Hubungan Keamanan Dunia Maya
Tiongkok dan Amerika Serikat terus menegosiasikan rincian perjanjian dan ketentuan kerja sama mereka
Oleh dr. Ching Chang dan Jacob Doyle
Musim gugur tahun 2015 mungkin diingat untuk tren menghangatnya hubungan Tiongkok-A.S. yang melibatkan ranah dunia maya.
Dimulai dengan kunjungan pada akhir September oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping ke Amerika Serikat — pertama ke Seattle tempat dia bertemu dengan tokoh teknologi dari Tiongkok dan Amerika Serikat, termasuk pendiri Microsoft Bill Gates, kemudian ke pertemuan KTT di Washington, D.C., tempat Xi bertemu dengan Presiden A.S. Barack Obama untuk membahas berbagai isu, khususnya keamanan dunia maya. “Perjanjian dunia maya” yang ditandatangani oleh kedua presiden diikuti oleh kesibukan di kalangan ajudan mereka, yang berpuncak pada pertemuan lanjutan pada 1 Desember yang ditujukan untuk keamanan dunia maya yang dihadiri oleh kepala badan penegak hukum dan keamanan nasional. Laporan dari pejabat pemerintah dan analis sektor swasta memperkuat gagasan tentang kehangatan dan kemajuan di bidang yang terganggu oleh dinginnya perselisihan selama bertahun-tahun.
“Diyakini bahwa konsensus yang dicapai oleh Tiongkok dan Amerika Serikat terkait isu keamanan dunia maya akan membantu meningkatkan rasa saling percaya dan memajukan kerja sama antara kedua negara dalam hal ini,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hong Lei kepada jurnalis setelah KTT pada 28 September, “dan berdampak positif pada pertumbuhan hubungan Tiongkok-A.S. yang tangguh dan mantap.”
Perjanjian ini menjanjikan kerja sama dari kedua belah pihak di bidang investigasi kejahatan dunia maya, pengumpulan bukti elektronik, dan mitigasi aktivitas dunia maya berbahaya yang berasal dari wilayah mereka. Kedua negara juga berjanji bahwa kedua pemerintah tidak akan melakukan atau dengan sengaja mendukung pencurian kekayaan intelektual yang dimungkinkan oleh dunia maya.
Analis kebijakan di A.S. mengakui perjanjian itu sebagai gerakan menuju hubungan dunia maya yang lebih baik antara kedua negara.
“Amerika Serikat dan Tiongkok telah memperselisihkan masalah intrusi dunia maya selama beberapa waktu,” kata Joseph S. Nye Jr., guru besar bakti utama cemerlang (distinguished service professor) di Harvard Kennedy School, Harvard University, dalam wawancara dengan FORUM. “Pihak Amerika telah menuduh Tiongkok menggunakan serangan dunia maya sebagai cara untuk mencuri kekayaan intelektual untuk tujuan komersial. Tiongkok telah menjawab bahwa mereka tidak melakukannya dan bahwa Amerika Serikat terus-menerus mengganggu sistem mereka. Jadi telah terjadi sengketa selama beberapa waktu. Masalah itu ditangani oleh Obama dan Xi pada KTT Sunnyland pada tahun 2013. Tapi kesepakatan yang dicapai pada September 2015 ini adalah bagian pertama dari kemajuan substansial yang kita lihat. Saya kira perjanjian itu merupakan langkah pertama yang penting.”
Pengamatan Nye sebagian besar disepakati oleh Andrew Scobell, ilmuwan politik senior di Rand Corp., yang menambahkan bahwa Tiongkok berhasil menunjukkan bahwa Xi memahami pentingnya mencapai pemahaman tentang isu-isu dunia maya dengan A.S. dari perspektif komersial.
“Tiongkok juga menyadari bahwa mereka perlu menunjukkan kepeduliannya terhadap pemerintahan Obama, dan mereka melakukannya,” kata Scobell.
Kebutuhan akan kepedulian dan ekspresi nyata dari kerja sama di ranah dunia maya berakar dari perselisihan selama bertahun-tahun di antara kedua negara di bidang ini, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan di masa lalu dari para pejabat pemerintah di Tiongkok dan A.S.
Penelitian tahun 2014 yang dipimpin oleh Dr. Teng Jianqun, pensiunan perwira Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok, sekarang direktur dan rekan peneliti di Pusat Pengendalian Senjata di Institut Studi Internasional Tiongkok, kelompok cendekiawan di Kementerian Luar Negeri di Beijing, menunjukkan pandangan Tiongkok yang kurang menyetujui kebijakan dunia maya A.S. pada saat itu.
“Jelas terlihat bahwa dengan memanfaatkan secara penuh keunggulannya di bidang teknologi informasi, Amerika Serikat tidak hanya menyalahgunakan metode teknologi dan hukumnya dalam operasi anti-terorisme,” tulis studi Teng, “tetapi menempatkan pemimpin negara-negara lain, termasuk sekutunya, dan konferensi internasional yang penting di bawah pengawasan, semua itu dengan alasan melindungi keamanan nasional.”
Penelitian tersebut membahas dengan kritis apa yang disebut “senjata dunia maya,” yang konon digunakan oleh A.S., seperti virus komputer berbahaya “Stuxnet worm” dan berbagai teknologi pengganggu sinyal.
Setahun setelah penelitian Teng, pada Januari 2015, Direktur Intelijen Nasional A.S. James R. Clapper membuat pernyataan yang mengulang dakwaan yang dijatuhkan A.S. pada tahun 2014 terhadap lima anggota Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok. Mereka dituduh melakukan peretasan ke dalam jaringan Westinghouse Electric, U.S. Steel Corp., dan perusahaan A.S. lainnya.
“Tiongkok telah merampok habis-habisan basis industri kita,” kata Clapper kepada pemirsa di Fordham University New York dalam konferensi tentang keamanan dunia maya.
Ketegangan meningkat pada Juni 2015, ketika Kantor Manajemen Personel Amerika Serikat mengumumkan bahwa pihaknya telah mengalami intrusi data yang menargetkan arsip 4 juta orang. Media A.S. melaporkan bahwa pejabat pemerintah A.S. secara pribadi menyalahkan Tiongkok atas intrusi tersebut. Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengeluarkan respons cepat terhadap masalah itu.
“Serangan dunia maya biasanya dilakukan secara anonim dan lintas batas, sehingga sulit untuk dilacak,” kata Hong kepada jurnalis pada 5 Juni 2015. “Bukanlah tindakan yang bertanggung jawab dan tidak ilmiah untuk selalu menggunakan istilah seperti ‘kemungkinan’ atau ‘diduga’ alih-alih melakukan investigasi secara menyeluruh. Tiongkok memegang posisi yang konsisten untuk memberantas dengan tegas segala bentuk serangan dunia maya. Tiongkok sendiri merupakan korban serangan dunia maya. Kami siap menjalin kerja sama internasional mengenai masalah ini dan membangun ruang dunia maya yang damai, aman, terbuka, dan kooperatif. Kami berharap bahwa pihak A.S. akan membuang kecurigaan, menahan diri dari membuat tuduhan tidak berdasar, dan menunjukkan lebih banyak rasa percaya, dan melakukan lebih banyak kerja sama di bidang ini.”
Terlepas apakah tuduhan tersebut tidak berdasar, namun seruan Hong untuk menjalin kerja sama dan perdamaian serupa dengan seruan yang dibuat dalam bab empat penelitian Teng: “Tiongkok dan Amerika Serikat seharusnya bekerja sama dalam menjajaki kemungkinan rencana untuk pengendalian senjata dunia maya,” yang menganjurkan “perjanjian keamanan dunia maya internasional, yang akan menetapkan batasan pada pengembangan kemampuan perang dunia maya negara lain.”
Perdamaian di ranah dunia maya bukanlah satu-satunya prospek yang memikat Tiongkok untuk menjalin dialog dunia maya dengan A.S., demikian pendapat Scobell. Dia menjelaskan bahwa baru-baru ini Tiongkok menganggap bahwa Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), merupakan hal yang layak dilindungi.
“Banyak peretasan dunia maya komersial ini tampaknya termotivasi untuk mengakuisisi informasi berhak cipta atau berhak milik yang dimiliki oleh perusahaan tertentu,” kata Scobell. “Tiongkok tidak terlalu peduli dengan HKI sampai perusahaan Tiongkok mulai mengembangkan kekayaan intelektual berharga milik mereka sendiri. Sekarang Tiongkok menyesuaikan diri dengan masalah itu dan lebih bersedia untuk bekerja sama dengan negara-negara lain untuk melindungi HKI.”
Nye mengakui diskusi tentang topik HKI dan konsekuensinya — kekhawatiran tentang penggunaan spionase dunia maya untuk tujuan komersial — merupakan salah satu dari dua hasil yang paling penting dari KTT tahun 2015 yang berkaitan dengan isu-isu dunia maya.
“Hal kedua adalah bahwa kedua negara telah membentuk kelompok tingkat tinggi untuk menangani hal ini,” kata Nye, “dan hal itu benar-benar telah terjadi dengan pertemuan antara Jaksa Agung Loretta Lynch dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Jeh Johnson dengan mitra mereka dari Tiongkok di Washington pada 1 Desember 2015.”
Selain Lynch dan Johnson, pertemuan itu dihadiri oleh Penasihat Negara Tiongkok Guo Shengkun, serta perwakilan dari Departemen Luar Negeri A.S., Dewan Keamanan Nasional, dan komunitas intelijen, sedangkan delegasi Tiongkok mencakup perwakilan dari Komite Urusan Politik dan Hukum dari Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok, Kementerian Keamanan Publik, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi, Kementerian Keamanan Negara, Kementerian Kehakiman, dan Kantor Informasi Internet Negara.
Menurut kantor Lynch, pertemuan itu dilakukan untuk “meninjau ketepatan waktu dan kualitas tanggapan terhadap permintaan akan informasi dan bantuan mengenai kejahatan dunia maya atau kegiatan dunia maya yang berbahaya lainnya dan untuk meningkatkan kerja sama antara Amerika Serikat dan Tiongkok terkait kejahatan dunia maya dan isu-isu terkait.”
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying menyebut pertemuan itu sukses sehari setelah pertemuan itu diadakan, mengatakan bahwa dialog itu “positif dan konstruktif,” sambil menambahkan bahwa “kerja sama penegakan hukum Tiongkok-A.S. dalam bidang keamanan dunia maya kini telah memasuki fase kemajuan baru ketika kedua pihak memecahkan beberapa masalah tertentu melalui kerja sama praktis dan komunikasi terbuka, yang membantu meningkatkan saling pengertian dan rasa saling percaya.”
“Dialog Tingkat Tinggi A.S.-Tiongkok tentang Pemberantasan Kejahatan Dunia Maya dan Isu Terkait” kedua ditetapkan untuk diadakan pada Juni 2016 di Beijing, demikian yang dilaporkan kantor Lynch.
Merumuskan dan menyetujui “pedoman perilaku dunia maya,” atau menetapkan norma perilaku di ranah dunia maya yang akan diikuti semua negara penanda tangan, telah menjadi topik yang disebutkan dalam penelitian Teng dan disinggung oleh Gedung Putih dalam sebuah pernyataan sesudah KTT pada bulan September. Dikatakan bahwa A.S. dan Tiongkok “menyambut baik laporan pada Juli 2015 dari Kelompok Pakar Pemerintah (Group of Governmental Experts – GGE) P.B.B. di Bidang Informasi dan Telekomunikasi dalam Konteks Keamanan Internasional, yang membahas norma-norma perilaku dan masalah penting lainnya untuk keamanan internasional di ruang dunia maya.”
Pada awal tahun 2015, Tiongkok dan Rusia, bersama dengan Kazakstan, Kirgistan, Tajikistan, dan Uzbekistan, bersama-sama mengajukan pembaruan Pedoman Perilaku Keamanan Informasi Internasional mereka sendiri kepada sekretaris jenderal P.B.B. Pedoman itu pada awalnya disampaikan pada tahun 2011 dan mendapatkan kritik dari A.S. dan sekutunya sebagai “upaya oleh empat negara untuk membenarkan kontrol negara yang lebih besar terhadap struktur tata kelola Internet dan konten online,” demikian menurut Alex Grigsby, asisten direktur untuk program Kebijakan Ruang Dunia Maya dan Digital di Dewan Hubungan Luar Negeri. Pembaruan terkini, demikian tambah Grigsby, merujuk pada kegiatan GEE dan “tampaknya melunakkan sikap Tiongkok dan Rusia pada negara-negara yang mengambil peran kepemimpinan pada isu-isu tata kelola Internet.”
Sementara itu kelompok negara G20 mendukung laporan GGE dalam KTT mereka pada Juli 2015 di Antalya, Turki. Konsep pedoman perilaku dunia maya multilateral dipandang oleh Scobell sebagai masalah yang terpisah dari diskusi dan kegiatan yang saat ini melibatkan A.S. dan Tiongkok.
“Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan penengah dalam ranah dunia maya,” kata Scobell. “Saya kira baik Washington maupun Beijing tidak akan mengarahkan dialog itu ke forum multilateral seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam waktu dekat. Saya menduga kedua belah pihak akan memberi tahu Anda bahwa kedua negara itu harus membahasnya. Dialog multilateral tidak bisa menggantikannya, karena ada beberapa isu-isu serius di sini yang melibatkan Amerika Serikat dan Tiongkok, dan sehingga benar-benar tidak ada pengganti untuk diskusi satu-satu.”
Ketika ada gesekan, ada kehangatan. Waktu akan mengungkap apakah tren yang menghangat ini akan berlanjut. Para ahli sepakat bahwa masih banyak pekerjaan untuk menentukan persyaratan perjanjian tersebut dalam praktiknya untuk memungkinkan berlanjutnya pencairan hubungan tersebut.