan intensitas musim hujan India.

“Meskipun telekoneksi tersebut menjadi bahan perdebatan akademis, pemahaman komprehensif mengenai Arktik memiliki arti penting khususnya bagi ekonomi agraria yang bergantung pada musim hujan seperti ekonomi kami,” kata Menteri Sains dan Teknologi India Harsh Vardhan pada Mei 2015, demikian menurut Televisi New Delhi.

Ketika perubahan iklim menyebabkan naiknya permukaan air laut, fenomena ini juga mendorong kenaikan suhu global dan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem. Dewan Iklim menyatakan bahwa dampak ini akan membatasi ketersediaan makanan dan air, merusak kesehatan manusia, dan menghancurkan infrastruktur dan ekonomi.

“Kami telah diberi informasi langsung oleh para ilmuwan bahwa jika kecenderungan saat ini berlanjut, permukaan air laut bisa naik setengah meter dalam 50 tahun ke depan, dan satu meter dalam satu abad,” kata Sam Tan, yang mewakili Singapura di Dewan Arktik, kepada surat kabar Singapura Today pada Juni 2016. “Jika hal ini benar-benar terjadi, banyak negara di seluruh dunia, termasuk Singapura, sebagian wilayah negaranya akan mengalami risiko tenggelam di bawah air.”

Seorang nelayan berlayar di dekat Jakobshavn Glacier dan Ilulissat Icefjord di Greenland, sebelah utara Lingkaran Arktik. THE ASSOCIATED PRESS

Kejadian semacam ini ini bisa memperburuk ketegangan yang ada, meningkatkan ketidakstabilan sosial, mendorong migrasi berskala besar, dan menjadi pemicu konflik kekerasan. Itulah sebabnya pasukan militer, dan sektor keamanan yang lebih luas, telah melabeli perubahan iklim sebagai “pengganda ancaman,” demikian menurut Dewan Iklim.

“Peristiwa cuaca ekstrem memiliki implikasi langsung pada kesiapan militer dan kemampuan militer untuk mempertahankan diri,” ungkap Dewan Iklim, “sementara itu ketidakstabilan yang lebih besar, konflik, dan migrasi yang disebabkan iklim akan membentuk jenis peran dan misi yang akan dilakukan militer di masa depan.”

Penatagunaan Antartika

Australia menyatakan dirinya sebagai pemimpin di Antartika selama 100 tahun terakhir dan menegaskan kedaulatan atas 42 persen wilayah benua Antartika. Ketika para pemain baru mulai berkecimpung di bentang alam itu dalam perburuan sumber daya yang belum dimanfaatkan, dominasi lama Australia sebagai kekuatan utama di Antartika berisiko berkurang.

“Australia kini memiliki peluang sempit untuk menekankan kepentingan strategis Antartikanya dan menunjukkan kepemimpinan dalam urusan Antartika,” demikian menurut laporan “20 Tahun Rencana Strategis Antartika Australia” yang diterbitkan pemerintah Australia pada tahun 2014. “Australia harus menyesuaikan aspirasi Antartikanya dengan demonstrasi yang jelas akan kehadiran dan kepemimpinannya di Wilayah Antartika Australia,” kata laporan itu yang menyerukan Australia untuk menjadi “mitra pilihan” dalam logistik dan ilmu pengetahuan Antartika Timur.

Australia mengakui bahwa Tiongkok, India, dan Korea Selatan baru-baru ini memperluas keterlibatan mereka di Antartika. (Selain itu, Jepang dan A.S. masing-masing memiliki stasiun ilmiah di Antartika.) Tiongkok bahkan telah bertindak lebih jauh dengan membangun beberapa stasiun baru di wilayah tersebut dan menambahkan kapal pemecah es baru untuk membantu penelitian kelautan.

Antartika diatur secara internasional melalui Traktat Antartika, yang ditandatangani pada tahun 1959 oleh 12 negara yang ilmuwannya aktif di dalam dan di sekitar wilayah itu pada saat itu, demikian menurut Divisi Antartika Australia Departemen Lingkungan Australia.

Jumlah Pihak penanda tangan Perjanjian itu sekarang mencapai 53 negara. Di antara penanda tangan perjanjian itu ada tujuh negara — Argentina, Australia, Cile, Prancis, Selandia Baru, Norwegia, dan Britania Raya — yang memiliki klaim teritorial yang kadang-kadang tumpang tindih. Negara-negara lain tidak mengakui klaim apa pun.

Australia tetap tertarik dalam melindungi Antartika dan melakukan apa yang bisa dilakukan untuk membantu terciptanya kerja sama di kawasan itu guna mencegah persaingan yang tidak perlu. Pada Februari 2016, Australia menyambut Tiongkok untuk melakukan pembicaraan perdana tentang urusan Antartika dan Samudra Selatan.

“Pertemuan itu mengisyaratkan keinginan kami untuk memperkuat kerja sama di bidang ilmu pengetahuan, operasi, dan peningkatan perlindungan lingkungan Antartika,” ungkap Australia dan Tiongkok dalam pernyataan bersama setelah pertemuan itu. “Kami menyepakati prioritas untuk memandu pekerjaan di masa depan, baik di lapangan di Antartika dan melalui sistem Traktat Antartika.”

Negara-negara itu sepakat untuk menyelenggarakan komite bersama setiap dua tahun. Sementara itu, berikut ini adalah prioritas awal yang disepakati dalam pertemuan perdana:

Memastikan bahwa komite bersama berfungsi sebagai kerangka kerja menyeluruh yang efektif untuk kerja sama Antartika Tiongkok-Australia dan platform untuk melengkapi operasi dan kerja sama ilmu pengetahuan yang kuat.

  • Menyetujui untuk berfokus pada kerja sama ilmiah di masa depan.
  • Mengadakan lokakarya bersama Antartika Timur mengenai ilmu pengetahuan kolaboratif pada tahun 2017.
  • Memajukan diskusi kebijakan tentang peningkatan perlindungan lingkungan dan bidang utama lainnya.
  • Berkomitmen untuk mendukung program Antartika nasional satu sama lain.
  • Membangun pertukaran profesional untuk ilmuwan, pejabat, dan ahli dalam bidang kebijakan, ilmu pengetahuan, dan operasi.

“Tiongkok dan Australia memiliki tradisi kerja sama yang kuat di Antartika yang telah berjalan selama beberapa dekade. Australia membantu memfasilitasi kunjungan pertama Tiongkok ke Antartika timur 30 tahun yang lalu, dan kami terus bekerja sama secara erat, memberikan dukungan kepada program Antartika satu sama lain,” tambah pernyataan bersama mereka. “Australia akan terus bekerja sama secara erat dengan Tiongkok dan negara-negara lain untuk melakukan penelitian ilmu pengetahuan berkelas dunia dan melindungi lingkungan unik Antartika.”

Dampak perubahan iklim terhadap militer

Beberapa negara telah mengidentifikasi perubahan iklim sebagai ancaman terhadap keamanan nasional dan mulai membuat rencana untuk menghadapi kehadirannya. Dewan Iklim Australia menyusun daftar tindakan berikut yang harus dipertimbangkan oleh militer untuk memerangi potensi dampak perubahan iklim.

PERENCANAAN DAN OPERASI MILITER

  • Memasukkan dan mengarusutamakan agenda perubahan iklim ke dalam perencanaan militer strategis nasional.
  • Menunjuk otoritas militer senior sebagai petugas perencanaan perubahan iklim.
  • Memublikasikan strategi adaptasi perubahan iklim.
  • Berpartisipasi dalam kelompok kerja perubahan iklim antarlembaga.
  • Menganalisis dampak perubahan iklim terhadap lokasi pangkalan militer dan kemampuan pangkalan militer.

PELATIHAN DAN PENGUJIAN MILITER

  • Menganalisis risiko perubahan iklim pada pelatihan militer.
  • Menganalisis dampak perubahan iklim terhadap kesiapan setiap Tentara, Pelaut, Penerbang, dan Marinir.
  • Menganalisis perubahan iklim dalam doktrin militer, menentukan bagaimana militer merespons bantuan bencana.
  • Menganalisis dampak kesehatan dari perubahan iklim terhadap pasukan militer dan wilayah operasional.

INFRASTRUKTUR MILITER

  • Mengamanatkan target energi terbarukan untuk pangkalan militer.
  • Melakukan penilaian risiko kenaikan permukaan laut dan genangan di pangkalan militer.
  • Melakukan penilaian risiko terhadap kejadian cuaca ekstrem yang dipengaruhi oleh iklim di pangkalan militer.

AKUISISI DAN RANTAI PASOKAN MILITER

  • Mengamanatkan sasaran efisiensi bahan bakar dan energi dalam pembelian alutsista dan platform militer utama, termasuk penggunaan bahan bakar hayati dan hibrida.
  • Menganalisis risiko perubahan iklim terhadap infrastruktur sipil penting dan tenaga kerja sipil dan dampaknya pada infrastruktur, operasi, dan pelatihan militer.
  • Menerapkan praktik pengadaan berkesinambungan dengan menyertakan armada kendaraan sipil hemat energi, pemanasan dan lampu hemat energi, dan strategi pengurangan limbah.

Tiongkok ingin kapalnya menggunakan rute Arktik yang lebih cepat

Reuters

Surat kabar yang dikelola negara mengumumkan pada April 2016 bahwa Tiongkok menginginkan kapal yang mengibarkan benderanya mengambil rute Lintasan Barat Laut melalui Samudra Arktik, rute yang terbuka akibat pemanasan global, untuk memotong waktu perjalanan antara Samudra Atlantik dan Pasifik.

Tiongkok semakin aktif di wilayah kutub dan menjadi salah satu investor pertambangan terbesar di Greenland dan menyetujui kesepakatan perdagangan bebas dengan Islandia. Rute pengiriman lebih pendek melintasi Samudra Arktik akan menghemat waktu dan uang perusahaan Tiongkok. Misalnya, perjalanan dari Shanghai ke Hamburg melalui rute Arktik 2.800 mil laut lebih pendek daripada perjalanan melalui Terusan Suez.

Selain itu pada April 2016, surat kabar China Daily melaporkan bahwa Administrasi Keselamatan Maritim Tiongkok merilis panduan yang menawarkan pedoman rute rinci dari pantai utara Amerika Utara ke Pasifik utara.

“Begitu rute ini umum digunakan, rute ini akan langsung mengubah transportasi maritim global dan memiliki pengaruh besar pada perdagangan internasional, ekonomi dunia, arus modal, dan eksploitasi sumber daya,” kata juru bicara kementerian Liu Pengfei kepada surat kabar itu.

Liu menambahkan, tanpa memberikan kerangka waktu, bahwa kapal-kapal Tiongkok akan berlayar melalui Lintasan Barat Laut “di masa depan.” Sebagian besar Lintasan Barat Laut terletak di perairan yang diklaim Kanada sebagai perairannya. Ketika ditanya apakah Tiongkok menganggap lintasan itu sebagai jalur perairan internasional atau perairan Kanada, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying mengatakan bahwa Tiongkok mengetahui Kanada menganggap rute itu melintasi perairannya, meskipun beberapa negara percaya rute itu terbuka bagi navigasi internasional.

Di Ottawa, juru bicara Menteri Luar Negeri Stephane Dion mengatakan bahwa tidak ada hak otomatis perlintasan transit di jalur perairan Lintasan Barat Laut.

“Kami menyambut navigasi yang sesuai dengan aturan dan peraturan kami. Kanada memiliki hak tak terbatas untuk mengatur perairan internalnya,” kata Joseph Pickerill.

Ahli maritim mengatakan bahwa perusahaan perkapalan kemungkinan besar akan terhalang oleh sifat tak terduga dari es Arktik, ketiadaan infrastruktur di wilayah tersebut, perairan yang relatif dangkal, kurangnya pemetaan modern, dan meningkatnya biaya asuransi. Wu Yuxiao, pejabat maritim lainnya, mengatakan kepada China Daily bahwa rute ini secara strategis juga penting bagi Tiongkok.

Mencairnya es laut telah mendorong lebih banyak lalu lintas komersial, dan Tiongkok ingin menjadi lebih aktif di Arktik, tempat Tiongkok memiliki kepentingan penting.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button