Menjelajahi Media Sosial
Pemimpin pertahanan berusaha melatih pasukan tentang penggunaan aplikasi online secara bertanggung jawab
Aplikasi olahpesan seluler WeChat sangat populer di Tiongkok. Pada awalnya, tampaknya tidak berbahaya ketika istri- istri perwira brigade Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army – PLA) membentuk grup obrolan pada aplikasi itu untuk membahas cara terbaik mengurus suami mereka.
Akan tetapi, para istri terkadang membahas topik sensitif seperti operasi dan jadwal latihan brigade itu, demikian yang dilaporkan People’s Liberation Army Daily, surat kabar resmi Angkatan Bersenjata Tiongkok, pada April 2015.
Orang tak dikenal ditemukan menyelidiki informasi tentang brigade itu melalui grup obrolan sehingga mendorong komandan unit menyiapkan kuliah tentang kerahasiaan militer bagi anggota keluarga, demikian tulis surat kabar South China Morning Post yang berbasis di Hong Kong mengutip laporan PLA Daily.
Penggunaan media sosial mengalami pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indo-Asia-Pasifik, tempat lebih dari satu miliar manusia terhubung ke Internet. Setidaknya tiga dari lima konsumen di wilayah tersebut berinteraksi dengan media sosial melalui ponsel mereka — lebih banyak dari kawasan lainnya di dunia, demikian menurut peneliti online Nielsen.
Semakin banyak orang yang terhubung ke media sosial sebagai bagian dari struktur kehidupan mereka. Ratusan ribu dari mereka adalah pasukan militer — Tentara, Pelaut, Penerbang, Marinir.
Pejabat militer di seluruh Indo-Asia-Pasifik dan seluruh dunia berusaha keras untuk menemukan cara melatih Tentara, personel, dan anggota keluarga mereka tentang penggunaan media sosial secara bertanggung jawab untuk menghindari pengungkapan informasi sensitif secara tidak disengaja. Beberapa militer menggunakan alat ini untuk meningkatkan komunikasi internal dan semangat, sementara yang lain mengambil pendekatan yang lebih hati-hati untuk beradaptasi dengan aplikasi media sosial. Sedangkan militer lain, termasuk PLA, sama sekali melarang penggunaannya.
“Kami mengandalkan media sosial, tetapi media sosial bisa sangat berbahaya jika Anda tidak hati-hati,” demikian peringatan pada U.S. Army Social Media Handbook edisi 2015. Diterbitkan setiap tahun sejak 2010, tindakan pencegahan pada buku pegangan itu diadopsi oleh militer di banyak negara lainnya.
“Karena penggunaan media sosial sangat lumrah dalam interaksi kita sehari-hari, mudah untuk menjadi lengah,” demikian peringatan pada buku pegangan itu. “Membagikan informasi yang tampaknya sepele di ranah online dapat membahayakan orang yang kita cintai dan rekan sesama Prajurit — dan mungkin dapat membuat mereka terbunuh. … Musuh menjelajahi blog, forum, ruang obrolan, dan situs web pribadi untuk mengumpulkan informasi.”
Untuk menghindari potensi perangkap media sosial, militer Indo-Asia-Pasifik sedang berupaya untuk membuat praktik terbaik:
Filipina: Pada Juli 2014, Angkatan Bersenjata negara ini mengadakan KTT media sosial pertama mereka untuk menerbitkan aturan dasar bagi pasukan, setelah peluncuran Philippine Army Social Media Handbook, demikian menurut Rappler, situs web berita yang berbasis di Filipina.
Banyak tindakan pencegahan dalam buku pegangan itu serupa dengan tindakan pencegahan yang dinyatakan militer lainnya: Jangan memposting penugasan personel lapangan. Hati-hati saat menerima permintaan pertemanan di media sosial. Hanya memposting konten yang disetujui sebelumnya sebagai konten yang dapat dilihat oleh publik. Jangan menegur bawahan di media sosial.
“Media sosial merupakan suatu kenyataan,” kata Jenderal Filipina Emmanuel Bautista kepada jurnalis, demikian menurut Rappler. “Kami membutuhkan keseimbangan antara transparansi dan penggunaan media sosial dengan syarat memegang kerahasiaan informasi yang akan membahayakan pelaksanaan misi kami.”
India: Pada Desember 2015, Angkatan Darat India mengeluarkan daftar 10 poin “hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan” mengenai media sosial untuk tentara dan keluarga mereka, demikian yang dilaporkan situs web India TV News. Hal ini termasuk teguran seperti: Jangan memposting foto dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan pangkalan dan persenjataan. Jangan menerima permintaan pertemanan dari orang yang tidak dikenal. Jangan mengungkapkan pangkat, batalion, atau tempat penugasan Anda.
Angkatan Darat India mengambil langkah ini setelah lembaga spionase Pakistan menerapkan strategi “jebakan madu” dengan mempersiapkan wanita berpenampilan menarik di media sosial untuk menggoda personel pertahanan India agar membagikan informasi sensitif, demikian yang dilaporkan India TV News.
Indonesia: Pada Februari 2015, Angkatan Udara Indonesia mengeluarkan perintah yang mengingatkan personelnya akan bahaya penggunaan platform media sosial. Perintah ini melarang mereka memposting komentar di media sosial tentang kegiatan militer serta isu-isu sosial, politik, ekonomi, dan budaya, demikian menurut surat kabar The Jakarta Post.
Akan tetapi, juru bicara Angkatan Udara Hadi Tjahjanto mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa perintah itu bukan merupakan larangan langsung pada personel militer untuk menggunakan media sosial: “Ini sebenarnya bukan larangan, tetapi mereka harus tahu dengan lebih baik apa yang tepat untuk dikatakan dan apa yang tidak tepat untuk dikatakan,” katanya.
TIONGKOK MERUPAKAN PENGECUALIAN
Pejabat pertahanan dan keamanan di seluruh dunia semakin menerima media sosial sebagai alat bantu — dan bahkan mendorong unit militer dan setiap Prajurit untuk menggunakannya secara konstruktif dan proaktif. Banyak penyelenggara mengadakan konferensi dunia tentang bagaimana militer dapat memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan pesan positif dan menangkal informasi palsu.
Akan tetapi di Tiongkok, PLA telah melawan tren ini. Kekuatan militer terbesar di dunia itu melarang lebih dari 2 juta tentaranya untuk menggunakan media sosial.
PLA pertama kali mengumumkan larangan ini pada tahun 2010. “Tetapi ketika melihat tanda-tanda bahwa larangan itu tampaknya diabaikan di negara tempat media sosial sangat populer, petinggi militer telah mengambil langkah untuk menekankan kembali pembatasan itu dan memperingatkan ‘perjuangan kelam’ di Internet,” ungkap Agence France-Presse (AFP) pada tahun 2011.
Media pemerintah mengatakan bahwa larangan itu dimaksudkan untuk “menjaga rahasia militer, kemurnian, dan solidaritas” PLA, demikian menurut AFP. PLA Daily memperingatkan tentara yang memposting rincian seperti alamat, tugas atau informasi kontak mereka bisa berisiko mengungkapkan lokasi pangkalan militer. Pemasangan foto diri mereka sendiri bisa membocorkan informasi sensitif tentang kemampuan atau alutsista militer, demikian tambah surat kabar itu.
Pada Mei 2015, Tiongkok memperingatkan pensiunan perwira militernya untuk berhati-hati ketika menggunakan jejaring sosial. Beberapa dari mereka telah membuat grup obrolan di WeChat, tempat beberapa perwira yang masih aktif bergabung dalam diskusi, demikian ungkap South China Morning Post mengutip laporan PLA Daily. Menurut South China Morning Post, PLA menginstruksikan agar “Perwira dan prajurit militer harus berhati-hati … untuk mencegah agar beberapa orang dengan motif tersembunyi menjebak staf militer dan memperoleh informasi rahasia.”
Juga pada Mei 2015, Tiongkok melarang tentaranya memakai “teknologi yang dapat dikenakan di tubuh yang terhubung ke Internet,” demikian yang dilaporkan BBC, menambahkan bahwa masalah keamanan itu diangkat “setelah satu rekrutan menerima jam tangan cerdas sebagai hadiah ulang tahun.”
BAHAYA GEOTAGGING
Sejumlah jejaring media sosial menawarkan fitur yang semakin populer: pilihan untuk melampirkan data geografi pada materi yang diposting pengguna secara online.
Bagi Prajurit, ini bisa menjadi masalah. U.S. Army Social Media Handbook mencantumkan kalimat berikut ini tentang hal itu:
“Geotagging adalah proses penambahan identifikasi geografis pada foto, video, situs web, dan pesan SMS. Hal ini setara dengan menambahkan koordinat grid 10 digit untuk segala sesuatu yang diposting di Internet. Beberapa ponsel cerdas dan kamera digital secara otomatis menanamkan geotag ke dalam gambar, dan banyak orang secara tidak sadar mengunggah foto yang berisi informasi lokasi ke Internet.”
Meningkatnya popularitas fitur ini menciptakan kekhawatiran operasional dan keamanan yang serius bagi unit militer, demikian tambah buku pegangan itu.
“Seorang Prajurit yang memaparkan lokasinya dapat memengaruhi seluruh misi,” tulisnya, memperingatkan bahwa Prajurit harus menghindari penggunaan situs jejaring sosial berbasis lokasi. “Layanan ini akan membawa musuh tepat di depan pintu Angkatan Darat.”
Ini merupakan contoh lain bagaimana teknologi yang berkembang pesat saat ini membawa perubahan cepat dalam masyarakat dan menciptakan tantangan baru dan tak terduga bagi pejabat pertahanan dan keamanan. Media sosial memang tidak bisa dihindari. Itulah sebabnya pemimpin militer di seluruh dunia mengambil langkah proaktif untuk memastikan bahwa Prajurit, personel, dan keluarga mereka menggunakannya secara bertanggung jawab.
Kiat Media Sosial bagi Pasukan
- Jangan mengungkapkan informasi jadwal dan lokasi acara.
- Matikan fungsi GPS pada ponsel cerdas untuk menghindari geotagging.
- Atur pilihan pengaturan privasi ke “teman saja.”
- Tinjau foto dan video sebelum mempostingnya secara online untuk memastikan bahwa informasi sensitif tidak terungkap.
- Pastikan keluarga dan teman-teman memahami jenis informasi yang seharusnya diposting di jejaring sosial.
- Jangan membicarakan hal negatif tentang atasan.
- Khususnya bagi pemimpin, perilaku saat online harus profesional. Jika Anda tidak akan mengatakannya di depan pasukan, jangan mengatakannya secara online.
- Pemimpin harus mengomunikasikan pedoman media sosial kepada Prajurit mereka.
- Pantau kehadiran media sosial Anda untuk memastikan bahwa pengguna lain tidak memposting informasi sensitif tentang kehadiran online Anda.
- Tidak patut untuk menggunakan pangkat, pekerjaan, atau tanggung jawab untuk mempromosikan diri Anda secara online demi keuntungan pribadi atau keuangan.
Sumber: U.S. Army Social Media Handbook