Tajuk Utama

Respons Bencana di Nepal

Kontribusi PACOM A.S. terhadap Upaya Bantuan pada gempa bumi tahun 2015

Justin Pummell

Udara terasa segar ketika para warga bangun untuk melakukan rutinitas pagi mereka. Gema gonggongan anjing di malam hari digantikan oleh menggelegarnya suara klakson dan lengkingan ban minibus. Burung gagak melompat dengan penuh curiga dari pohon ke pohon, sementara itu kera-kera bergelayutan di sepanjang kabel listrik yang terpantul-pantul. Sekolah libur, dan banyak anak-anak membanjiri halaman dan taman untuk bermain. Kafe-kafe penuh sesak dan teh susu dinikmati di sela-sela dengung pembicaraan yang tenang. Saat matahari perlahan beranjak dari puncak pohon ke atas kepala, hari itu tampak indah — Sabtu pagi yang khas di Kathmandu — ketika tiba-tiba, geraman rendah bergemuruh dari bawah tanah, mengguncang tanah, menyebabkan keributan yang tak terduga.

Sementara itu, di Bandara Internasional Tribhuvan (TIA), orang-orang memadati terminal domestik dan internasional untuk berangkat ke berbagai tujuan. Paparazzi baru saja menyelesaikan penerbangan pagi mereka ke Gunung Everest. Mayoritas staf senior TIA berada di rumah menikmati istirahat mereka di hari Sabtu, menenangkan diri dari frustrasi dan kesulitan yang umum dijumpai saat mengelola satu-satunya bandara internasional di Nepal. Guncangan tanah secara tiba-tiba itu membuat suara jeritan terdengar hingga ke terminal dan gerbang keberangkatan. Kepanikan mencekik Lembah Kathmandu.

Tentara Nepal menggendong seorang anak korban gempa bumi yang terluka dari helikopter UH-1Y Venom Pasukan Marinir A.S. ke daerah triase medis di Bandara Internasional Tribhuvan di Kathmandu, Nepal, pada Mei 2015. REUTERS
Tentara Nepal menggendong seorang anak korban gempa bumi yang terluka dari helikopter UH-1Y Venom Pasukan Marinir A.S. ke daerah triase medis di Bandara Internasional Tribhuvan di Kathmandu, Nepal, pada Mei 2015. REUTERS

Banyak penduduk setempat tidak pernah mengalami gempa bumi, meskipun kejadian ini merupakan sesuatu yang telah mereka antisipasi selama bertahun-tahun. Pada 25 April 2015, kejadian itu menjadi kenyataan, ketika gempa bumi berkekuatan 7,8 skala Richter mengoyak Nepal, menewaskan hampir 9.000 orang dan melukai lebih dari 22.000 orang. Itu adalah gempa bumi terbesar yang dialami Nepal sejak tahun 1934, dengan pusat gempa awal di wilayah Gorkha.

RESPONS CEPAT 

Dalam beberapa jam setelah terjadinya bencana, pemerintah Nepal mengadakan pertemuan Komite Bantuan Bencana Alam Pusat, dan perdana menteri mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan internasional. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat, langsung bertindak.

Pemerintah A.S. segera mengeluarkan deklarasi bencana bagi Nepal. Dalam beberapa jam setelah terjadinya gempa, Kantor Bantuan Bencana Asing A.S. di Lembaga Pembangunan Internasional A.S. (U.S. Agency for International Development’s Office of U.S. Foreign Disaster Assistance – USAID/OFDA) telah mengaktifkan tim manajemen respons di Washington, D.C., dan mengerahkan Tim Respons Bantuan Bencana (Disaster Assistance Response Team – DART) — termasuk spesialis pencarian dan penyelamatan perkotaan — untuk mendukung upaya respons darurat di Nepal.

Setelah melakukan penilaian awal, USAID/OFDA menetapkan bahwa bantuan militer unik, seperti angkutan udara sayap putar, akan diperlukan untuk mendukung respons tersebut, dan menyampaikan permintaan resmi untuk mendapatkan bantuan dari Departemen Pertahanan A.S. Permintaan ini disetujui oleh menteri luar negeri dan menteri pertahanan A.S., dan dikirim ke Komando Pasukan Amerika Serikat di Pasifik (USPACOM) untuk dipenuhi.

USPACOM kemudian memerintahkan Pasukan Ekspedisi Marinir III untuk membentuk Tim Survei Bantuan Kemanusiaan Gabungan (Joint Humanitarian Assistance Survey Team – JHAST) untuk berangkat ke Nepal. Dengan menggunakan konsep rencana operasi (CONPLAN) Satuan Tugas Gabungan-505 (JTF-505), JHAST mendukung otoritas sipil, seperti USAID/OFDA, dan menambah jumlah personel dari 23 orang JHAST menjadi lebih dari 290 anggota unit garis depan gabungan.

“JTF-505 membawa berbagai kemampuan unik untuk memberikan respons bencana/bantuan kemanusiaan kepada pemerintah Nepal,” kata Brigjen Jeffrey Milhorn, panglima Divisi Samudra Pasifik Korps Zeni Angkatan Darat A.S. yang ditunjuk sebagai wakil komandan JTF-505. “Aset penerbangan digunakan untuk melakukan penilaian daerah, memindahkan pasokan bantuan kemanusiaan, mengangkut personel, dan mengangkut aset yang penting bagi misi itu. Selain itu, Grup Respons Kontinjensi (Contingency Response Group – CRG) ke-36 membantu meningkatkan kemampuan mitra penerbangan sipil negara tuan rumah untuk menurunkan muatan berbagai bantuan yang dikirimkan oleh beberapa organisasi ke Bandara Internasional Tribhuvan.”

Upaya JTF-505 dilakukan secara bersama-sama dengan respons internasional dan sipil berskala besar yang sudah berjalan dengan baik.

JHAST awal meliputi Marinir, Penerbang, Tentara, personel sipil Korps Zeni Angkatan Darat A.S. (U.S. Army Corps of Engineers – USACE). Tim ini melakukan perjalanan dari Okinawa, Jepang dan mendarat di Nepal pada 29 April 2015, tak lama setelah tim USAID DART tiba.

“Kami menurunkan perbekalan di sebelah landasan keluar masuk (taxiway) utama karena kesembilan area tunggu pesawat yang ada sudah penuh dengan pesawat lain,” kata Sersan Kepala Drew Kimmey, Bintara Urusan Sipil, Angkatan Darat A.S. di Pasifik (USARPAC). “Situasi itu tidak mengejutkan saya. Kami [JHAST] sudah tahu bahwa TIA akan menjadi tempat yang sangat sibuk. Bandara ini sangat vital bagi Nepal. Saya merasa lega bahwa landasan pacu tidak mengalami kerusakan signifikan.”

Kimmey memiliki alasan untuk percaya bahwa lapangan udara itu mungkin mengalami kerusakan. Pada tahun 2011, atas nama USPACOM, USACE dan Otoritas Penerbangan Sipil Nepal melakukan evaluasi seismik terhadap infrastruktur penting lapangan terbang, termasuk penyelidikan geofisika tanah dan penyusunan peta potensi likuifaksi permukaan. Alat perencanaan ini dirancang untuk gempa bumi berkekuatan 9,0 skala Richter dan menunjukkan bahwa seluruh landasan pacu TIA mungkin tidak dapat dipakai. Hal ini juga memastikan diperlukannya pendekatan dua rencana untuk operabilitas TIA di JTF-505 CONPLAN, demikian menurut Letkol Vincent Koopmann, penulis utama CONPLAN.

Korban gempa bumi yang berhasil menyelamatkan diri berjalan di sepanjang jalan di sebelah rumah yang roboh di Sankhu, di pinggiran Kathmandu, Nepal, pada Mei 2015. REUTERS
Korban gempa bumi yang berhasil menyelamatkan diri berjalan di sepanjang jalan di sebelah rumah yang roboh di Sankhu, di pinggiran Kathmandu, Nepal, pada Mei 2015. REUTERS

ALAT PERENCANAAN

CONPLAN menyertakan satu rencana utama dan satu rencana cabang berdasarkan tingkat kerusakan dan aksesibilitas ke Nepal. CONPLAN juga menyertakan kolaborasi dengan kementerian pemerintah Nepal, Angkatan Darat Nepal, USAID/OFDA, Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, Program Pangan Dunia (WFP), dan lain-lain.

Rencana utama didasarkan pada asumsi bahwa lapangan udara regional Nepal dan Bandara Internasional Tribhuvan akan mengalami kerusakan terbatas dengan berkurangnya area parkir pesawat. Dalam rencana utama, komando, kontrol, perlengkapan, dan peralatan harus segera dikerahkan ke Nepal melalui udara, serta jaringan kereta api dan jalan jika bisa dipakai.

Rencana cabang didasarkan pada kerusakan parah yang membuat TIA dan infrastruktur fisik utama tidak dapat beroperasi sehingga memaksa komando, kontrol, perlengkapan, dan peralatan JTF-505 ditempatkan di luar Nepal. Dalam rencana cabang, komando, kontrol, perlengkapan, dan peralatan dibayangkan akan ditempatkan di pangkalan persiapan transisi potensial di India dan Camp Red Horse, Pangkalan Angkatan Laut Kerajaan Thailand-Utapao, Thailand.

Keesokan harinya, JHAST berkoordinasi dengan USAID/OFDA, menghubungi Pusat Koordinasi Militer Multi-Nasional (Multi-National Military Coordination Centre – MNMCC) yang dipimpin oleh Angkatan Darat Nepal dan melakukan kontak dengan perwakilan di TIA. Begitu tiba di bandara, tim itu duduk bersama dengan staf TIA dan menanyakan perkembangan upaya respons. Rencana Respons Bencana TIA yang dikembangkan pada tahun 2013 sebagai bagian dari program kerja sama keamanan USPACOM sudah digunakan.

“Berkat USPACOM, USACE, Administrasi Penerbangan Federal (Federal Aviation Administration), dan University of British Columbia, kami sudah memiliki rencana yang dapat kami gunakan,” kata Deo Chandra Lal Karna dari Otoritas Penerbangan Sipil Nepal. “Kami juga menguji rencana itu pada tahun 2014 dengan melakukan latihan internasional melalui dukungan USPACOM, USARPAC, dan USACE. Secara khusus, peta penggunaan lahan operasi darurat berperan sebagai panduan utama untuk memastikan ruang lapangan terbang dimaksimalkan, organisasi dipertahankan, dan semua orang memiliki gambaran yang sama untuk memahami tujuan operasional yang diinginkan TIA.”

Otoritas TIA kemudian memperbaiki peta ini selama respons untuk mencerminkan penggunaan yang paling tepat dari bandar udara itu secara lebih akurat.

MANAJEMEN RUANG

Agar JTF-505 memenuhi penugasan misinya dari USAID, ruang operasional di TIA, atau lapangan udara terpencil lain, memegang peran penting.

“Angkatan Udara India sudah beroperasi dari Pokhara,” kata Letnan Kolonel Rod Legowski, perwira operasional, Brigade Ekspedisi Marinir ke-3. “JTF-505 harus memutuskan apakah pihaknya juga akan beroperasi dari lapangan udara terpencil di Nepal atau mencoba membuat ruang di TIA. Kami mengetahui hal ini melalui perencanaan respons potensial.”

Mengingat kerja sama yang luas dan hubungan yang berkelanjutan dengan staf TIA, JHAST mengembangkan rencana dan mengusulkannya kepada otoritas TIA. Rencana tersebut meliputi penggunaan dua area tunggu pesawat sayap tetap di TIA, serta sebagian landasan keluar masuk (taxiway) untuk memarkir helikopter.

Setelah melakukan koordinasi dan negosiasi, usulan itu diterima, dan JTF-505 memiliki ruang operasi untuk mendukung warga Nepal dan USAID.

“Karena peningkatan kebutuhan dan keterbatasan kapasitas ruang di TIA, dengan cepat terlihat jelas oleh komunitas bantuan kemanusiaan bahwa manajemen ruang di bandara akan menjadi faktor penting dalam respons yang diberikan,” kata Scott Aronson, penasihat bantuan kemanusiaan USAID/OFDA. “Khususnya, pertimbangan ini berdampak langsung pada respons USAID/OFDA, dan dukungan yang disediakan oleh JTF-505. Salah satu aspek paling penting dari operasi ini adalah membangun kepercayaan dengan otoritas bandara Nepal bahwa kami akan menggunakan ruang yang diberikan kepada kami dengan tepat, bekerja sesuai dengan pedoman yang mereka berikan, dan menunjukkan efisiensi penggunaan tempat yang disediakan. Hal ini tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya hubungan kuat yang telah terjalin dengan para pejabat TIA sebelum terjadinya gempa bumi, yang terbukti sangat berharga dalam mencoba mengatasi masalah ruang.”

Situasi yang dijelaskan di atas mungkin memberikan hasil yang berbeda jika program pengembangan kemampuan dan bantuan kemanusiaan USPACOM dilakukan secara kurang aktif dengan mitra TIA. Sejak tahun 2012, dana bantuan kemanusiaan USPACOM memungkinkan dilakukannya 34 keterlibatan — menghabiskan dana lebih dari 106,33 miliar rupiah (7,83 juta dolar A.S.) — untuk membangun ketahanan dan kesiapsiagaan bencana gempa bumi di Nepal. Kegiatan itu berkisar dari pengembangan Rencana Respons Bencana, penggalian sumur pipa dalam, hingga pembangunan stasiun baru untuk penyelamatan kebakaran akibat kecelakaan.

“Dengan berfokus pada TIA, USPACOM telah melakukan upaya bersama untuk mengembangkan kemampuan Nepal guna mempersiapkan diri dan mengatasi bencana gempa bumi berskala besar … dan kami akan melanjutkan upaya ini dalam beberapa tahun mendatang,” kata Tiger Hession, manajer Bantuan Kemanusiaan, Bencana, dan Komunitas Luar Negeri USPACOM.

KERJA SAMA INTERNASIONAL  

Selama respons tersebut, JTF-505 bekerja sama dengan Deutsche Post Logistik Group, Nepal Airlines, Angkatan Darat Nepal, WFP, dan pihak lain untuk mengelola penanganan material dan kargo di TIA. “Begitu kami mendapatkan akses ke landasan pacu melalui dukungan dari otoritas bandara Nepal dan militer Nepal, kami bisa bergerak ke banyak tempat untuk mendukung operasi kemanusiaan,” kata Nate Nathanson, spesialis Operasi Sipil-Militer di WFP. “Kami memiliki empat truk mini bak terbuka untuk mendukung pemindahan pasokan dari daerah persiapan TIA ke daerah persiapan bantuan kemanusiaan. Kami tidak memiliki peralatan penanganan material (material handling equipment – MHE) organik, karena kurangnya pasokan platform ini di Kathmandu. Jaring, peralatan kargo, MHE disewa oleh Kantor Migrasi Internasional, dan MHE juga disumbangkan oleh Departemen Pembangunan Internasional (Department for International Development – DFID) Britania Raya.”

Tim gabungan itu memegang komando, menilai, dan mempersiapkan pangkalan untuk operasi bandar udara komersial dan ekspedisi. Akibat gempa, bandar udara itu mengalami periode gangguan operasional terbatas. Tim itu mendukung logistik, termasuk bongkar/muat pesawat, pemindahan palet pesawat dan penyimpanan pasokan bantuan, dan inventaris lapangan, serta memastikan pasokan yang masuk diterima oleh organisasi bantuan yang tepat. Kerja sama di antara berbagai organisasi memungkinkan pemindahan kargo dari landasan pacu ke daerah persiapan bantuan kemanusiaan dan seterusnya, hingga diterima pihak yang membutuhkan. Hal yang juga penting dalam operasi tersebut adalah koordinasi yang erat agar material diambil di landasan pacu oleh instansi lain guna mendukung upaya itu.

“JTF-505 segera berintegrasi dengan Angkatan Darat Nepal, Nepal Airlines, Program Pangan Dunia (WFP), dan entitas komersial untuk mengoordinasikan dan merampingkan proses logistik TIA di antara semua pihak, serta untuk mengoptimalkan penggunaan empat forklift [4.500 kilogram] dan loader [11.300 kilogram] yang dikerahkan CRG ke-36,” kata Letnan Kolonel Glenn Rineheart, komandan Skuadron Respons Mobilitas ke-36 Angkatan Udara A.S. “Personel CRG ketiga puluh enam pada akhirnya akan berkolaborasi dengan militer dari tujuh negara dan berbagai operator komersial untuk memindahkan [23.500 metrik ton] bantuan dari 108 pesawat, serta membantu WFP untuk mendistribusikan bantuan yang jumlahnya setara dengan 360 truk ke 13 distrik di Nepal dan 2,8 juta korban gempa bumi.”

Pada 11 Mei 2015, JTF-505 telah menyelesaikan sebagian besar tugas matriks penugasan misinya (mission tasking matrix – MITAM). Diantisipasi bahwa kemampuan unik militer A.S. mulai memudar, dan USAID akan segera menentukan bahwa sudah waktunya bagi JTF-505 untuk pulang. Akan tetapi, semua ini berubah pada 12 Mei 2015, ketika gempa bumi berkekuatan 7,3 skala Richter melanda timur laut Lembah Kathmandu.

Di TIA, personel JTF-505 mendukung prosedur evakuasi terminal, inspeksi landasan pacu dan infrastruktur, dan pendirian rumah sakit lapangan sementara untuk menerima personel yang terluka yang dibawa dari daerah pedesaan. Personel JTF-505 menerima korban luka melalui helikopter, menstabilkan mereka di tenda-tenda lapangan yang didirikan di landasan pacu, dan kemudian memuat mereka untuk diangkut ke rumah sakit setempat. Personel JTF-505 juga bekerja sama dengan otoritas TIA dan Angkatan Darat Nepal setelah helikopter UH-1Y hilang.

“Kenangan terhadap mereka yang tewas pada 12 Mei tidak akan pernah terlupakan,” kata Milhorn. “Tindakan tanpa pamrih mereka merupakan ciri khas teladan aksi kemanusiaan.”

KEMAMPUAN UNIK

Gempa bumi pada 12 Mei 2015 itu memperpanjang kebutuhan akan kemampuan militer yang unik dan mengakibatkan banyak tugas MITAM baru. JTF-505 terutama mengantarkan bantuan ke lokasi di distrik Sindhupalchowk, Ramechhap, Dolakha, Kavre, dan Okhaldhunga, tetapi juga bertugas di banyak daerah lainnya.

Biasanya personel JTF-505 akan menerima tugas dari USAID, dan kemudian bekerja sama dengan Angkatan Darat Nepal untuk mengidentifikasi zona pendaratan yang tepat untuk mengantarkan bantuan tersebut. Tugas ini membutuhkan koordinasi yang luas melalui MNMCC.

“Pusat Operasi Darurat Nasional akan memberikan permintaan [agar materi bantuan diterbangkan] 48 jam sebelumnya kepada MNMCC,” kata Kolonel Naresh Subba, koordinator MNMCC di Angkatan Darat Nepal. “Perwakilan MNMCC kemudian akan merencanakan matriks penugasan misi dengan JTF-505, dan rencana operasi penerbangan akan disiapkan. Sesuai rencana operasi penerbangan, Pusat Operasi Udara di Pangkalan Udara Tengah (Mid Air Base) akan berkoordinasi dengan unit Angkatan Darat Nepal setempat [tempat pesawat itu dijadwalkan mendarat] untuk mempersiapkan tempat pendaratan dan memberikan pengamanan yang diperlukan.”

Pada 23 Mei 2015, JTF-505 secara resmi meninggalkan Nepal, dengan WFP mengisi peran logistik angkutan udara, Nepal Airlines dan Angkatan Darat Nepal mengisi peran peralatan penanganan materi, dan mitra internasional dan lembaga swadaya masyarakat USAID mengisi peran penyampaian bantuan. Secara total, JTF-505 menyelesaikan 25 MITAM, mengantarkan 113,8 short ton bantuan ke desa-desa terpencil, mengangkut 550 penumpang (termasuk 63 evakuasi korban), dan memasok logistik lapangan udara pengganti sementara yang mendukung 108 pesawat terbang dan lebih dari 23.500 metrik ton bantuan kemanusiaan.


Respons gempa bumi Nepal menunjukkan beberapa pelajaran utama yang dipelajari yang harus dipertahankan di masa mendatang

HUBUNGAN YANG ADA SANGAT PENTING.  

Jika orang di seberang sana tidak memercayai Anda, maka misi itu berisiko mengalami kegagalan. Luangkan waktu untuk membina hubungan yang positif dan abadi. Kegiatan kerja sama keamanan adalah cara yang tepat untuk menjalin hubungan ini. Kesinambungan karyawan sipil juga membantu dalam menjaga kelangsungan hubungan. Peran Korps Zeni Angkatan Darat A.S. pada satuan tugas gabungan adalah contoh yang baik.

Personel Angkatan Darat Nepal membongkar bantuan kemanusiaan di bandara Kathmandu pada April 2015. AFP/GETTY IMAGES
Personel Angkatan Darat Nepal membongkar bantuan kemanusiaan di bandara Kathmandu pada April 2015.
AFP/GETTY IMAGES

KERJA SAMA SIPIL-MILITER SANGATLAH PENTING.

Latihan pembuatan rencana dan prosedur secara teratur membantu warga sipil dan personel militer lebih memahami kemampuan masing-masing sehingga mereka dapat menggunakannya jika diperlukan. Hal ini terjadi antara Kantor Bantuan Bencana Asing A.S. di Lembaga Pembangunan Internasional A.S., Satuan Tugas Gabungan-505 (JTF-505), Bandara Internasional Tribhuvan (TIA), Program Pangan Dunia (WFP), Deutche Post Logistics, dan banyak mitra internasional dan non-pemerintah lainnya. Latihan sebelumnya, seperti Latihan dan Pertukaran Respons Bencana Angkatan Darat A.S. di Pasifik mengembangkan kerja sama sipil-militer dan harus dilanjutkan

KERJA SAMA KEAMANAN MENDORONG RESPONS YANG EFEKTIF.

Situasi di Nepal mungkin akan sangat berbeda jika keterlibatan pengembangan kemampuan dan bantuan kemanusiaan reguler tidak dilaksanakan. Misalnya, jika TIA tidak memiliki Rencana Respons Bencana, operasi dan manajemen lapangan udara bisa melambat dengan cepat bahkan bisa jadi berhenti. Jika latihan bantuan bencana/bantuan kemanusiaan tidak dilakukan secara teratur, konsep Pusat Koordinasi Militer Multi-Nasional mungkin tidak diketahui atau tidak dipraktikkan dengan baik. Latihan tersebut memberikan jalan untuk memperkenalkan personel pada prosedur standar dan untuk memperbaiki rancangan konsep yang mungkin telah gagal.

DIPERLUKAN RENCANA SATUAN TUGAS GABUNGAN.

Konsep operasi JTF-505 sangat berperan dalam membimbing respons efektif Departemen Pertahanan A.S. Tanpa rencana ini, pendekatan ad-hoc mungkin dapat digunakan akan tetapi memperlambat upaya respons militer A.S. Konsep rencana operasi harus ditetapkan untuk skenario bantuan bencana/bantuan kemanusiaan berskala besar lainnya di kawasan Indo-Asia-Pasifik.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button