Manipulator Ulung
Beberapa negara menggunakan kontrol informasi untuk membatasi pengaruh dari luar dan sering kali menampilkan citra yang terdistorsi dari apa yang terjadi di dalam negara mereka
Staf FORUM
Banyak negara telah lama mengakui bahwa perbatasan yang paling rapuh adalah perbatasan virtual, bukan perbatasan dengan negara tetangga yang tidak bersahabat.
Ranah dunia maya memungkinkan teman dan musuh saling berdekatan hanya dengan mengklik mouse. Meskipun demikian, menyepakati standar dunia maya internasional untuk melindungi situs dan konten yang berharga serta mengendalikan situs dan konten yang berbahaya tetap menjadi tantangan di banyak negara. Kurangnya aturan yang dapat ditegakkan secara internasional menciptakan ruang bagi kelompok-kelompok jahat untuk beroperasi dan menjadikan setiap negara membuat keputusan individu tentang cara mengatur ruang virtual ini. Kebijakan yang beragam tersebut telah menyebabkan ketegangan di Indo-Asia-Pasifik dan di tempat lain sehingga penjahat dan pelanggar hukum memanfaatkan celah dalam aturan baku itu untuk meretas jaringan pemerintah dan swasta.
Negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara memiliki sejarah pembatasan yang diberlakukan oleh diri mereka sendiri sehubungan dengan perbatasan virtual mereka. Baru-baru ini pada Desember 2015, Tiongkok tidak tertarik dengan setiap rencana yang akan mengubah status quo.
“Kita seharusnya menghormati hak masing-masing negara untuk memilih jalan mereka sendiri secara mandiri dalam pengembangan dunia maya, model regulasi dunia maya, dan berpartisipasi dalam tata kelola dunia maya internasional secara setara,” kata Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam World Internet Conference tahunan kedua di Tiongkok. “Tidak ada negara yang seharusnya mengejar hegemoni dunia maya, mengganggu urusan internal negara-negara lain atau terlibat dalam, berkomplot dengan, atau mendukung kegiatan dunia maya yang merongrong keamanan nasional negara lain.”
Tiongkok memblokir situs media sosial asing termasuk Facebook dan Twitter. “Pemerintah Tiongkok telah lama mengekang dengan ketat media tradisional dan media baru untuk menghindari potensi subversi atas kewenangannya,” demikian menurut laporan pada April 2015 berjudul “Penyensoran Media di Tiongkok” oleh Dewan Hubungan Luar Negeri. “Taktik-taktiknya sering kali melibatkan kontrol media yang ketat dengan menggunakan sistem pemantauan dan firewall, memberangus publikasi atau situs web, dan memenjarakan jurnalis, blogger, dan aktivis pembangkang.”
Para kritikus mengatakan bahwa undang-undang anti-terorisme yang diberlakukan baru-baru ini di Tiongkok memungkinkan jangkauan yang lebih besar bagi pihak berwenang untuk menyensor dan memberi negara akses ke data komersial sensitif. Undang-undang itu mengharuskan perusahaan untuk memberikan informasi teknis dan membuka sandi dokumen apabila diminta oleh polisi sebagai bagian dari investigasi untuk mencegah serangan teroris, demikian menurut laporan surat kabar New York Times pada Desember 2015.
“Meskipun pihak berwenang Tiongkok memiliki tugas yang sah dalam menjaga warganya dari serangan kekerasan, memberlakukan undang-undang ini akan memberikan beberapa dampak negatif pada hak asasi manusia,” kata William Nee, seorang peneliti masalah Tiongkok di Amnesty International yang berbasis di Hong Kong, kepada The New York Times. “Pada dasarnya, undang-undang ini bisa memberi lebih banyak alat bantu kepada pihak berwenang dalam menyensor informasi yang tidak disukai dan membuat narasi mereka sendiri tentang bagaimana ‘perang melawan teror’ dilaksanakan.”
Zhang Xuezhong, seorang pengacara dan mantan profesor di East China University of Political Science and Law, menyatakan undang-undang itu “tak lebih dari deklarasi ideologis semata” yang akan menyebabkan lebih banyak penyensoran.
“Undang-undang keamanan yang baik seharusnya menyatakan siapa pada kondisi apa mendapatkan hukuman apa, tetapi undang-undang ini tidak menyatakannya,” kata Zhang kepada BBC pada Juli 2015, ketika undang-undang itu masih berbentuk naskah dan sedang diperdebatkan. “Secara teknis, undang-undang itu mengerikan, karena sulit untuk menegakkannya pada individu dan perusahaan.”
Tiongkok mengusulkan agar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi pedoman perilaku Internet dan pejabat Tiongkok menjamin bahwa Tiongkok “akan terus berkomitmen untuk membangun dunia maya yang damai, aman, terbuka, dan kooperatif.”
Rusia mendukung Tiongkok memperjuangkan hal yang dipandangnya sebagai masa depan perilaku Internet. Pada Mei 2015, kedua negara sepakat untuk tidak memata-matai satu sama lain.
“Tidak ada negara dapat menyebut dirinya sebagai satu-satunya negara yang memiliki hak untuk mengatur dunia maya, jadi kami menyerukan kepada masyarakat internasional untuk memainkan peran lebih penting dalam tata kelola dunia maya,” kata Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev dalam sebuah pidato yang menekankan pernyataan Xi selama konferensi Internet itu, demikian menurut surat kabar The Wall Street Journal.
PEMBATASAN MEDIA
Untuk negara-negara dengan kontrol informasi ketat, pembatasan tidak hanya diberlakukan pada informasi yang masuk ke negara itu, tetapi juga pada informasi yang keluar. Di seluruh dunia, beberapa negara membatasi karya jurnalis independen di dalam negara mereka. Mereka yang diketahui melanggar aturan sering kali mendapatkan hukuman penjara. Tiongkok memenjarakan lebih banyak jurnalis daripada negara lain di dunia, demikian menurut Committee to Protect Journalists (CPJ), sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Kota New York yang mempromosikan kebebasan pers di seluruh dunia.
Setiap tahun, CPJ membuat peringkat 10 negara dengan penyensoran paling ketat. Peringkat ini mempertimbangkan undang-undang media, hukuman bagi jurnalis, dan pembatasan Internet. Empat negara di Indo-Asia-Pasifik masuk ke dalam daftar CPJ tahun 2015. Korea Utara menduduki peringkat Nomor 2, Vietnam peringkat Nomor 6, Tiongkok peringkat Nomor 8, dan Myanmar peringkat Nomor 9.
“Di Korea Utara, 9,7 persen penduduknya memiliki ponsel, angka itu tidak termasuk akses ke ponsel yang diselundupkan dari Tiongkok. Sebagai pengganti Internet global, yang hanya dimiliki aksesnya oleh beberapa individu yang berkuasa, beberapa sekolah dan lembaga lainnya memiliki akses ke intranet yang dikontrol dengan ketat,” kata laporan CPJ. “Dan meskipun biro Associated Press dibuka di Pyongyang pada tahun 2012, negara ini mengendalikan dengan ketat agenda berita sehingga film warta berita diedit ulang untuk menghapus berita tentang paman Kim Jong Un yang membawa aib bagi negara itu dari arsip berita setelah dia dieksekusi mati.”
Warga Korea Utara yang menginginkan informasi dari luar mencarinya dari perbatasan yang rapuh dengan Tiongkok, tempat mereka dapat memperoleh DVD asing selundupan.
“Untuk melanggengkan cengkeraman kekuasaan mereka, rezim represif menggunakan kombinasi dari monopoli media, pelecehan, mata-mata, ancaman pemenjaraan jurnalis, dan pembatasan masuknya jurnalis ke dalam negara mereka, atau pergerakan di dalam negara mereka,” kata laporan CPJ.
MEMBUAT KISAH
Rusia baru-baru ini menggenjot mesin media pemerintah dengan meningkatkan anggaran untuk saluran berita internasional RT (sebelumnya dikenal sebagai Russia Today), demikian menurut laporan BBC pada September 2015. Rusia sangat mengandalkan RT untuk merebut hati dan pikiran pemirsa selama bertahun-tahun.
“Pada umumnya, media Rusia menggambarkan segala sesuatu yang terjadi dari sudut pandang [Presiden Rusia] Vladimir Putin,” kata Nataliya Rostova, peneliti tamu di Graduate School of Journalism, University of Berkeley dan koresponden senior di majalah online Slon.ru yang berbasis di Moskow, kepada situs web berita The WorldPost pada Oktober 2015. “Putin memiliki akses tak terbatas ke media, dan mereka menjelaskan segala sesuatu yang terjadi menurut keterangan resminya. Tidak peduli apakah itu perang di Suriah atau topik lainnya.”
Rostova menjelaskan bahwa ketika Putin mengambil alih kekuasaan pada tahun 2000, Putin memegang kendali atas tiga stasiun televisi utama Rusia dan kemudian mengendalikan lagi dua stasiun televisi lainnya.
“Ketika membahas media independen, yang lebih kecil dan tidak dimiliki oleh negara, sering kali ada kesepakatan antara Kremlin, pemilik, dan pemimpin redaksinya. Bahkan Aleksey Venediktov, pemimpin redaksi Echo Moskvy, yang kadang-kadang disebut stasiun radio independen terakhir yang tersisa di Rusia tetapi dalam kenyataannya tidak independen, mengatakan secara terbuka bahwa Putin adalah satu-satunya orang yang bisa memecatnya,” kata Rostova kepada The WorldPost.
Apa pun taktik kontrol informasi Putin, taktik itu tampaknya berhasil, dan tanggapan negaranya terhadap setidaknya satu survei tampaknya sejalan dengan strateginya.
Empat puluh sembilan persen warga Rusia percaya bahwa informasi online seharusnya disensor, demikian menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada Februari 2015 berjudul “Membuat Tolok Ukur Permintaan Publik: Selera Kontrol Internet Rusia.” Empat puluh dua persen warga Rusia percaya bahwa negara asing menggunakan Internet melawan Rusia dan kepentingannya, dan 58 persen mengatakan bahwa mereka tidak akan keberatan jika, ketika ada ancaman nasional, Rusia menutup Internet sepenuhnya untuk sementara waktu.
Kontrol Informasi
Committee to Protect Journalists, lembaga nirlaba yang berbasis di New York City yang mempromosikan kebebasan pers di seluruh dunia, menyusun daftar tahunan 10 negara dengan penyensoran paling ketat. Negara-negara itu dinilai berdasarkan serangkaian tolok ukur, termasuk tidak adanya media independen atau milik swasta, pemblokiran situs web, pembatasan pada penyebaran dan perekaman elektronik, persyaratan lisensi untuk melakukan jurnalisme, pembatasan pergerakan jurnalis, pemantauan jurnalis oleh pihak berwenang, pengacakan siaran asing, dan pemblokiran koresponden asing.
Empat negara di Indo-Asia-Pasifik masuk ke dalam daftar tahun 2015. Peringkat lengkapnya adalah:
- Eritrea
- Korea Utara
- Arab Saudi
- Etiopia
- Azerbaijan
- Vietnam
- Iran
- Tiongkok
- Myanmar
- Kuba
Berikut detail lebih lanjut dari laporan itu terkait dengan peringkat empat negara di Indo-Asia-Pasifik.
KOREA UTARA
Pemimpin : Kim Jong Un
Cara kerja penyensoran: Pasal 53 konstitusi negara itu menyerukan kebebasan pers, tetapi meskipun terdapat biro Associated Press (AP) — dijalankan oleh warga Korea Utara dan berlokasi di kantor pusat Korea Central News Agency yang dikelola oleh pemerintah di Pyongyang — dan korps pers asing kecil dari negara-negara yang bersimpati secara politik, akses ke sumber berita independen sangat terbatas. Hampir semua isi dari 12 surat kabar utama Korea Utara, 20 majalah, dan siaran berasal dari kantor berita resmi Korea Central News Agency, yang berfokus pada pernyataan dan kegiatan pimpinan politik. Internet dibatasi untuk elit politik, namun beberapa sekolah dan lembaga negara memiliki akses ke intranet yang dikontrol dengan ketat yang disebut Kwangmyong, demikian menurut AP.
VIETNAM
Pemimpin: Perdana Menteri Nguyen
Tan Dung
Cara kerja penyensoran: Pemerintah yang dijalankan oleh Partai Komunis Vietnam tidak mengizinkan saluran siaran atau cetak dipegang oleh swasta. Berdasarkan Undang-undang Media tahun 1999 (Pasal 1, Bab 1), semua media yang bekerja di Vietnam harus berfungsi sebagai “corong organisasi Partai.” Departemen Propaganda Pusat mengadakan rapat mingguan wajib dengan editor surat kabar, radio, dan TV lokal untuk memberikan arahan tentang topik apa yang harus ditekankan atau disensor dalam liputan berita mereka. Topik terlarang meliputi kegiatan aktivis dan pembangkang politik; perselisihan faksi dalam Partai Komunis; isu hak asasi manusia; dan penyebutan perbedaan etnis antara wilayah utara dan selatan negara itu yang pernah terpisah satu sama lain. Blogger independen yang melaporkan isu-isu sensitif menghadapi penganiayaan melalui penyerangan di jalanan, penangkapan sewenang-wenang, pengawasan, dan hukuman penjara yang berat akibat dakwaan melawan pemerintah.
TIONGKOK
Pemimpin: Presiden Xi Jinping
Cara kerja penyensoran: Selama lebih dari satu dekade, Tiongkok telah menjadi salah satu di antara tiga negara yang paling banyak memenjarakan jurnalis di dunia — perbedaan yang kecil kemungkinannya akan hilang dalam waktu dekat. Dokumen 9, laporan resmi rahasia tertanggal 22 April 2014, yang dibocorkan secara luas di dunia online dan kepada pers internasional, mencakup arahan untuk “memerangi tujuh bahaya politik” dan menolak konsep “nilai-nilai universal” dan promosi “pandangan media Barat.” Dokumen 9 menjelaskan bahwa peran media adalah untuk mendukung aturan sepihak partai. Dokumen tersebut menegaskan kembali perlunya sensor teknologi dan manusia Tiongkok untuk menjadi semakin waspada ketika mengawasi lebih dari 642 juta pengguna Internet di negara itu — sekitar 22 persen dari populasi online dunia.
MYANMAR
Pemimpin: Presiden Thein Sein
Cara kerja penyensoran: Meskipun sensor prapublikasi yang sudah berlangsung selama lebih dari empat dekade berakhir pada tahun 2012, media Myanmar tetap dikontrol dengan ketat. Undang-undang Pendaftaran Penerbit dan Pencetak — berlaku pada Maret 2014 — melarang berita yang bisa dianggap menghina agama, mengganggu supremasi hukum atau berbahaya bagi kesatuan etnis. Publikasi harus terdaftar berdasarkan undang-undang, dan mereka yang diketahui melanggar ketentuan yang tidak jelas itu berisiko dibatalkan pendaftarannya. Undang-undang yang berkaitan dengan keamanan nasional, termasuk Undang-undang Rahasia Resmi tahun 1923 yang dibuat pada era penjajahan, digunakan untuk mengancam dan memenjarakan jurnalis yang melaporkan masalah militer yang sensitif.