ISIL dan efek Hezbollah
Negara Islam Irak dan Levant menghadirkan ancaman teroris krusial, tetapi Hezbollah tetap menjadi bahaya utama
Sean K. Anderson | FOTO DARI AFP/GETTY IMAGES
Selagi ancaman dari Negara Islam Irak dan Levant (ISIL) mendominasi berita di Timur Tengah dan Indo Asia Pasifik dan merebut perhatian ahli keamanan, ISIL bukanlah ancaman terburuk atau satu-satunya ancaman di wilayah itu.
Al-Qaeda yang semula sekarang ini mengilustrasikan gerakan ekstremis yang gagal, dan Hezbollah Libanon mengunggulinya sebagai gerakan ekstremis kekerasan Muslim yang mengancam Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Perbandingan antara ISIL dengan Al-Qaeda dan Hezbollah menunjukkan bahwa ISIL telah menyingkirkan Al-Qaeda dari perhatian dunia, tetapi tidak membuat gambaran yang menempatkan ISIL sebagai ancaman ekstremis kekerasan terbesar.
ISIL bukanlah fenomena baru. Selama abad Ketujuh Masehi, abad pertama era Islam, sekte yang disebut Khawarij sangat hebat dalam meneror semua kelompok Islam lainnya. Karena mereka membantai sesama Muslim, kelompok itu gagal mendapatkan pijakan legitimasi di kalangan ulama Islam dan massa Muslim. Hal ini telah menjadi catatan kaki sejarah Islam.
Agar ISIL berhasil mencapai misinya, ISIL harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antaranya: Kelompok ini harus terorganisir dengan baik; harus memenangkan kontrol wilayah yang tidak terbantahkan; dalam wilayah itu, harus membuat pemerintahan yang efektif; front politik, sayap militer bersenjata, polisi, dan dinas intelijennya harus mencapai “kesatuan upaya;” dan harus memenangkan legitimasi pada tiga tingkat — “legitimasi dari bawah,” “legitimasi dari atas,” dan “legitimasi eksternal.”
Tanpa kemampuan untuk membiayai diri sendiri, kondisi lain muncul: kebutuhan adanya negara yang bersedia menjadi sponsor.
Mengevaluasi Kesuksesan ISIL
ISIL telah membuktikan dirinya sebagai kelompok terorganisir yang sudah ada sejak setidaknya tahun 1999 dengan menggunakan beberapa nama lain dan perubahan kepemimpinan. Pada tahun 2013, kelompok teroris itu mendominasi Irak barat dan Suriah timur. Akan tetapi, para ahli tidak setuju bahwa ISIL telah membentuk pemerintahan yang efektif.
Antara tahun 2004 dan 2010, ketika ISIL dikenal sebagai Al-Qaeda di Irak (AQI), kelompok ini tidak terlalu memikirkan untuk membentuk suatu pemerintahan.
AQI luluh lantak akibat “gelombang” serbuan Pasukan A.S. pada tahun 2007. Setelah A.S. menarik diri dari Irak pada tahun 2011 dan pemerintah Irak yang didominasi Syiah secara fungsional menyisihkan kaum Sunni dari pemerintah, AQI muncul kembali. Setelah merebut kembali semua Irak barat, kelompok ini membentuk pemerintahan, mengubah namanya menjadi “Negara Islam Irak” (juga disebut sebagai Negara Islam Irak dan Levant).
Perubahan nama kelompok ini mendapatkan tinjauan yang beragam. Beberapa analis mengklaim bahwa kelompok ini menciptakan komunitas politik yang sehat, sementara analis lain melaporkan “pemerintah” ini hanya memerintah melalui teror atas Suriah dan Irak.
Lalu ada pertanyaan apakah ada penampakan jelas “kesatuan upaya” di antara komponen militer dan sipil dari Negara Islam. Beberapa ahli melaporkan kesenjangan antara ISIL dan masyarakat di bawah kendalinya. Misalnya, guru dan pegawai negeri sipil birokrasi Suriah dan Irak dipaksa untuk tetap menjabat dan bekerja di bawah paksaan.
Ekspansi Militer
ISIL memperluas militernya dengan merekrut Sunni Irak yang tidak puas (termasuk mantan perwira tentara Baath) dan pejuang asing. Dimulai ketika dipimpin oleh orang Yordania non-Irak, mendiang Abu Musab al-Zarqawi, perekrutan pejuang non-Irak oleh AQI menimbulkan rasa benci pada warga lokal Irak. Meskipun mereka merupakan sesama Muslim Sunni, bahkan mereka yang merupakan orang Arab tidak menghormati budaya Irak sementara orang non-Arab memperlakukan orang Irak sebagai rakyat taklukan. Penambahan jumlah pejuang juga memperketat sumber daya yang terbatas, merampasnya dari tangan warga sipil dalam rangka mendukung para pejuang.
Memenangkan Legitimasi
Pada tingkat tertentu, ISIL telah mengulangi kesalahan yang sama seperti Taliban dan AQI dalam konteks memenangkan legitimasi dari bawah. Kelompok ini telah membuat sesama Sunni menderita akibat teokrasi militan oleh karena lebih tertarik dengan sanksi pidana Syariah yang keras daripada membangun kembali ekonomi atau menciptakan pemerintahan yang bertanggung jawab kepada publik. Kejadian serupa terjadi ketika pasukan A.S. menginvasi Afganistan, beberapa warga sipil membela Taliban, yang merupakan sesama muslim, dalam melawan penjajah yang sebagian besar non-Muslim.
Mengenai “legitimasi dari atas,” sebagian besar ulama Sunni, ahli agama, dan pemimpin spiritual yang dihormati oleh Sunni di seluruh dunia, menolak ISIL. Bahkan ulama radikal yang membimbing AQI dan ISIL telah mengutuk ISIL sebagai “menyimpang” dan bersalah karena melakukan fitnah, atau tidak menghargai otoritas Islam yang sah, terutama karena serangan mereka sebagian besar telah menumpahkan darah Muslim daripada darah musuh yang diakui oleh Islam. Kesalahan taktis serupa yang dilakukan kaum Khawarij pada akhirnya membuat mereka mengalami keterasingan dan kepunahan. Jika serangan pada 13 November 2015 di Paris benar-benar merupakan bagian dari rencana taktis baru ISIL untuk menyerang “musuh yang jauh” daripada sesama Muslim di bawah kendali mereka, maka hal itu akan mewakili pergeseran strategis signifikan yang mungkin memperoleh legitimasi gerakan dalam dunia Islam yang selama ini kurang dimilikinya. Banyak kolega akademik dan pelajar Muslim menyesalkan media yang menyebut kelompok ini dengan nama yang disukainya yaitu “Negara Islam” dan percaya bahwa taktik efektif dalam mendelegitimasi lebih lanjut kelompok ini adalah menyebutnya dengan nama singkatannya yaitu “Da’ish,” singkatan dari ad-Dawlah al-Islamiyah fi ‘l-‘Iraq wa-sh-Sham. Bagi masyarakat Barat, langkah ini akan melawan “rasa turut bersalah oleh karena memiliki keterkaitan” dengan membedakan secara jelas Da’ish dari minoritas Muslim dan mencegah reaksi xenofobia populis terhadap Islam, yang pengikutnya sedang tumbuh di dunia Barat.
Mengenai “legitimasi dari luar,” ISIL telah mengasingkan sesama pejuang jihad di dekatnya, yaitu sekutu potensial seperti Front al-Nusrah, kelompok Ikhwanul Muslimin, dan kelompok lainnya yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Sementara itu, ISIL telah menerima janji kesetiaan dari kelompok yang secara geografis terlalu jauh untuk memberikan bantuan militer langsung ke misinya, sehingga mengulangi kesalahan “waralaba” Al-Qaeda. Dengan menggunakan “nama merek” ISIL, kelompok-kelompok ini memperoleh prestise tanpa membantu ISIL secara langsung. Akan tetapi, waralaba ini akan membuat ISIL menjadi bahan ejekan jika militer mengalahkan mereka di wilayah mereka masing-masing.
Sponsor Negara dan Efek Hezbollah
ISIL membiayai pengeluarannya dengan sumber daya internal — yaitu, sumur minyak, pembangkit listrik tenaga air, pertanian, dan penjualan artefak kuno yang dijarah (meskipun beberapa laporan menunjukkan ISIL telah beralih ke mata uang berbasis emas, perak, dan tembaga). Akan tetapi, sumur minyak dan pembangkit listrik tenaga air mereka tetap rentan terhadap serangan udara, dan produksi minyak yang berlebih di seluruh dunia baru-baru ini menyebabkan penurunan harga minyak mentah sehingga memotong setengah pendapatan minyak ISIL. Oleh karena itu, kelompok ini mengalami keterbatasan dalam kemandirian keuangan yang berasal dari dukungan negara eksternal.
Bandingkan hal ini dengan Hezbollah, yang dimulai sebagai kelompok operasi rahasia pada tahun 1982 dan berubah menjadi partai politik terbuka pada tahun 1985. Hezbollah adalah kelompok Islam pertama yang berhasil mengunci pergerakan Pasukan Pertahanan Israel sehingga memaksa mereka mundur dari Lebanon selatan pada tahun 2000 melalui pemberontakan panjang dalam melawan Pasukan Pertahanan Israel selama 15 tahun.
Meskipun banyak pejuang Hezbollah yang gugur pada saat perang dengan Israel pada Juli 2006, Hezbollah menjadi ancaman taktis kredibel dengan meluncurkan rudal jarak pendek dan jarak menengah buatan Iran terhadap Israel. Hezbollah juga telah mengembangkan infrastruktur kesejahteraan sosial yang tersebar luas, termasuk klinik, sekolah, dan “jihad konstruksinya” sendiri. Hezbollah telah berinvestasi di banyak perusahaan, baik secara sah dan tidak sah. Kebangkitan Hezbollah dalam politik elektoral Lebanon membuatnya menjadi pihak yang berpengaruh bagi presiden dan pemerintah Lebanon. Salah satu analis Lebanon menyesalkan, “Hezbollah telah menjadi aktor bukan negara (non-state actor) yang berfungsi sebagai penguasa de facto versus bukan aktor negara (state non-actor) yang hanya menikmati status penguasa de jure.”
Selain itu, Hezbollah mengerahkan jaringan teroris di luar negeri yang mengebom Kedutaan Besar Israel di Buenos Aires pada 17 Maret 1992, menewaskan 29 orang dan melukai 242 korban, dan pada 18 Juli 1994, mengebom kantor pusat Masyarakat Gotong Royong Israel-Argentina sehingga menewaskan 85 orang dan melukai lebih dari 300 korban.
Banyak analis percaya bahwa “Hezbollah Internasional” membuat ancaman Al-Qaeda menjadi tidak signifikan. Keunggulan organisasi dan kontrol de facto atas Lebanon hanya dimungkinkan dengan dukungan material dan militer Iran yang sekarang ini diperkirakan lebih dari 13,49 triliun rupiah (1 miliar dolar A.S.) per tahun.
Jika Israel melakukan tindakan pencegahan dini dengan menyerang fasilitas nuklir Iran, Iran telah memperingatkan akan melepaskan Hezbollah Internasional untuk menyerang Amerika Serikat. Singkatnya, selagi ISIL merupakan ancaman potensial, ISIL tidak memiliki unsur-unsur penting untuk keberhasilan jangka panjang. Sebaliknya, Hezbollah telah mencapai sukses yang luar biasa dan telah memiliki kemampuan untuk menyerang di seluruh dunia.
Apakah serangan di Paris menunjukkan perubahan arah serangan ISIL di seluruh dunia? Karena serangan ini telah begitu berbeda dari modus operandi yang biasanya dilakukan ISIL, maka patut dipertanyakan apakah operasi itu didalangi oleh ISIL. Akan tetapi, ISIL mungkin sudah kalah dalam pertempuran untuk mendapatkan legitimasi di kalangan umat Muslim di seluruh dunia, bagi banyak Muslim yang menyadari sejarah telah mulai menyebut mereka sebagai “Al Khwaraj al Jadid,” atau “Khawarij” baru, kelompok yang sangat ditakuti sehingga dijauhi oleh Muslim lainnya yang menyebabkan kepunahan dirinya sendiri.
Artikel ini dikutip dari presentasi penulis, berjudul “Sukses atau Kegagalan Ekstremisme Kekerasan: Kasus Al-Qaeda, Hezbollah, dan ISIS,” selama Konferensi Operasi Khusus Daerah Pasifik (Pacific Area Special Operations Conference – PASOC), di Honolulu, Hawaii, pada 4 Mei 2015. Artikel tersebut telah diedit supaya sesuai dengan format ini.