Komunikasi Krisis
Latihan Pacific Endeavor menguji kemampuan negara-negara saat bencana besar
Gempa Bumi. Topan. Tsunami. Banyak bencana alam paling mematikan di dunia terjadi di Indo-Asia-Pasifik. Selama satu dekade terakhir, setengah juta penduduk wilayah ini tewas akibat kekuatan bencana alam — mencapai hampir 60 persen kematian akibat bencana di dunia — demikian lapor Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ketika terjadi bencana, infrastruktur komunikasi lokal cenderung menjadi salah satu korban pertama. Menara telepon seluler kehilangan sinyal. Penyedia layanan Internet tidak beroperasi. Informasi tidak bisa masuk atau keluar.
Menyiapkan komunikasi dengan cepat sangat penting untuk menyelamatkan nyawa.
“Orang-orang yang bekerja di bidang komunikasi umumnya merupakan salah satu orang pertama yang langsung turun ke lapangan,” kata Kopral Rochelle Rowe, spesialis komunikasi di Angkatan Udara Selandia Baru.
ersonel militer dari 21 negara berkumpul di Filipina pada September 2015 untuk mengikuti Latihan Pacific Endeavor, latihan respons bencana tahunan yang diselenggarakan oleh Komando Pasifik (PACOM) A.S. Mereka akan mengulangi latihan itu pada bulan Agustus dan September 2016 di Australia.
Para perencana merancang acara itu untuk memperlancar komunikasi antara penanggap militer dan sipil pada saat bencana besar.
Latihan di Filipina itu memperkenalkan skenario tiruan dari gempa berkekuatan 7,2 skala Richter yang meruntuhkan bangunan di ibu kota Filipina, Manila. Sasarannya adalah menguji kemampuan peserta untuk berkomunikasi satu sama lain selama bencana.
Latihan itu berlangsung selama beberapa jam. Operator komunikasi bergegas mempersiapkan radio, komputer, telepon satelit, dan berbagai macam peralatan lalu mencoba berhubungan dengan satu sama lain. Selama latihan, listrik akan terputus secara tiba-tiba. Suara timbul dan tenggelam di tengah semburan listrik statis. Operator dengan seketika itu juga berupaya menyampaikan serpihan informasi penting tentang gempa hipotetis dan dampaknya, sehingga mereka bisa membantu mengoordinasikan upaya bantuan.
“Bencana adalah waktu yang tidak tepat untuk mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak berfungsi,” kata Letnan Kolonel Angkatan Laut A.S. Paul Salevski, direktur lokakarya Program Interoperabilitas Komunikasi Multinasional (Multinational Communications Interoperability Program – MCIP) untuk PACOM. “Kehidupan berada dalam tahap kritis.”
MCIP, yang menyelenggarakan Pacific Endeavor, menetapkan proses untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan interoperabilitas komunikasi di antara negara-negara anggota. Sasaran utama MCIP adalah untuk memastikan interoperabilitas peralatan militer seperti radio, satelit, telepon, dan komunikasi dunia maya.
Para perencana latihan itu menyatakan bahwa Pacific Endeavor 2015 berjalan dengan sukses dan para peserta berhasil mengatasi berbagai tantangan. Selama gempa tiruan itu, secara bersama-sama mereka menambal jaringan komunikasi yang dapat memberikan informasi penting kepada pasukan respons bencana internasional.
“Kami mampu bekerja dengan satu sama lain, terutama di sisi militer, sehingga ketika saatnya tiba, tidak sulit untuk melakukan operasi bantuan kemanusiaan dan penanganan bencana global,” kata Mayor Leo Caduyac dari Komando Sinyal Angkatan Darat Filipina.
Penyelenggara menghubungkan kesuksesan Latihan Pacific Endeavor dengan frekuensi dan lamanya latihan ini dijalankan: Latihan ini telah diselenggarakan setiap tahun sejak 2004 dan dikembangkan berdasarkan pelajaran yang diperoleh dari latihan sebelumnya dan dari bencana dalam kehidupan nyata.
Latihan ini diadakan secara berpindah-pindah di sekitar wilayah tersebut. Tuan rumah latihan ini dalam beberapa tahun terakhir adalah Nepal pada tahun 2014, Thailand pada tahun 2013, dan Singapura pada tahun 2012. Australia akan menjadi tuan rumah latihan ini pada tahun 2016.
Sejak latihan ini digelar, cakupannya telah diperluas dengan mencakup sebagian besar pemerintah dan pasukan militer wilayah itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa, lembaga swadaya masyarakat seperti Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), dan perwakilan dari industri dan akademisi.
Beberapa lokakarya perencanaan yang diadakan setiap tahun berujung pada acara puncak berskala besar pada bulan Agustus atau September. Ketika tiba saatnya bagi Filipina menjadi tuan rumah Pacific Endeavor 2015, pejabat Filipina menjelaskan bahwa mereka menginginkan latihan itu diadakan di ibu kota mereka untuk menyimulasikan gempa bumi besar.
“Semua orang mengira topan, tapi mereka mengejutkan kami,” kata Salevski.
Letnan Kolonel Angkatan Darat Filipina Mark Edwin Moro, ketua Kelompok Kerja Teknis Skenario lokakarya itu, menjelaskan pilihan tersebut.
“Selama gempa bumi, Anda tidak punya waktu untuk mempersiapkan diri, tidak seperti topan ketika Anda dapat memantau perkembangannya,” kata Moro. “Skenario gempa lebih brutal dan mendadak.”
Pacific Endeavor 2015, latihan yang dilaksanakan selama dua minggu dari tanggal 31 Agustus sampai 11 September, menarik lebih dari 330 peserta ke Manila, demikian menurut Laksamana Muda Angkatan Laut A.S. Kathleen Creighton, PACOM J6, direktur Direktorat Komando, Kendali, Komunikasi, dan Dunia Maya.
Menjelang akhir acara, Laksamana Muda Creighton mengambil bagian dalam Pertemuan Komunikator Senior Pasifik selama tiga hari yang dihadiri oleh pejabat komunikasi militer berpangkat tinggi dari 21 negara yang berpartisipasi. Mereka mengupas habis pengalaman pahit yang telah dipelajari dalam bencana yang terjadi baru-baru ini di wilayah Indo-Asia-Pasifik.
Penyelenggara memberi komunikator senior topik menantang dalam bidang komando, kontrol, komunikasi, dan komputer. Mereka menerapkan semua itu pada proses pembagian informasi non-rahasia yang digunakan dalam respons bantuan bencana multinasional, demikian penjelasan Creighton. “Ada banyak pertanyaan yang ditekankan dan diskusi bermanfaat yang dilakukan berdasarkan materi yang disampaikan,” katanya. “Pelajaran yang diperoleh dari Topan Yolanda/Haiyan di Filipina, gempa bumi Nepal 2015, dan bencana lainnya disajikan dengan baik dan diterima oleh kelompok itu.”
Negara-negara di Indo-Asia-Pasifik sangat menyadari tantangan tersebut. Lembaga bantuan bencana mengutip empat bencana besar dari beberapa tahun terakhir:
• Gempa bumi pada April 2015 di dekat Kathmandu, Nepal, menewaskan lebih dari 8.000 orang, menghancurkan lebih dari 473.000 rumah, dan membuat lebih dari 2,8 juta orang mengungsi.
• Topan Haiyan — dikenal sebagai topan Yolanda di Filipina — menewaskan sedikitnya 6.300 orang dan membuat 4 juta orang mengungsi ketika topan ini mendarat pada November 2013, menjadikannya topan paling mematikan dalam sejarah Filipina.
• Selama musim panas tahun 2015, banjir besar di Myanmar di sekitar Delta Irrawaddy memengaruhi sekitar satu juta orang dan menewaskan kira-kira 100 orang.
• Pada Maret 2011, gempa berkekuatan 9,0 skala Richter dan tsunami di Jepang menewaskan hampir 16.000 orang, membuat 16.000 orang lainnya terlantar, memaksa evakuasi lebih dari 350.000 orang, dan menyebabkan terlepasnya bahan radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir yang rusak.
BERBAGI INFORMASI
Dengan mempersiapkan diri untuk berkomunikasi dengan satu sama lain selama bencana seperti itu, peserta Pacific Endeavor memperoleh akses ke pengujian peralatan, penilaian interoperabilitas, pembagian informasi non-rahasia, dan demonstrasi teknis. Pertemuan tatap muka dengan satu sama lain membantu mengembangkan hubungan yang lebih baik antarmiliter, kata Creighton.
“Pengembalian investasinya amat sangat besar,” katanya. “Ini adalah acara keterlibatan bagi begitu banyak personel komunikasi militer, dari jajaran paling bawah hingga jajaran paling senior.”
Selama Latihan Pacific Endeavor di setiap tahunnya, para peserta dapat mengambil bagian dalam Modul Berbagi Informasi yang berfokus pada mode komunikasi, seperti Cyber Endeavor, Radio Endeavor atau Satcom Endeavor, yang menekankan komunikasi satelit.
Aspek penting Pacific Endeavor adalah kesempatan bagi operator komunikasi untuk membagikan informasi tentang teknologi yang sedang berkembang yang dapat berguna dalam situasi krisis.
Selama Modul Berbagi Informasi Satcom Endeavor 2015, misalnya, ahli komunikasi satelit menunjukkan kepada peserta cara menggunakan broadband global access network (BGAN), sambungan Internet bergerak yang didesain untuk lokasi dengan medan keras. Perangkat ringan ini dapat disiapkan dalam hitungan menit.
“BGAN memberi lima atau enam orang kemampuan pertama untuk memberi tahu markas yang lebih tinggi seperti apa fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan, sehingga markas yang lebih tinggi dapat merencanakan dan memastikan bahwa bantuan yang tepat akan diberikan kepada orang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan tempat yang tepat,” kata Mayor Pasukan Marinir A.S. Erika Teichert, petugas dari Sekolah Pascasarjana Angkatan Laut (Naval Postgraduate School).
Sarana komunikasi tradisional, seperti radio frekuensi tinggi (HF) , juga membantu. Para pejabat militer dapat menggunakannya untuk komunikasi jarak jauh sehingga memberi mereka pilihan lain selain telepon atau Internet.
“Alasan mengapa kami akan memilih frekuensi radio atau HF dan bukannya Protokol Internet: HF jauh lebih cepat untuk dikerahkan, tidak begitu sulit untuk mendapatkan peralatan HF di sana, HF cukup kecil, ringan, dan sangat mudah melatih seseorang untuk menggunakannya,” kata Sersan Kepala Andrew Wickham dari Pasukan Pertahanan Selandia Baru, fasilitator dalam Modul Berbagi Informasi Radio Endeavor 2015. “Sama seperti ponsel, Anda dapat mengangkat handset dan mulai berbicara. Anda dapat mengirim laporan. Anda dapat meminta evakuasi medis dan berbagai fasilitas yang mungkin Anda butuhkan.”
Pacific Endeavor 2016, yang akan diselenggarakan dari tanggal 22 Agustus hingga 2 September di Brisbane, Australia, akan lebih berfokus pada pembagian informasi non-rahasia, kata Salevski, direktur lokakarya MCIP.
“Kami sedang membangun dasar pengetahuan di bidang dunia maya, fundamental radio, manajemen spektrum, manajemen pengetahuan dan informasi, dan komunikasi satelit,” kata Salevski. “Kami membangun hubungan pribadi, saling pengertian, dan kepercayaan di antara tingkat junior dan senior dari jajaran tamtama, bintara, dan perwira. Hubungan tersebut juga meluas ke pelaku sipil utama yang terlibat dalam respons bencana internasional. Semua hal ini berupaya untuk menghilangkan hambatan komunikasi.”