Cerita populer

Media sosial belum mengubah pola dasar perekrutan ekstremis Indonesia

Staf FORUM

Penggunaan media sosial di Indonesia belum meningkatkan secara signifikan perekrutan atau radikalisasi individu oleh Negara Islam Suriah dan Levant (ISIL), demikian menurut penelitian yang dilakukan oleh Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC), yang didirikan pada tahun 2013 di Jakarta.

Meskipun propaganda ISIL telah membujuk beberapa warga Indonesia meninggalkan tanah air untuk membantu menciptakan “khalifah” di Suriah dan Irak, laporan itu menemukan bahwa angkanya belum meningkat secara dramatis. Rasio pejuang asing per juta penduduk di Indonesia masih “jauh di bawah” rasio Belgia, Denmark, Prancis atau Britania Raya per 15 Oktober 2015, demikian menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Indonesia. BNPT memperkirakan bahwa sebanyak 800 warga Indonesia telah bergabung dengan ISIL tetapi hanya 284 orang yang telah diidentifikasi berdasarkan namanya, dan jumlah itu mencakup perempuan dan anak-anak.

Sebaliknya, “interaksi tatap muka secara langsung masih sangat penting” untuk perekrutan, demikian menurut laporan IPAC, “Aktivisme Online dan Penggunaan Media Sosial di Kalangan Ekstremis Indonesia,” yang diterbitkan pada 30 Oktober 2015. Akan tetapi, pesan Internet dan komunikasi ponsel dapat memperkuat keterlibatan pribadi, demikian kata laporan itu.

Penelitian ini juga menemukan beberapa tren baru. ISIL menarik perhatian perempuan dan keluarga, tidak seperti generasi pejuang jihad Islam sebelumnya yang dilatih di perbatasan Afganistan dan Pakistan pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an. Selain itu, keluarga yang meninggalkan Indonesia untuk bergabung dengan ISIL tidak memiliki rencana untuk kembali dan mereka biasanya menjual barang-barang mereka untuk membayar biaya perjalanan, demikian ungkap laporan itu.
Pesan ISIL, yang disebarkan oleh propagandis individu, juga telah menjangkau sejumlah besar orang daripada kampanye perekrutan ekstremis sebelumnya, demikian yang ditemukan oleh penelitian itu. “Perbedaan yang telah dibuat oleh media sosial adalah pada kemampuannya untuk mengubah siapa pun yang memiliki akun Twitter menjadi calon propagandis, yang berarti bahwa pesan ISIS dapat dimulai dari teman dan keluarga yang terhubung ke jaringan online tapi dengan cepat menjangkau masyarakat yang lebih luas,” kata laporan itu.

Media sosial dapat memberikan dampak yang lebih luas di negara-negara seperti Malaysia tempat “pemantauan polisi terhadap terduga ekstremis begitu ketatnya sehingga satu-satunya cara yang relatif ‘aman’ untuk berinteraksi adalah secara online — dan kemudian hanya dengan beberapa bentuk enkripsi,” kata laporan itu. Akan tetapi, propaganda tersebut dapat mendorong pendukung pasif menjadi anggota aktif, demikian menurut peneliti Timur Tengah Charlie Winter yang bekerja di Quilliam Foundation, kelompok cendekiawan kontrateroris yang berbasis di London.

“Memahami bagaimana propaganda ISIS memengaruhi masyarakat Indonesia merupakan prasyarat penting untuk upaya pencegahan yang efektif,” kata laporan itu, yang menawarkan solusi untuk melawan pesan online di Indonesia.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button