Asia Selatan seharusnya memanfaatkan urbanisasi, demikian ungkap laporan Bank Dunia

Staf FORUM
Asia Selatan bisa berbuat lebih banyak untuk meningkatkan keberhasilan keuangan dan kualitas hidup di kota-kota, demikian menurut laporan terbaru Bank Dunia. Negara-negara di wilayah ini tidak menggunakan dengan sepenuhnya potensi urbanisasi “untuk mengubah ekonomi mereka agar bergabung dengan jajaran negara-negara yang kaya akan kemakmuran dan kelayakan huni,” ungkap laporan tahun 2015.
Meskipun daerah perkotaan menawarkan kesempatan besar bagi mereka yang mencari pekerjaan, pendidikan, dan kualitas hidup yang lebih baik, urbanisasi negara-negara Asia Selatan “telah berantakan dan tersembunyi,” kata laporan itu. Ini adalah “gejala kegagalan untuk mengatasi dengan tepat kendala kemacetan yang timbul dari tekanan penduduk perkotaan,” menurut laporan tersebut: “Memanfaatkan Urbanisasi di Asia Selatan: Mengelola Transformasi Tata Ruang untuk Kemakmuran dan Kelayakan Huni.” Pertumbuhan tersebut berantakan dalam hal “menyebarluasnya prevalensi daerah kumuh” dan tersembunyi dalam statistik nasional yang biasanya tidak diperhitungkan sebagai bagian dari penduduk yang tinggal di daerah-daerah dengan karakteristik perkotaan, demikian kata laporan itu.
Sekitar 30 persen populasi Asia Selatan yang jumlahnya 1,5 miliar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, demikian tulis laporan itu. Akan tetapi, luas kota-kotanya telah meningkat dengan kecepatan kira-kira dua kali lebih cepat ketika jumlah populasinya meningkat. Ini berarti kepadatan penduduk rata-rata di kota-kota menurun dan memberikan kontribusi terhadap terpencarnya pembangunan perkotaan, demikian ungkap laporan itu.
Urbanisasi telah meningkatkan produk domestik bruto (PDB) per kapita Asia Selatan dan mengangkat banyak orang keluar dari kemiskinan. Kota-kota di kawasan ini menambah populasi sebesar 130 juta orang, lebih dari jumlah penduduk Jepang, antara tahun 2000 dan 2009, demikian kata studi tersebut. Selama kira-kira periode yang sama, rata-rata PDB per kapita telah meningkat hampir 56 persen dari tahun 2000 hingga 2012, dari 35,44 juta rupiah (2.560 dolar A.S.) menjadi 55,38 juta rupiah (4.000 dolar A.S.). Kemiskinan absolut menurun dari 1 dari 2 orang pada tahun 1999 menjadi 1 dari 3 orang pada tahun 2010 yang hidup dengan pendapatan kurang dari 17.300 rupiah (1,25 dolar A.S.) per hari, demikian yang ditemukan oleh studi ini.
Para ahli memperkirakan bahwa penduduk perkotaan di Asia Selatan bisa tumbuh lagi menjadi 260 juta orang pada tahun 2030. “Urbanisasi dapat menyebabkan pertumbuhan yang berkelanjutan dengan meningkatkan produktivitas, yang memungkinkan inovasi dan ide-ide baru muncul,” kata Sri Mulyani Indrawati, direktur pelaksana dan kepala pejabat operasi Bank Dunia, pada saat peluncuran laporan tersebut pada September 2015. Akan tetapi, “negara-negara itu harus berhasil mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh urbanisasi. Tumbuhnya populasi perkotaan memberikan tekanan pada infrastruktur kota ini; mereka meningkatkan permintaan untuk layanan dasar, lahan dan perumahan, dan mereka menambahkan stres terhadap lingkungan.”
Pembuat kebijakan di Asia Selatan harus melaksanakan reformasi yang sulit dan sesuai untuk mengubah jalur pembangunan, demikian kata laporan itu untuk “membuat kota-kota di wilayah ini menjadi makmur dan layak huni.”
Aglomerasi berbagai kota di kawasan itu atau daerah urbanisasi berkelanjutan menawarkan kesempatan untuk meningkatkan aglomerasi ekonomi, yang dapat ditingkatkan dengan koordinasi yang lebih baik di antara entitas pemerintah daerah, demikian kata laporan itu. “Kebijakan juga diperlukan untuk meningkatkan cara kota-kota itu terhubung dan direncanakan, pengerjaan lahan dan pasar perumahan, dan ketahanan kota-kota itu terhadap bencana alam dan dampak perubahan iklim,” kata laporan itu.