Tajuk Utama

Memperkuat Jaringan

Program Sovereign Challenge mempromosikan keamanan dengan membangun hubungan internasional

Jenderal Joseph Votel, dikonfirmasi sebagai komandan Komando Pusat A.S. pada Maret 2016. Dia sebelumnya menjabat sebagai komandan
Jenderal Joseph Votel, dikonfirmasi sebagai komandan Komando Pusat A.S. pada Maret 2016. Dia sebelumnya menjabat sebagai komandan

Memelihara kedaulatan negara merdeka dan melindungi masyarakat dari ancaman yang diakibatkan oleh ekstremis kekerasan terhadap keamanan dan stabilitas bukan tujuan yang mudah dicapai. Sasaran mulia ini tidak hanya membutuhkan upaya dari seluruh kalangan pemerintah tetapi juga komitmen internasional untuk menyelaraskan upaya dan membangun hubungan yang akan meningkatkan upaya masing-masing negara dalam meraih perdamaian dan kemakmuran.

Ketika saluran berita global menyorot kekejaman teroris dan tentakel pengaruh dan kekerasan mereka di seluruh dunia, hal yang tidak selalu menjadi berita utama adalah upaya gigih dan terus-menerus untuk melindungi kedaulatan negara dan mengembalikan stabilitas di daerah rawan konflik di dunia. Pejabat militer, pemimpin pemerintah, dan ahli lainnya terus bekerja untuk melawan dan mengalahkan teroris. Selagi serangan udara dan operasi militer lainnya adalah salah satu unsur perjuangan tersebut, kemitraan global dan dialog internasional membantu memberantas ekstremisme kekerasan secara tuntas.

“Jaringan kami kuat dan berkembang,” kata Jenderal Joseph Votel, ketika dia menjadi komandan Komando Operasi Khusus A.S. (USSOCOM). Dia telah dinominasikan untuk menjadi komandan Komando Pusat A.S. (CENTCOM). “Dan melalui jaringan kami, kami akan mengalahkan aliran transnasional yang mengancam tidak hanya keamanan berdaulat kami sendiri, tetapi juga keamanan global secara keseluruhan.”

Salah satu prakarsa tersebut adalah program Sovereign Challenge yang dibuat pada tahun 2004 oleh USSOCOM. Program ini berfungsi sebagai platform untuk membangun jaringan, serta cara bagi perwakilan dari negara-negara mitra untuk menelaah ancaman ekstremis dan mengembangkan hubungan dan pemahaman bersama tentang tantangan internasional dalam memelihara kedaulatan dan keamanan di seluruh dunia.

“Ini adalah program yang benar-benar unik — tidak ada program lain seperti ini,” kata Votel.

Setiap tahun, Sovereign Challenge mengumpulkan pejabat pemerintah dan militer, seperti atase pertahanan yang ditugaskan di Amerika Serikat dan para profesional pasukan operasi khusus. Dalam beberapa tahun terakhir, pakar akademik, industri, dan keamanan lainnya juga bergabung dengan konferensi Sovereign Challenge, seminar dan acara lainnya tempat isu-isu seperti keamanan, ekstremisme, integritas teritorial, jaringan keuangan teroris, stabilitas/konflik internal, dan kejahatan transnasional dibahas.

“Program Sovereign Challenge adalah salah satu alat yang membantu komando dalam melihat masalah secara berbeda. Hal itu membuat USSOCOM lebih cerdik secara budaya dan menyatukan orang-orang, kemampuan, dan ide-ide untuk membantu mengatasi beberapa masalah internasional kita yang paling mendesak,” kata Manajer Program Sovereign Challenge Larry Cook.

Pada September 2015, para pejabat bertemu untuk menghadiri lokakarya di Washington, D.C., mengenai topik Menantang Ekstremisme: Melibatkan Generasi Penerus. Salah satu tema yang dibahas adalah peran media sosial dalam perjuangan saat ini melawan kelompok teroris Negara Islam Irak dan Levant (ISIL).

Peserta Menantang Ekstremisme: Melibatkan Generasi Penerus, di Washington, D.C., pada September 2015 SOVEREIGN CHALLENGE
Peserta Menantang Ekstremisme: Melibatkan Generasi Penerus, di Washington, D.C., pada September 2015 SOVEREIGN CHALLENGE

Tingkat dialog strategis di acara Sovereign Challenge telah menarik partisipasi tingkat tinggi dari seluruh dunia. Pertemuan pada April 2015 mengumpulkan lebih dari 200 peserta dari 81 negara, termasuk negara-negara Indo-Asia-Pasifik seperti Australia, Bangladesh, Laos, Mongolia, Nepal, Filipina, dan Thailand.

Dalam konferensi itu, Paduka Yang Mulia Mayjen Putri Aisha binti Al Hussein, atase pertahanan Yordania untuk Amerika Serikat saat itu, berbicara tentang perjuangan negaranya untuk mengalahkan terorisme. Yordania yang berbatasan dengan Suriah dan Irak telah terganggu oleh konflik di negara tetangga.

“Yordania tidak asing dengan kekacauan yang mengelilinginya,” kata Mayjen Aisha. “Sepuluh tahun yang lalu, kami meratapi kematian tidak berperikemanusiaan dari sejumlah warga Yordania di tangan teroris yang masuk ke dalam hotel dan acara pernikahan lalu meledakkan diri mereka. Beberapa bulan lalu, kami berduka cita atas gugurnya pilot kami Muath Kasasbeh — semoga Tuhan menerima di sisi-Nya — yang dibunuh secara biadab oleh preman ISIL sehingga mendorong kami untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam perang melawan ekstremisme. Respons Yordania cepat dan kuat. Kami telah menghancurkan berbagai target mulai dari gudang persenjataan dan amunisi hingga kamp pelatihan. Dan momentum itu terus berlanjut.”

Dia menjelaskan bahwa perjuangan melawan ISIL merupakan kekhawatiran global mengingat perang ideologi jangka panjang yang telah menyebar di seluruh Timur Tengah dan ke Afrika, Asia dan wilayah lainnya di dunia. Dia juga mendesak negara-negara untuk mengatasi penderitaan umat Muslim terpinggirkan yang hanya memiliki sedikit harapan untuk masa depan yang makmur dan damai sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh ideologi ekstremis.

“Jelas terlihat bahwa kita harus membasmi rasa putus asa dan mengatasi isu-isu pembangunan dan kemiskinan, yang muncul di berbagai penjuru dunia dan di setiap agama,” katanya. “Timur Tengah khususnya menghadapi tantangan yang luar biasa, dengan kaum muda yang mencapai hingga 70 persen populasi di wilayah ini. Negara yang gagal atau sedang mengalami kegagalan merupakan daerah operasi ideal bagi kelompok ini untuk didatangi, tumbuh, dan berkembang biak. Kita harus mengatasi tempat-tempat semacam itu hari ini dan bukannya esok.”

Banyak diskusi konferensi itu berpusat pada jenis tantangan bersama yang tidak dapat secara efektif ditangani oleh satu negara.

“Hari ini kita menyaksikan jenis ancaman transnasional baru yang mengancam kedaulatan kita masing-masing — aliran orang, informasi, dan pendanaan yang bergerak tanpa hambatan melintasi batas nasional dalam mendukung ancaman non-negara,” kata Votel dalam pidato di depan peserta. “Ide, komunikasi, dan propaganda perekrutan mengalir di dunia maya dan semakin memotivasi individu radikal; beberapa bermigrasi untuk menjadi pejuang, dan yang lainnya memungkinkan mereka untuk melaksanakannya.”

Peserta Aliran Transnasional dalam Masa yang Penuh Gejolak di New York City pada April 2015 SOVEREIGN CHALLENGE
Peserta Aliran Transnasional dalam Masa yang Penuh Gejolak di New York City pada April 2015 SOVEREIGN CHALLENGE

Meskipun kekuatan militer — terutama pasukan operasi khusus — merupakan bagian integral untuk menetralisasi ancaman ini, Votel menjelaskan bahwa hal itu bukanlah solusi jangka panjang. “Meskipun kita memainkan peran penting, kita hanyalah satu instrumen kekuatan nasional. Tantangan yang kompleks seperti yang kita hadapi saat ini membutuhkan penerapan berbagai pilihan strategis — diplomatik, informasi, ekonomi, maupun militer secara hati-hati dan terkoordinasi. Dan kunci untuk mengoordinasikan upaya tersebut dengan sukses terletak pada hubungan antara berbagai instrumen dan mitra dalam melaksanakan setiap fungsi,” kata Votel.

Isabel De Sola, direktur madya (associate director) bidang geopolitik dan keamanan internasional di Forum Ekonomi Dunia, menyampaikan sentimen yang sama. Dalam konferensi tersebut, dia menjelaskan bagaimana bisnis memiliki kepentingan dan peran dalam mengalahkan ekstremisme kekerasan. Pada dasarnya: Konflik buruk bagi bisnis. Dengan menawarkan pekerjaan yang layak dan menawarkan serta mendukung kesempatan pendidikan dan bimbingan, bisnis dapat memiliki dampak yang berharga pada penguatan masyarakat.

“Perusahaan dapat membantu dalam, mempromosikan dan memperluas narasi kontraterorisme pada mereka yang dipekerjakan oleh organisasi ekstremis kekerasan,” kata De Sola. Misalnya, bisnis di industri media dan hiburan menjangkau populasi yang rentan dan teroris itu sendiri, menjadikan pesan dan isinya sebagai sarana penting untuk menyebarkan informasi.

Dalam seminar Sovereign Challenge di Washington pada September 2015, jurnalis dan analis keamanan CNN Peter Bergen menambahkan pemikirannya tentang peran yang semakin penting dari media dalam meliput konflik.

“Perang Vietnam adalah perang pertama yang disiarkan oleh televisi; Perang Teluk adalah perang pertama yang disiarkan saluran berita kabel yang tersedia setiap saat; dan apa yang terjadi di Suriah adalah [di antara] perang pertama yang disiarkan di media sosial,” kata Bergen. Dia menjelaskan bahwa ISIL menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda dan menjangkau calon rekrutan muda.

Mengkaji ancaman yang ditimbulkan oleh kelompok teroris seperti ISIL, Al-Qaeda, dan Boko Haram dari berbagai sudut sangat penting untuk mengembangkan strategi yang dapat mengalahkan organisasi ini di semua lini — ideologis, keuangan, dan operasional. Jaringan orang-orang dan organisasi yang mendukung Sovereign Challenge membantu mencapai sasaran ini.

“Melalui jaringan ini kita mampu membawa kekuatan dan kemampuan individu untuk mengatasi tantangan transnasional bersama ini,” kata Votel. “Dengan meningkatkan transparansi, komunikasi, dan kolaborasi dengan mitra kita, kita memaksimalkan efektivitas tindakan kolektif kita.”


KONFERENSI SOVEREIGN SEBELUMNYA

  • Aliran Transnasional dalam Masa yang Penuh Gejolak, April 2015
  • Ketahanan Kedaulatan: Era Kemunculan Ancaman, April 2014
  • Tantangan Regional terhadap Keamanan Global: Budaya, Konflik, Kontribusi, Juni 2013
  • Lintas Batas: Memperdagangkan Kepercayaan dan Keamanan Transnasional, November 2012
  • Media Sosial: Keunggulan, Kekuatan, dan Potensi, Juni 2012
  • Perang Saudara: Ketahanan, Rekonsiliasi & Rekonstruksi, Desember 2011

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button