Modernisasi Maritim

Kekuatan geopolitik mendorong modernisasi militer di seluruh Indo-Asia-Pasifik
Staf FORUM
Di seluruh kawasan Indo-Asia-Pasifik, banyak negara berinvestasi dalam modernisasi angkatan abersenjata mereka — terutama kekuatan maritim mereka. Mereka memutakhirkan alutsista, berinvestasi di bidang teknologi pertahanan mutakhir, dan mengganti pesawat dan kapal yang berusia 30 atau 40 tahun.
Para pemimpin Tiongkok sedang berupaya meningkatkan kemampuan angkatan bersenjata negara mereka yang sangat besar jumlahnya. Mereka mengembangkan pesawat tempur baru dan membenahi struktur komando kuno peninggalan era Perang Dingin. Kapal induk pertama Tiongkok yang dibuat di dalam negeri dengan bobot 50.000 ton sedang dikerjakan.
Jepang sedang menguji pesawat tempur siluman pertamanya sambil membuat drone dan pesawat jet baru dalam usahanya untuk mempertahankan superioritas udara atas Tiongkok. Di laut, armada Jepang sekarang memiliki kapal perang terbesarnya sejak Perang Dunia II.
India sedang memutakhirkan Angkatan Lautnya dengan 40 kapal perang baru, 12 kapal selam tambahan, dan kapal induk pertama yang dirancang dan dibuat oleh India.
Di Korea Selatan, mereka sedang menciptakan Angkatan Laut air biru modern yang mampu memproyeksikan kekuatannya jauh di luar pesisir negara itu.
Di Australia, mereka sedang meluncurkan rencana 20 tahun untuk meningkatkan kekuatan angkatan laut. Ini termasuk kesepakatan senilai 50 miliar dolar Australia (40 miliar dolar A.S.) dengan Prancis untuk membuat armada 12 kapal selam diesel-listrik Barracuda.
Analis pertahanan mengatakan bahwa meningkatnya kekuatan Tiongkok dan provokasi terus menerus Korea Utara adalah beberapa persepsi ancaman yang mendorong tren ini.
Mereka mengatakan bahwa kekuatan militer yang berkembang di kawasan ini pada dasarnya merupakan reaksi terhadap meningkatnya keagresifan Beijing — klaim gigihnya terhadap lebih dari 80 persen wilayah Laut Cina Selatan. Beijing telah mendukung klaim ini dengan mengeruk pasir untuk membangun pulau-pulau yang dilengkapi dengan lapangan udara dan fasilitas militer lainnya. Dorongan kedua di belakang peningkatan kekuatan militer regional adalah ancaman ambisi bom dan rudal nuklir Korea Utara yang dikombinasikan dengan perilaku tak terduga rezimnya, yang khususnya membuat khawatir pemimpin Korea Selatan dan Jepang.
“Keputusan akuisisi senjata di Asia-Pasifik terus didorong oleh banyak alasan strategis dan faktor domestik,” tulis Sheryn Lee dari Pusat Studi Strategis dan Pertahanan Australian National University dalam analisis untuk Lembaga Kebijakan Strategis Australia. “Sengketa maritim antara Tiongkok dan negara-negara tetangganya telah meningkatkan ketegangan dan memengaruhi program modernisasi militer negara-negara itu. Ketegangan ini telah mendorong kebutuhan akan kemampuan pengintaian yang lebih besar dan sistem intelijen sinyal serta lebih banyak wahana tempur permukaan dengan daya tahan lebih lama dan platform yang mampu meluncurkan rudal anti-kapal, kapal selam, dan pesawat terbang jarak jauh.”
MEMPERKUAT PERTAHANAN
Hampir setiap militer besar di Indo-Asia-Pasifik telah mulai meningkatkan persenjataannya.
Thailand telah mengejar mimpi yang sudah lama ditangguhkan untuk membeli kapal selam. Vietnam telah memulai pembangunan militer terbesarnya sejak Perang Vietnam. Indonesia telah mengakuisisi rudal anti-kapal canggih dan mengganti pesawat terbang berusia 30 tahun dengan pesawat jet tempur baru.

Filipina menerbangkan pesawat supersonik pertamanya dalam satu dekade. Di Dhaka, mereka menonaktifkan kapal tua Angkatan Laut Bangladesh dan mengerahkan kapal baru atau kapal yang diperbarui untuk menggantikannya. Taiwan sedang membangun armada kapal selamnya sendiri.
Kecenderungan ini tidak melambat.
Secara gabungan, militer di seluruh Indo-Asia-Pasifik akan membelanjakan sekitar 1,31 kuadriliun rupiah (100 miliar dolar A.S.) lebih banyak per tahunnya pada tahun 2020 daripada yang mereka belanjakan pada tahun 2015, naik dari total 5,71 kuadriliun rupiah (435 miliar dolar A.S.) pada tahun 2015 menjadi diperkirakan mencapai 6,99 kuadriliun rupiah (533 miliar dolar A.S.) pada tahun 2020, demikian menurut analisis anggaran pertahanan tahun fiskal 2016 yang dibuat oleh IHS Jane’s Defense.
Laporan Jane’s mengatakan bahwa negara-negara itu melakukan pembelanjaan strategis untuk memperoleh pengaruh regional yang lebih besar.
Lima negara di kawasan itu muncul pada daftar 15 negara dengan anggaran pertahanan terbesar di dunia untuk tahun 2015 yang diterbitkan oleh IHS Jane’s setelah A.S., yang berada di posisi Nomor 1: Tiongkok menduduki peringkat Nomor 2; India, Nomor 6; Jepang, Nomor 7; Korea Selatan, Nomor 10; dan Australia, Nomor 11. Sementara itu, Rusia menduduki peringkat Nomor 5.
“Meningkatnya ketegangan di Asia-Pasifik telah mengakibatkan proses modernisasi militer yang lama tertunda berubah menjadi agenda politik utama di sejumlah negara,” kata Craig Caffrey, analis utama di IHS Jane’s, dalam laporan itu. “Filipina, Indonesia, Jepang, dan Vietnam semuanya mengikuti jejak Tiongkok, dan kita tidak melihat tanda-tanda tren ini akan segera berakhir.”
MENGGABUNGKAN KEKUATAN
Pada saat yang sama, meningkatnya volatilitas di Indo-Asia-Pasifik memacu hubungan pertahanan yang lebih dekat antara jaringan negara-negara utama, demikian menurut banyak pejabat di kawasan itu.
Misalnya, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyatakan pandangan ini dalam pidato pada Maret 2016 di Tokyo. Menunjuk pada ketegangan di Laut Cina Selatan dan “tindakan destabilisasi serampangan” seperti uji coba nuklir Korea Utara baru-baru ini, Bishop mengatakan bahwa gejolak politik di kawasan itu mengarah pada kerja sama yang lebih strategis antara Tokyo dan Canberra, demikian menurut laporan Reuters. “Australia akan terpapar pada gejolak global dan regional, tetapi itu berarti hubungan kami dengan mitra tepercaya seperti Jepang menjadi jauh lebih penting,” kata Julie Bishop.
Sementara itu, Amerika Serikat berusaha mendorong kerja sama yang lebih erat di antara sekutu dan mitra Indo-Asia-Pasifiknya. Washington mendorong mereka untuk memikul peran keamanan yang lebih besar ketika kebangkitan Tiongkok mengubah keseimbangan kekuasaan, demikian menurut analis di kawasan itu. Dinamika ini bertindak sebagai katalis lain bagi modernisasi angkatan bersenjata negara-negara ini.
“Pemerintah [A.S.] telah berfokus pada upaya strategis untuk menyeimbangkan tindakan Tiongkok dengan meningkatkan kehadiran militer Amerika di garis depan, memperkuat kemampuan mitra dan sekutunya, dan memperdalam kemitraan keamanan di seluruh kawasan itu,” tulis Ashley Townshend, peneliti di Pusat Kerja Sama dan Tata Kelola Asia-Pasifik di Fudan University, Shanghai, dalam laporan pada April 2016 untuk Institut Kebijakan Internasional Lowy yang berbasis di Australia.

Hasilnya: Kemitraan strategis menguat ketika negara-negara itu menggabungkan kekuatan untuk menjaga stabilitas di kawasan itu.
Contoh utama adalah Filipina, yang telah menerima bantuan dari mitra seperti Australia, Israel, Jepang, Korea Selatan, dan A.S. untuk memutakhirkan Angkatan Bersenjatanya, demikian menurut laporan media dan pernyataan resmi.
Jepang meningkatkan koordinasi militernya dengan Filipina dan Vietnam selain terlibat dalam dialog trilateral berkesinambungan dengan India dan Australia untuk memajukan keamanan maritim, demikian menurut analisis pada Maret 2016 di surat kabar South China Morning Post yang berbasis di Hong Kong.
India dan A.S. mengumumkan pada April 2016 bahwa mereka hampir berhasil mencapai kesepakatan logistik pertahanan, demikian menurut The Associated Press, dan kedua negara berencana untuk bekerja sama dalam pembuatan kapal induk India di masa mendatang.
Para pejabat Australia mendorong untuk meningkatkan hubungan pertahanan dengan Vietnam, Filipina, dan Singapura, demikian menurut pemberitaan di media Australia.
Di seluruh kawasan, sebagian besar pemutakhiran militer difokuskan pada kekuatan maritim.
“Angkatan laut regional juga melakukan modernisasi — terutama sekali dengan membeli kapal selam,” catat majalah The Economist. “Selain pembelian [enam kapal selam] oleh Vietnam, India telah memesan enam kapal selam dari Prancis, dan Pakistan telah membeli delapan kapal selam dari Tiongkok, yang juga menyediakan dua kapal selam untuk Bangladesh. Jerman akan mengirimkan dua kapal selam ke Singapura dan lima kapal selam ke Korea Selatan, yang telah menjual tiga kapal selam buatannya sendiri ke Indonesia. Australia akan membeli antara delapan hingga 12 kapal selam.”
Berikut ini adalah tinjauan tentang bagaimana negara-negara Indo-Asia-Pasifik meningkatkan angkatan bersenjata mereka:
Tiongkok
Militer terbesar di dunia ini sedang melakukan modernisasi menyeluruh terhadap pasukannya, meskipun analis mengatakan Tiongkok masih perlu menempuh jalan yang panjang untuk mengimbangi kemampuan A.S., yang memiliki militer paling kuat di dunia. Meskipun pasukan darat jumlahnya hampir tiga-perempat dari jumlah kekuatan pasukan Tiongkok, negara ini mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk angkatan laut dan angkatan udaranya.
Tiongkok yang bermaksud menegaskan klaim maritimnya terus menambah armadanya dengan kapal fregat, kapal perusak, dan kapal selam nuklir baru, demikian menurut media dan laporan pemerintah.
Tambahan yang paling menonjol: Liaoning, kapal induk bekas era-Soviet yang dibangun kembali oleh Tiongkok dan dioperasikan pada tahun 2012. Pada awal tahun 2016, Tiongkok menegaskan bahwa pihaknya sedang membuat kapal induk lainnya yang dikembangkan secara sepenuhnya dengan teknologinya sendiri. Laporan Pentagon pada tahun 2015 mengatakan bahwa Tiongkok bisa membuat beberapa kapal induk dalam 15 tahun mendatang.
Di langit, pesawat tempur Tiongkok masih tertinggal dari pesawat A.S. dan sekutu dekatnya, tetapi Beijing terus mengembangkan pesawat jet tempur modern dan siluman, demikian ungkap ahli militer. Tiongkok berjuang untuk menguasai mesin pesawat terbang canggih yang akan memungkinkan pesawatnya mengimbangi pesawat tempur Barat dalam pertempuran, demikian ungkap sumber industri asing dan Tiongkok kepada Reuters pada Januari 2016.
Selain rudal nuklirnya, Tiongkok terus menambah persediaan 1.200 rudal balistik berhulu ledak konvensionalnya, bersama dengan rangkaian rudal permukaan-ke-udara dan rudal anti-kapal, demikian ungkap analis pertahanan.
“Militer Tiongkok mengirimkan sinyal yang kuat bahwa pihaknya bersiap-siap untuk bersaing dengan A.S. sebagai negara adidaya global, terlibat dalam upaya reformasi multisisi untuk memodernisasi dan memprofesionalkan militernya,” tulis Yvonne Chiu, guru besar muda di University of Hong Kong yang mempelajari secara khusus militer Tiongkok, dalam laporan CNN pada Maret 2016.
India
Kapal induk aktif tertua di dunia, INS Viraat buatan Inggris, akhirnya akan dinonaktifkan dari Angkatan Laut India dan diubah menjadi objek wisata, demikian menurut surat kabar The Times of India. Kapal induk India lainnya adalah INS Vikramaditya buatan Rusia, kapal induk kelas Kiev yang dioperasikan Angkatan Laut India pada tahun 2013 setelah dimodifikasi untuk mendukung apa yang disebut operasi short take-off but arrested recovery (STOBAR) sayap tetap. Sekarang India sedang merancang kapal induk pertama yang diproduksi di dalam negeri, INS Vikrant, yang direncanakan selesai pada tahun 2018 atau 2019. New Delhi sedang berupaya mendapatkan bantuan A.S. untuk memperoleh teknologi peluncuran elektromagnetik canggih, yang bisa meluncurkan pesawat yang lebih berat, demikian yang dikatakan Laksamana John Richardson, Kepala Operasi Angkatan Laut A.S., kepada Reuters pada Februari 2016. Itu akan menjadi kolaborasi militer paling signifikan kedua negara hingga saat ini.
Angkatan Laut India khawatir dengan keberadaan angkatan laut Tiongkok di Samudra Hindia dan upaya Tiongkok untuk membangun infrastruktur pelabuhan di negara-negara mulai dari Pakistan hingga Jibuti, demikian yang dilaporkan Reuters pada Februari 2016. Oleh karena itu, Angkatan Laut India memiliki rencana untuk membeli selusin kapal selam baru dan 40 kapal perang tambahan. Kapal selam bertenaga nuklir pertama India yang diproduksi di dalam negeri, INS Arihant, siap untuk beroperasi, demikian menurut laporan berita pada April 2016.
Reuters melaporkan pada Februari 2016 bahwa Angkatan Udara India berupaya untuk menggantikan skuadron pesawat tempur era Soviet yang sudah menua dan sedang melakukan negosiasi untuk membeli puluhan pesawat tempur modern dari Prancis. New Delhi berharap untuk mengisi sebagian besar armada Angkatan Udaranya dengan pesawat jet tempur produksi dalam negeri yang sudah lama ditunggu-tunggu.
Jepang
Untuk memperkuat pertahanan pulau-pulau selatannya, pusat sengketa wilayah dengan Tiongkok, Jepang menyusun anggaran militer yang memecahkan rekor tertinggi untuk tahun 2016. Anggaran tahun 2016-nya meliputi pembuatan kapal selam, pengembangan sonar, dan kapal perusak canggih yang dilengkapi radar Aegis dengan kemampuan pertahanan rudal. Pembelian alutsistanya di masa mendatang meliputi tiga drone pengintaian Global Hawk buatan A.S. dan 42 pesawat jet tempur Lockheed Martin F-35 Joint Strike, demikian menurut The Associated Press dan Reuters.
Pejabat pertahanan mengumumkan secara terbuka pada awal tahun 2016 bahwa Jepang sedang menguji prototipe pesawat tempur siluman pertamanya yang diproduksi di dalam negeri. The Associated Press melaporkan bahwa pesawat yang disebut F-3 itu menguji teknologi siluman buatan Jepang yang dapat digunakan dalam desain pesawat jet tempur generasi mendatang yang suatu hari nanti bisa menggantikan armada pesawat tempur F-2 Jepang.
Sedangkan untuk Pasukan Bela Diri Maritim Jepang, alutsista baru Angkatan Lautnya adalah kapal induk helikopter Izumo yang panjangnya 248 meter. Kapal induk Izumo yang dioperasikan pada tahun 2015 itu merupakan kapal perang terbesar Jepang sejak Perang Dunia II.
Australia
Perdana Menteri Malcolm Turnbull mengatakan kepada para tentara Angkatan Bersenjata di Canberra pada Februari 2016 bahwa Australia akan meningkatkan anggaran pertahanannya hingga mencapai 283,5 triliun rupiah (21,6 miliar dolar A.S.) selama dekade mendatang dengan membeli kapal fregat baru, pengangkut personel lapis baja, pesawat jet tempur pemukul, drone, dan kapal selam, demikian yang dilaporkan Reuters.
Pemerintahannya membuat dokumen strategis, Buku Putih Pertahanan, yang mengatakan bahwa penguatan militer diperlukan untuk menjaga perdamaian di kawasan ini. Buku putih itu menyatakan bahwa Australia “sangat prihatin dengan kecepatan dan skala kegiatan reklamasi lahan Tiongkok yang belum pernah terjadi sebelumnya” di Laut Cina Selatan, demikian menurut The Associated Press.
Buku putih itu “menetapkan rencana paling ambisius untuk meregenerasi Angkatan Laut Australia sejak Perang Dunia Kedua,” tulis Marise Payne, menteri pertahanan, dalam kata pengantar untuk laporan itu. Buku putih itu “menegaskan kembali komitmen Pemerintah terhadap industri galangan kapal angkatan laut Australia yang kuat, kompetitif secara internasional, dan berkelanjutan. Kunci keberhasilan penyampaian dan keberlanjutan peningkatan kemampuan pertahanan kami adalah tingkat kolaborasi baru dengan industri pertahanan Australia dan organisasi penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi.” Buku putih itu menyatakan bahwa pemerintah akan menginvestasikan 16,3 triliun rupiah (1,24 miliar dolar A.S.) selama dekade mendatang untuk meningkatkan daya saing dan mempromosikan inovasi.
Agence France-Presse melaporkan bahwa rencana berkesinambungan untuk membuat kapal baru itu akan mendukung program “Fregat Di Masa Depan” Pasukan Pertahanan Australia dengan menambahkan sembilan kapal fregat dan 12 kapal patroli. Laksamana Madya Angkatan Laut Australia Tim Barrett mengatakan bahwa kapal fregat baru akan menjadi kekuatan utama Angkatan Laut selama beberapa dekade mendatang. Buku putih itu menyatakan bahwa Australia akan menambah 12 kapal selam baru yang “superior di kawasan ini.”
Australia juga akan membeli pesawat terbang (drone) tak berawak pertamanya guna mengasah kemampuannya untuk melindungi kedaulatan maritim, demikian menurut buku putih itu.
Korea Selatan
Rencana Reformasi Pertahanan Angkatan Laut Republik Korea 2020 mengubah fokus proyek pengadaan Angkatan Laut Republik Korea (ROKN) untuk mencapai status dan prestise angkatan laut air biru. ROKN akan berusaha mendapatkan kemampuan ekspedisi, beroperasi di perairan dalam di lautan terbuka, daripada berkonsentrasi pada peran tradisionalnya untuk mengamankan pesisir Korea Selatan dari penyusupan yang dilakukan oleh pasukan militer Korea Utara atau kapal nelayan asing.
Kantor Berita Korea Selatan Yonhap melaporkan bahwa sejak tahun 2013 Angkatan Laut telah mengerahkan armada baru kapal fregat kelas Incheon berbobot 2.500 ton dan memensiunkan kapal fregat kelas Ulsan berbobot 1.500 ton yang dibuat pada tahun 1980-an. Pada tahun 2020, sekitar 20 kapal fregat baru akan diluncurkan. “Sementara itu, penambahan kemampuan Aegis ke kapal tempur permukaan akan meningkatkan peran kapal tersebut secara substansial, baik di laut maupun dalam melindungi wilayah pesisir Korea Selatan terhadap pesawat terbang dan rudal balistik medan perang (TBM). Pasukan Angkatan Laut dan Marinir akan mendapatkan lebih banyak helikopter, dan elemen manuver Marinir akan memperoleh peningkatan jumlah kendaraan lapis baja, artileri jarak lebih jauh (peluncur roket ganda), dan kemampuan wahana udara tanpa awak (UAV) untuk pengintaian jarak yang cukup jauh (sekitar 80 km),” demikian menurut analisis RAND Corp. pada tahun 2006 mengenai rencana reformasi pertahanan Korea.
“Industrialisasi pascaperang Korea Selatan telah memungkinkannya untuk menjalankan proyek pembuatan kapal besar secara berturut-turut,” demikian yang dijelaskan situs web U.S. Naval Institute News. “Ekonomi Korea Selatan bergantung pada jalur laut yang aman dan karenanya, Angkatan Laut Korea Selatan sedang membangun kapal besar berteknologi tinggi untuk menciptakan angkatan laut lintas samudra.”
Mingi Hyun, peneliti di Korea Institute for Maritime Strategy, menulis dalam majalah online The Diplomat bahwa Korea Selatan “telah diperkuat dengan berbagai jenis kapal yang berpotensi memiliki jangkauan global — armada regional yang hanya bisa dilampaui ukurannya oleh Jepang, Tiongkok, dan India. Dari segi kualitas kapal diakui bahwa kapal Korea Selatan setara dengan ketiga negara itu.”
Dalam menanggapi uji coba bom nuklir Korea Utara pada Januari 2016 dan upaya berkelanjutannya untuk meluncurkan rudal balistik, A.S. dan Korea Selatan telah membahas pengiriman senjata A.S. yang lebih strategis ke Semenanjung Korea, demikian lapor Reuters.
Pada April 2016, Yonhap melaporkan bahwa Korea Selatan mengumumkan pihaknya mengerahkan lebih banyak sistem rudal permukaan-ke-udara barunya KM-SAM (Iron Hawk II) guna menggantikan 24 baterai Hawk lama yang telah digunakan Korea Selatan selama beberapa dekade. Unit KM-SAM merupakan peningkatan signifikan karena mudah dipindah-pindahkan, dengan peluncur yang dibawa pada truk.
Indonesia
Presiden Indonesia Joko Widodo berjanji untuk mengganti semua pesawat militer lama setelah pesawat kargo C-130 Hercules Angkatan Udara Indonesia pada Juni 2015 jatuh di lingkungan perumahan di pulau Sumatera, yang menewaskan sekitar 140 orang. Pesawat itu sudah digunakan hampir sejak 50 tahun yang lalu, demikian menurut majalah berita online The Diplomat.
Kecelakaan itu mendorong munculnya seruan modernisasi pesawat militer yang sangat dibutuhkan demi keselamatan. Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu menegaskan pada Juli 2015 bahwa negara itu akan menonaktifkan semua pesawat militer yang berusia lebih dari 30 tahun, demikian menurut The Diplomat.
Pemeriksaan terhadap pesawat terbang dan sistem persenjataan militer Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari setengah alutsista Angkatan Bersenjata telah digunakan selama lebih dari tiga dekade, demikian menurut surat kabar The Jakarta Post. Akan tetapi, kekurangan pendanaan memperlambat laju modernisasi senjata.
Pada awal tahun 2016, Indonesia menegaskan niatnya untuk membeli delapan hingga 10 pesawat jet tempur Su-35 Rusia, demikian menurut Pravda dan Bloomberg News. Ahli militer independen Alexander Yermakov mengatakan kepada situs web berita Rusia defendingrussia.com bahwa pesawat tempur berat Rusia ini cocok untuk geografi Indonesia. Dia mengatakan Su-35s, yang memiliki jarak jangkauan minimal 4.500 kilometer, berguna di negara yang memiliki jaringan lapangan udara terbatas di 13.000 pulau yang membentang sepanjang 5.000 kilometer.
Di bawah kepemimpinan pendahulu Joko Widodo, Indonesia telah menetapkan langkah untuk memodernisasi Angkatan Lautnya. Bloomberg.com melaporkan bahwa pada tahun 2009, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerapkan rencana Minimum Essential Force yang bertujuan untuk merombak Angkatan Bersenjata pada tahun 2024, termasuk mengembangkan Angkatan Laut hingga memiliki armada 274 kapal dengan menyertakan lebih banyak kapal selam dan korvet. Ketika Joko Widodo menjabat, armada Indonesia memiliki sekitar 213 kapal, termasuk lebih dari 70 kapal tempur pesisir dan kapal patroli, demikian menurut laporan pada Desember 2015 yang dipublikasikan dalam buletin online mingguan World Politics Review. Sekitar setengah dari armada ini tidak siap tempur. Indonesia berencana menambah lebih banyak kapal perang modern jika pendanaan memungkinkan, termasuk dua kapal fregat berpeluru kendali SIGMA 10514 dengan panjang 105 meter yang dibuat bersama dengan produsen kapal Belanda DSNS dan tiga kapal selam serbu diesel-listrik Kelas Chang Bogo yang akan diproduksi bersama dengan Korea Selatan, demikian ungkap Ridzwan Rahmat, wartawan senior majalah IHS Jane’s Navy International di Singapura, kepada Bloomberg.com.
Thailand
Pemimpin militer Thailand telah berupaya untuk membeli dua atau tiga kapal selam, yang akan memberi Thailand alutsista yang belum dimilikinya selama lebih dari 60 tahun, demikian menurut surat kabar The Bangkok Post. Para pejabat mengatakan bahwa kapal selam itu akan membantu Thailand mempertahankan kebebasan navigasi di Teluk Thailand, yang bisa terganggu jika sengketa teritorial di Laut Cina Selatan menyebar ke sana, demikian tulis The Diplomat.
Kemampuan Angkatan Udara Thailand telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini dengan penambahan 12 pesawat tempur Saab Gripen JAS 39C/D dan dua pesawat terbang Saab S100B Argus Airborne Early Warning yang dilengkapi dengan radar canggih, demikian menurut majalah Asian Military Review.
Pada tahun 2015, para pejabat mengonfirmasi pembentukan unit perang dunia maya yang dipimpin oleh militer yang dimaksudkan untuk melawan semakin banyaknya ancaman dunia maya, demikian menurut Agence France-Presse.
Filipina
Sejak tahun 2010, Filipina telah menyelesaikan 55 proyek pemutakhiran militer senilai 11,71 miliar peso (250 juta dolar A.S.), demikian menurut publikasi online diplomat.com. Program modernisasi militer negara itu sebagian dimotivasi oleh bentrokan yang terus terjadi dengan Tiongkok di Laut Cina Selatan. “Kami harus melindungi apa yang jelas-jelas berada dalam yurisdiksi teritorial kami. Tentu saja, kami setidaknya harus dapat memantau perkembangan di daerah itu secara efektif, khususnya di zona sengketa,” kata Florencio Abad, mantan menteri Departemen Anggaran dan Manajemen Filipina, kepada Agence France-Presse.
Pada tahun 2015, Brigadir Jenderal Angkatan Udara Filipina Guillermo Molina mengatakan pada sidang panel pertahanan nasional bahwa Filipina tidak memiliki pesawat tempur atau pesawat pengintai untuk mendeteksi intrusi di dalam perbatasan maritim yang luas, demikian menurut Reuters. Dia mengatakan bahwa Angkatan Laut Filipina memiliki dua kapal patroli cepat peninggalan Pasukan Penjaga Pantai A.S., tiga korvet peninggalan Angkatan Laut Kerajaan Inggris, dan kapal patroli kuno peninggalan Perang Vietnam dan Perang Dunia II. Di udara, Filipina memiliki helikopter, pesawat jet latih, dan pesawat transportasi.
Untuk memodernisasi militernya, Filipina telah mendapatkan bantuan dari Australia, Israel, Jepang, Korea Selatan, dan A.S.

Pada tahun 2015, Filipina membeli 12 pesawat jet tempur FA-50 buatan Korea — pesawat tempur supersonik pertama negara itu dalam satu dekade. Pesawat itu akan dikirimkan secara bertahap hingga 2017. “Kami senang kami akhirnya kembali ke zaman supersonik,” kata Menteri Pertahanan Voltaire Gazmin kepada The Associated Press.
Pada November 2015, A.S. menyumbangkan satu lagi kapal patroli cepat Penjaga Pantai untuk “patroli berdaya tahan panjang,” demikian menurut surat kabar The Sydney Morning Herald. A.S. juga memberikan 114 kendaraan lapis baja untuk membantu pasukan Filipina memerangi gerilyawan.
Mantan Presiden Filipina Benigno Aquino III mengumumkan pada Maret 2016 bahwa negaranya menyewa pesawat terbang militer Jepang untuk melakukan patroli di wilayah yang diklaim Filipina di Laut Cina Selatan, demikian menurut Channel NewsAsia.
Pesawat patroli udara Angkatan Laut Filipina yang dimiliki sebelumnya hanya bisa terbang dalam jarak yang relatif pendek, demikian tulis surat kabar Jepang Yomiuri Shimbun. Sebaliknya, pesawat TC-90 Jepang menawarkan jarak jangkauan dua kali lebih jauh dan dapat terbang di atas sebagian besar Kepulauan Spratly yang disengketakan, demikian kata surat kabar itu.
Program National Coast Watch Center (Pusat Pengawasan Pantai Nasional) merupakan kemampuan baru lainnya. Sistem pengintaian ini dirancang untuk memantau lalu lintas samudra di Laut Cina Selatan, demikian menurut USNInews.org, situs web Institut Angkatan Laut A.S., dan “besar kemungkinan program itu didasarkan pada keberhasilan program Coast Watch South yang dilaksanakan sebelumnya” Pada intinya, situs itu menjelaskan, “Filipina menciptakan jaringan stasiun pemantauan yang menggabungkan radar, pengintaian maritim, dan jaringan radio/data yang menyediakan gambaran strategis dan taktis waktu-nyata lalu lintas samudra di Filipina Selatan — yang disebut Segitiga Laut Sulawesi.” Daerah itu mengalami banyak aktivitas perdagangan ilegal dan gerakan pengacau keamanan transnasional. “Ketika selesai pada tahun 2015, rangkaian Pengawasan Pantai yang menghadap ke barat akan memantau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina yang berjarak 200 mil laut dari gugusan Kepulauan Spratly yang diperebutkan. Di masa depan, rangkaian pemantauan tambahan juga akan mencakup wilayah negara itu yang menghadap Utara dan Timur,” tulis USNInews.org pada Februari 2015.
Vietnam
Vietnam telah mengubah strategi militernya untuk memosisikan pasukan pada “kesiapan tempur tinggi” — postur yang sesuai untuk mempertahankan diri terhadap serangan mendadak dari Tiongkok. Pengembangan kekuatan persenjataan Hanoi, digambarkan sebagai yang terbesar sejak puncak Perang Vietnam, mencakup pembelian alutsista utama untuk Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Darat Vietnam.
Perkembangan yang paling signifikan adalah akuisisi enam kapal selam kelas Kilo canggih dari Rusia sehingga menciptakan upaya penangkalan yang lebih kuat di laut, demikian lapor Reuters pada Desember 2015. Vietnam telah melakukan pembicaraan dengan produsen senjata di Eropa dan A.S untuk membeli pesawat tempur, pesawat patroli maritim, dan drone pengintai. Vietnam telah meningkatkan pertahanan udara dengan radar pengintaian peringatan dini dan baterai rudal permukaan-ke-udara.
Reuters melaporkan bahwa Vietnam juga telah meningkatkan pertahanan pantainya dengan baterai artileri anti-kapal dan sistem K-300P Bastion mobile, yang dilengkapi rudal jelajah Ornyx, yang juga dapat diluncurkan dari kapal, pesawat terbang, dan kapal selam.
Saat ini, peningkatan kemampuan Vietnam akan membuat Tiongkok menghadapi rintangan untuk mengoperasikan Angkatan Lautnya dalam jarak 200 hingga 300 mil laut dari pantai Vietnam, demikian ungkap pakar keamanan luar negeri kepada Reuters. Mereka menambahkan bahwa hal ini tidak sama seperti 10 tahun yang lalu.
“Mereka tidak melakukan ini untuk parade hari nasional … mereka sedang membangun kemampuan militer yang nyata,” kata Tim Huxley, ahli keamanan regional di International Institute of Strategic Studies di Singapura, kepada Reuters.
Taiwan
Mulai tahun 2016, Taiwan telah menganggarkan 1,2 triliun rupiah (91 juta dolar A.S.) selama empat tahun untuk tahap desain dari upaya selama puluhan tahun untuk membangun armada kapal selamnya sendiri. Taiwan memiliki empat kapal selam yang sudah menua — dua di antaranya berasal dari Perang Dunia II — meskipun Angkatan Bersenjatanya dianggap modern, demikian yang dilaporkan Reuters.
Pada Desember 2015, A.S. mengumumkan penjualan persenjataan senilai 23,6 triliun rupiah (1,8 miliar dolar A.S.) ke Taiwan, termasuk dua kapal fregat berpeluru kendali, rudal anti-tank TOW, kendaraan serbu amfibi, dan rudal permukaan-ke-udara Stinger, demikian menurut The Associated Press dan Reuters.
Penjualan persenjataan besar pertama Amerika Serikat ke pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu dalam empat tahun terakhir ini memicu amarah Tiongkok. Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan bahwa persenjataan baru itu akan memungkinkan negara itu untuk menjaga pertahanan yang kredibel.
KESIMPULAN
The Economist mencatat pada Februari 2016 bahwa Indo-Asia-Pasifik sekarang menyumbang hampir setengah pasar global untuk persenjataan berat — hampir dua kali lipat dari daerah Timur Tengah yang dilanda perang. Stockholm International Peace Research Institute melaporkan bahwa India, Tiongkok, Australia, Pakistan, Vietnam, dan Korea Selatan merupakan enam dari 10 importir terbesar persenjataan tersebut.
Namun, mungkin fitur yang paling menonjol tentang pengembangan kekuatan militer yang sedang berlangsung adalah bahwa hal itu terjadi di tengah-tengah kondisi kawasan yang relatif damai. Kawasan itu belum mengalami perang skala penuh antarnegara sejak Tiongkok menginvasi Vietnam pada tahun 1979 — hampir empat dekade lalu.
“Selama puluhan tahun Asia telah mengalami perdamaian yang lebih besar untuk jangka waktu lebih lama dari yang diharapkan banyak orang,” tulis Dr. Van Jackson, guru besar madya di College of Security Studies, Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies, dalam esai untuk majalah The National Interest. “’Perdamaian Asia’ bisa terjadi karena perhatian terhadap geopolitik di seluruh kawasan itu. Sumber tradisional konflik di antara negara-negara, seperti perlombaan persenjataan atau spiral konflik, telah dihindari melalui kombinasi diplomasi regional, pencegahan, dan komitmen keamanan A.S. — belum lagi keinginan umum di kalangan masyarakat sipil Asia untuk menghindari perang.”
Para ahli percaya bahwa modernisasi angkatan bersenjata yang sedang berlangsung di seluruh Indo-Asia-Pasifik dapat berkontribusi untuk menjaga stabilitas regional asalkan negara-negara ini terus menjangkau dan memperkuat hubungan keamanan dan pertahanan mereka.