Tajuk Utama

Prakarsa Pencegahan Konflik dan Kewaspadaan Bersama

Dapatkah kisah sukses ini diterapkan ke Asia Tenggara?

Dr. P.K. Ghosh

Peningkatan ketergantungan dan kepadatan perdagangan perkapalan telah memicu munculnya kejahatan maritim di seluruh dunia. Ancaman seperti pembajakan, terorisme maritim, perdagangan narkoba, dan perdagangan senjata telah menjadi lebih kuat dan menimbulkan seruan kuat untuk penegakan hukum yang efektif dan pemeliharaan ketertiban maritim.

Tantangan-tantangan ini menyoroti kebutuhan kerja sama melintasi batas-batas politik bersama dengan perlunya berbagi intelijen. Kerja sama ini memiliki signifikansi khusus untuk patroli anti-pembajakan di Tanduk Afrika. Mereka beroperasi di daerah yang luas dan mencari sekumpulan kecil bajak laut yang menyerang dari perahu ringan yang kuat dan memiliki kemampuan manuver tinggi, di bawah perlindungan kapal induk terdekat. Tanpa berbagi intelijen antar patroli, tidak mungkin mereka akan mencapai keberhasilan dalam mencapai tujuan mereka.

Prakarsa Pencegahan Konflik dan Kewaspadaan Bersama (Shared Awareness and Deconfliction – SHADE) lahir dari kebutuhan ini ketika sejumlah angkatan laut asing beroperasi di Teluk Aden untuk mencegah serangan bajak laut dari Somalia dan Puntland.

Prakarsa SHADE pimpinan A.S., yang pada awalnya dipahami untuk membantu menggabungkan satuan tugas antibajak laut melalui Operasi Atalanta Somalia Angkatan Laut Uni Eropa (EU NAVFOR), dimulai pada tahun 2008 untuk mengoordinasikan aktivitas antar satuan tugas koalisi dan memaksimalkan efisiensi penggunaan angkatan laut di wilayah Samudra Hindia. Prakarsa ini kemudian disertakan secara independen oleh angkatan laut yang beroperasi di sana.

Bajak laut bertopeng Somalia Abdi Ali berdiri di dekat sebuah kapal penangkap ikan Taiwan pada September 2013 yang terdampar di Hobyo, Somalia, setelah bajak laut mendapatkan uang tebusan dan melepaskan awak kapal. THE ASSOCIATED PRESS
Bajak laut bertopeng Somalia Abdi Ali berdiri di dekat sebuah kapal penangkap ikan Taiwan pada September 2013 yang terdampar di Hobyo, Somalia, setelah bajak laut mendapatkan uang tebusan dan melepaskan awak kapal. THE ASSOCIATED PRESS

Angkatan laut terpisah seperti dari Tiongkok, India, dan Jepang menjadi bagian dari prakarsa ini pada tahun 2012, ketika pertama kali dilaksanakan. Mereka mengoordinasikan pengawalan kapal dagang mereka yang melakukan konvoi melalui Koridor Transit yang Diakui secara internasional, dengan satu negara menjadi “negara rujukan” untuk jangka waktu tiga bulan secara bergantian. Pada bulan Juni 2012, Korea Selatan bergabung dengan prakarsa tersebut.

SHADE tidak dirancang untuk mengoordinasikan setiap operasi angkatan laut atau militer; sebaliknya, SHADE mengadakan pertemuan yang diselenggarakan di Bahrain dan dihadiri oleh perwakilan militer dan sipil dari 33 negara, 14 organisasi internasional, kelompok industri maritim, dan beberapa pemerintah. Pertemuan tersebut diketuai bersama secara bergantian oleh tiga kelompok utama: Pasukan Maritim Gabungan, NATO, dan Angkatan Laut Uni Eropa (EU NAVFOR). Idenya adalah untuk membagikan informasi dan intelijen serta praktik terbaik dalam menghadapi momok pembajakan.

Dua jenis intelijen telah dibagikan pada pertemuan ini: data dan informasi jangka panjang strategis dan taktis. Akan tetapi, intelijen taktis segera dibagikan di antara kapal pada jaringan komunikasi yang aman seperti platform Mercury untuk memberikan bantuan pengamanan konvoi.

Dijuluki sebagai Facebook antibajak laut, Mercury menyediakan fasilitas obrolan serta informasi terbaru tentang operasional sehari-hari. Jaringan ini mengarahkan pada pembentukan Kelompok Kerja Koordinasi Konvoi Pengawalan terutama untuk mengadakan pertemuan rutin dan berkomunikasi mengenai Mercury jika diperlukan.

Selain berbagi informasi, SHADE juga telah memberikan dukungan kepada pelaksanaan versi keempat Praktik Manajemen Terbaik (BMP4) industri perkapalan untuk Perlindungan terhadap Pembajakan yang Berbasis di Somalia, yang juga didukung oleh Angkatan Laut Uni Eropa.

PERSEPSI INDIA

Sejak bergabung dengan prakarsa tersebut, Angkatan Laut India berpartisipasi dalam pertemuan SHADE meskipun adanya keraguan dari bagian-bagian tertentu di pemerintah India. Bagian-bagian itu memiliki hasrat besar untuk memperluas perjuangan memerangi pembajakan, dan delegasi India juga menghadiri pertemuan kelompok kontak Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembajakan di New York. Ini tentu saja merupakan tujuan yang lebih disukai untuk delegasi tersebut.

Akan tetapi, untuk kapal perang angkatan laut India di wilayah tersebut, SHADE memberikan kesempatan menyerap informasi untuk patroli pembajakan mereka, dan partisipasi aktif dari delegasi merupakan hal yang umum terjadi. Dalam kebanyakan kasus, arus masuknya informasi jauh lebih banyak daripada arus keluar, mengingat berbagai masukan yang tersedia untuk prakarsa tersebut.

Arti penting SHADE meningkat baru-baru ini ketika ditugaskan untuk memberikan pendapat ahli tentang kelayakan mengurangi daerah berisiko tinggi (high-risk area – HRA) untuk pembajakan sebagaimana yang dinyatakan dalam dokumen BMP4.

APDF_V41N1_iNDO_graph5

Jumlah serangan pembajakan telah menurun drastis di wilayah tersebut, namun karena dinyatakan sebagai HRA, kapal dagang yang melintasi daerah tersebut terus membayar premi asuransi yang lebih tinggi. Hal ini telah menyebabkan permintaan untuk penurunan drastis dan penilaian kembali penandaan HRA.

Selagi muncul perdebatan tentang kesesuaian penggunaan SHADE untuk latihan seperti itu, arti penting prakarsa tersebut telah meningkat dengan pesat dari perspektif pemerintah India. Ketika menunggu laporan prakarsa tersebut mengenai isu HRA yang sensitif, jelas bahwa SHADE memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan dorongan ekonomi perkapalan komersial — sebuah aspek yang mungkin jauh melampaui niat utama pembentukannya.

KESENJANGAN YANG TIDAK DAPAT DIPISAHKAN

Selagi prakarsa pertukaran informasi/intelijen merupakan alat bantu penting dalam menghadapi kejahatan transnasional seperti pembajakan, semua upaya semacam itu pada dasarnya dibatasi oleh kesenjangan sistemik tertentu.

Kepercayaan yang mendasar adalah landasan setiap kerja sama atau pertukaran informasi, tetapi pertukaran tersebut tidak dapat berlangsung dengan lancar di kawasan Asia Tenggara ketika kepercayaan timbal balik berada pada tingkat yang rendah dan kebijakan “perlu berbagi” universal sedikit sekali diikuti oleh sebagian besar angkatan laut.

Semua angkatan laut yang beroperasi di Teluk Aden memiliki aturan keterlibatan sendiri yang mencerminkan prioritas nasional dan sebagian besar bersifat rahasia. Hal ini menyebabkan hambatan pada pertukaran informasi dan kemampuan untuk bertindak secara harmonis dengan intelijen yang disediakan.

Kebanyakan angkatan laut tidak suka melihat ambisi pribadi di antara kapten kapal perang muda “yang akan datang” pada saat melakukan patroli sebagai faktor dalam berbagi informasi. Mereka gagal untuk menyadari bahwa banyak kapten sering kali akan lebih memilih untuk melakukan operasi sendirian terhadap bajak laut (kecuali jika bertindak dalam formasi di bawah atasan yang hadir di atas kapal), dengan demikian akan membawa kejayaan pribadi daripada memberikan informasi kepada angkatan laut asing lainnya untuk bertindak.

Penentuan waktu juga penting dalam pertukaran intelijen taktis. Informasi tersebut tergantung waktu, dan nilainya sepenuhnya berdasarkan waktu. Selagi intelijen strategis memiliki masa pakai yang lebih panjang, keterlambatan dalam berbagi intelijen taktis mungkin akan membuat intelijen itu tidak berguna.

Selain itu, angkatan laut memiliki etos operasi dan metodologi kerja tertentu yang unik untuk pasukan itu. Latihan kombinasi atau gabungan yang sering dilakukan dapat menjembatani kesenjangan ini, tetapi tidak mungkin menghilangkan kesenjangan ini dengan tuntas. Oleh karena itu, mencapai tingkat interoperabilitas antar koalisi dan antar kapal pada patroli independen tergantung pada berbagai macam variabel, seperti tingkat profesionalisme yang ditampilkan dan interoperabilitas yang dicapai.

Mengingat kesenjangan yang melekat ini dalam prakarsa tersebut, perlu melihat kelayakan penerapan SHADE di daerah lain di Asia seperti Asia Tenggara.

PENERAPAN DI ASIA TENGGARA

Meningkatnya jumlah insiden pembajakan di Asia Tenggara tidak diragukan lagi menciptakan kebutuhan mendesak untuk mekanisme berbagi informasi formal, seperti SHADE. Akan tetapi, kawasan ini dipenuhi oleh negara pantai yang memiliki rasa tanggung jawab kedaulatan yang kuat dan merupakan lokasi tempat beberapa perairan yang paling diperebutkan di dunia. Itulah kemungkinan alasan mengapa program seperti Patroli Terkoordinasi Selat Malaka oleh Malaysia, Singapura, dan Indonesia dan berbagai tahapan patroli udara Mata di Langit mengalami masalah serius pada tahun-tahun awalnya terlepas dari ketersediaan operasional. Masalah-masalah ini kemudian berhasil diatasi.

Mengingat kemungkinan rintangan yang dapat dihadapi oleh prakarsa tersebut di kawasan ini, penting untuk memeriksa isu-isu yang masih perlu diatasi.

a) Persaingan regional antar negara sering kali mengikis kepercayaan antar negara-negara pantai. Misalnya, Malaysia dan Indonesia masih berselisih meskipun memiliki Perjanjian Pencegahan Insiden di Laut yang berlaku di antara kedua angkatan laut. Dengan demikian, dengan pasang surutnya kepercayaan timbal balik walaupun melaksanakan patroli di Selat Malaka, pertukaran intelijen aktif dapat terbukti kadang-kadang sulit untuk dilakukan.

b) Semua negara pantai memiliki kemampuan maritim yang jauh berbeda, yang kemungkinan akan menghasilkan gesekan antar angkatan laut ketika mereka beroperasi dalam jarak dekat dan menindaklanjuti intelijen yang tersedia.

c) Prioritas geostrategi nasional yang berbeda secara alami mengambil proporsi yang signifikan dalam setiap operasi bersama di laut. Ini akan memberikan dampak pada pertukaran informasi dan intelijen. Sangat penting untuk mengembangkan matriks umum dan menemukan kepentingan bersama guna membantu pertukaran informasi.

d) Faktor utama lainnya dalam pertukaran intelijen adalah sikap terhadap Tiongkok dan masalah Laut Cina Selatan. Pendekatan berbeda yang diambil masing-masing negara dapat memengaruhi pertukaran informasi.

Selagi rintangan ini mungkin akan dihadapi oleh setiap prakarsa baru yang dijalankan dengan niat baik di wilayah tersebut, rintangan lainnya dapat mempengaruhi operasinya:

1.  Wilayah ini sudah memiliki Pusat Peleburan Informasi yang beroperasi dengan sukses dari Singapura sejak April 2009. Piagam prakarsa baru ini akan berjalan dengan baik guna mencegah duplikasi tugas.

2.  Sebagai bagian dari langkah-langkah anti-pembajakan di wilayah tersebut, Perjanjian Kerja Sama Regional tentang Pemberantasan Pembajakan dan Perampokan Bersenjata terhadap Kapal di Asia (ReCAAP) telah sangat aktif. Keberhasilannya telah mendorong pertumbuhan perluasan ReCAAP, yang kemungkinan akan memiliki jangkauan geografis yang lebih luas dan lebih banyak anggota. Prakarsa baru ini seharusnya tidak menduplikasi tugas sistem yang ada dan seharusnya membantu langkah-langkah anti-pembajakan.

3.  Arsitektur pertukaran informasi formal Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) juga dapat berfungsi di bawah naungan Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN (ASEAN Defense Ministers Meeting – ADMM) saat ini, yang merupakan mekanisme konsultatif dan kerja sama pertahanan tertinggi di ASEAN. Pertukaran informasi ini juga bisa dilaksanakan untuk ADMM plus yang lebih besar, yang merupakan platform untuk ASEAN dan delapan mitra dialognya untuk memperkuat kerja sama keamanan dan pertahanan untuk perdamaian, stabilitas, dan pembangunan di wilayah tersebut.

KESIMPULAN 

Kerja sama antar pasukan maritim, bersama dengan pertukaran aktif informasi dan intelijen, merupakan senjata ampuh untuk melawan munculnya kejahatan maritim transnasional, termasuk terorisme, migrasi ilegal, perdagangan narkoba/senjata, dan pembajakan. SHADE telah sangat sukses di Teluk Aden dalam memerangi pembajakan.

Mengingat lonjakan kejahatan maritim di Asia Tenggara, upaya tersebut tidak hanya akan meningkatkan kesadaran domain maritim tetapi juga membantu menstabilkan wilayah yang bergolak ini dan berfungsi sebagai langkah pengembangan kepercayaan praktis. Prakarsa baru tersebut dapat membantu mengatasi berbagai kesenjangan dan terbukti bermanfaat untuk kebaikan bersama sambil membantu menjaga ketertiban di laut.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button