Tajuk Utama

Klaim Laut dan Pergeseran Kekuatan

Perubahan hubungan dan tindakan tidak konsisten Tiongkok mengungkapkan motif yang patut dipertanyakan

Tiongkok telah melakukan klaim secara agresif untuk menjejakkan kakinya di Laut Cina Selatan sejak Agustus 2014. Citra satelit menunjukkan bahwa Tiongkok telah membangun pulau-pulau baru di atas beberapa terumbu karang di Kepulauan Spratly, termasuk Fiery Cross Reef, Gaven Reefs, Johnson South Reef, dan Hughes Reef, demikian menurut laporan IHS Jane’s Defence Weekly. 

Di Fiery Cross Reef, proyek yang paling ekstensif, Tiongkok mulai membangun sebuah pulau dengan panjang 3.000 meter dan lebar sekitar 250 meter, cukup besar untuk menopang landasan udara, seperti yang dilaporkan Jane’s pada November 2014. Karang tersebut sebelumnya terendam air.

Reuters melaporkan bahwa citra satelit pada Maret 2015 juga memperlihatkan bahwa Tiongkok telah mulai membangun landasan udara pertamanya di karang tersebut. Citra satelit yang diberikan kepada IHS Jane’s Defense Weekly oleh Airbus Defence and Space  menunjukkan bagian beraspal dari landasan pacu berukuran 505 meter kali 53 meter. Selain itu, pemerintah Tiongkok memulai reklamasi daerah di Subu Reef di Spratly yang juga bisa mengakomodasi landasan udara, kata Reuters.

MapIndo

Meskipun negara-negara lain, termasuk Malaysia dan Vietnam, telah melakukan pembangunan di atas atau memodifikasi daratan yang sama selama bertahun-tahun, aktivitas Tiongkok telah mengubah ukuran dan struktur fitur fisik tanah secara substansial, demikian menurut Mira Rapp-Hooper, direktur Asia Maritime Transparency Initiative dan anggota Program Asia di Center for Strategic and International Studies. “Hingga pembangunan di Fiery Cross, Tiongkok adalah satu-satunya pengklaim utama Spratly yang tidak memiliki landasan udara. Akan tetapi, apa yang membuat aktivitas Tiongkok berbeda adalah bahwa Beijing telah mengubah ukuran dan struktur fitur fisik tanah secara dramatis, sementara pengklaim lain telah membangun secara berangsur-angsur atau memodifikasi daratan yang ada.”

Upaya Tiongkok “merupakan kampanye metodis yang direncanakan secara matang untuk menciptakan rangkaian benteng berkemampuan udara dan laut di sepanjang bagian tengah rangkaian Kepulauan Spratly,” kata Editor Asia Pasifik  Jane’s, James Hardy, kepada surat kabar The Wall Street Journal.

Ekspansionisme tegas ini tampaknya menjadi contoh terbaru dari ketidaksesuaian nyata antara ucapan dan tindakan Tiongkok, ketika negara ini mengintensifkan upayanya untuk memperkuat posisi strategisnya sebagai penyedia keamanan di kawasan dan memperkuat posisinya di berbagai wilayah yang disengketakan. Beberapa analis mengkhawatirkan bahwa inkonsistensi tersebut dapat menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian di kawasan Indo-Asia-Pasifik.

Selama tahun 2014, misalnya, Tiongkok menandatangani perjanjian dadakan dengan Bangladesh untuk mendorong hubungan ekonomi, strategis, dan bidang lainnya serta melakukan hal yang sama dengan negara-negara lain dan anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Meskipun sebagian besar negara — termasuk Amerika Serikat, India, Korea Selatan, Vietnam, Australia, dan Jepang — menyambut dengan baik peningkatan perdagangan bilateral dengan Tiongkok, beberapa negara mulai mempertanyakan beberapa niat dan inkonsistensi Tiongkok dalam upayanya untuk menyebarkan pengaruhnya dengan cepat. Selain kegiatannya di Spratly, Tiongkok tampaknya mendorong hubungan intelijen dan militer dengan membiayai dan mendukung jaringan pelabuhan di Pakistan, Sri Lanka, Maladewa, Bangladesh, dan Myanmar. Tiongkok juga membangun jalur kereta api melalui Tibet di dekat Sikkim yang tampaknya untuk menciptakan akses militer logistik ke perbatasan India, demikian menurut surat kabar The New Indian Express. Selain itu, Tiongkok tampaknya telah memprovokasi negara-negara yang sedang memiliki sengketa wilayah dengannya. Pada awal Mei 2014, misalnya, Tiongkok mengerahkan anjungan minyak di zona ekonomi Vietnam di dekat kepulauan yang diklaim oleh kedua negara dan kemudian membongkarnya pada pertengahan Juli tahun itu.

Marinir Filipina berpindah dari perahu patroli ke perahu karet setelah menjalankan misi di Second Thomas Shoal yang disengketakan, bagian dari Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Mereka kembali ke kamp pasukan angkatan laut di provinsi Palawan, Filipina barat daya, pada Maret 2014. REUTERS
Marinir Filipina berpindah dari perahu patroli ke perahu karet setelah menjalankan misi di Second Thomas Shoal yang disengketakan, bagian dari Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Mereka kembali ke kamp pasukan angkatan laut di provinsi Palawan, Filipina barat daya, pada Maret 2014. REUTERS

Di saat yang sama, Tiongkok telah menyatakan secara terbuka bahwa negara itu menginginkan “gaya hubungan kekuatan besar baru” dengan A.S. dan kekuatan besar lainnya. Tiongkok mengatakan bahwa negara itu mempromosikan batas luar yang damai dan terintegrasi. Tiongkok mengatakan bahwa negara itu berusaha untuk meningkatkan stabilitas, perdamaian, dan kemakmuran ketika negara itu semakin berkuasa.

Beberapa tindakan kebijakan luar negeri Tiongkok merusak tujuan tersebut sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap niat Tiongkok dan ketakutan akan manipulasi Tiongkok di antara negara-negara tetangganya. Reuters melaporkan pada April 2015, Presiden Barack Obama mengatakan bahwa Tiongkok menggunakan “ukuran dan ototnya dengan sepenuhnya” untuk mendorong negara-negara Asia lain yang lebih kecil di sekitarnya dan memperingatkan tentang pengerahan kekuatan militer ke pulau-pulau yang disengketakan.

Cui Tiankai, duta besar Tiongkok untuk A.S., mengklaim bahwa merupakan hal yang “alami” bagi pembangunan itu untuk mencakup fasilitas pertahanan militer, demikian menurut Reuters. “Seharusnya tidak ada ilusi bahwa siapa pun bisa mengenakan status quo unilateral atas Tiongkok” atau “berulang kali melanggar kedaulatan Tiongkok tanpa konsekuensi.”

Meskipun terjadi inkonsistensi, negara-negara regional tidak memiliki banyak pilihan selain mencari jalan tengah di antara kepentingan A.S. dan Tiongkok. Memang, kawasan ini tampaknya sudah terlibat dalam dilema keamanan. Tiongkok harus langsung mengatasi inkonsistensi antara retorika dan tindakannya, memperjelas niatnya, dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kekhawatiran negara-negara di kawasan. Kegagalan untuk melakukannya tidak hanya meningkatkan ketidakstabilan regional tetapi juga merusak peluang kerja sama politik dan ekonomi.

Jenis hubungan baru di antara kekuatan besar dunia (NTGPR) yang dipromosikan oleh Presiden Xi Jinping menawarkan kerangka kerja untuk memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan Tiongkok tidak menimbulkan gesekan yang tidak semestinya dengan negara-negara kuat lain di Indo Asia Pasifik. Meskipun kerangka kerja itu berlaku untuk hubungan Tiongkok dengan semua negara kuat (termasuk Jepang, Rusia, dan India), pemerintah Tiongkok sangat memusatkan NTGPR pada hubungan A.S dengan Tiongkok.

Tiongkok menawarkan tiga cara utama bagi NTGPR untuk mengurangi gesekan A.S.-Tiongkok, demikian menurut laporan National Bureau of Asian Research pada tahun 2013. Pertama, NTGPR berusaha untuk menghindari konflik dengan menekankan dialog dan mengomunikasikan tujuan strategis masing-masing pihak dengan jelas. Kedua, NTGPR menunjukkan pentingnya rasa saling menghormati terhadap kekhawatiran dan kepentingan nasional masing-masing pihak. Terakhir, masing-masing pihak harus mencari bidang kepentingan bersama yang dapat dicapai lewat kerja sama. Ketiganya merupakan sasaran yang patut dipuji, tetapi Tiongkok terus-menerus melemahkan sasaran ini melalui tindakan-tindakannya.

Seorang Kelasi Vietnam berjaga di Pulau Thuyen Chai, kepulauan Spratly REUTERS
Seorang Kelasi Vietnam berjaga di Pulau Thuyen Chai, kepulauan Spratly REUTERS

Tiongkok acap kali meremehkan kepentingan dan kekhawatiran A.S. di Indo Asia Pasifik. Hal ini terutama berlaku sehubungan dengan hukum internasional dan penyelesaian sengketa teritorial. Menurut laporan Departemen Luar Negeri A.S. tahun 2014, klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok atas wilayah di Laut Cina Selatan tidak hanya bersifat ambigu tetapi tampaknya juga tidak sesuai dengan aturan Konvensi P.B.B. tentang Hukum Laut. Tiongkok tidak menjelaskan secara tepat apa yang diklaimnya: tanah, air, kedaulatan atau zona ekonomi eksklusif, yang dibatasi pada koordinat tertentu. Meskipun sengketa teritorial Tiongkok tidak langsung terjadi dengan A.S., A.S. selalu memperhatikan hukum internasional dengan cermat, dan menjunjung tinggi hukum itu tetap menjadi kepentingan nasional Amerika. Ketika A.S. mengungkapkan keprihatinan atas tindakan Tiongkok dalam hal ini, Tiongkok memperingatkan A.S. untuk tidak terlibat dalam sengketa teritorial di Laut Cina Selatan. “Amerika Serikat, Jepang, dan Australia merupakan sekutu, tapi ini seharusnya tidak menjadi alasan untuk campur tangan dalam sengketa teritorial, karena itu hanya akan membuat masalah tersebut menjadi lebih rumit dan merugikan kepentingan semua pihak,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada situs web kementerian pada Oktober 2013. “Kami mendesak negara-negara terkait untuk menghormati fakta, membedakan mana yang benar dan mana yang salah, berhati-hati, dan menghentikan semua kata-kata dan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi penanganan masalah dan merongrong stabilitas regional.”

Pernyataan ini muncul meskipun Xi menunjukkan bahwa A.S. adalah negara Pasifik dengan kepentingan keamanan yang nyata di Asia. “Tiongkok dan A.S. harus terus meningkatkan dialog dan koordinasi terkait urusan Asia Pasifik, dan menghormati serta mengakomodasi kepentingan dan keprihatinan satu sama lain di kawasan tersebut, dan mengembangkan koordinasi inklusif,” kata Xi pada saat konferensi pers bersama dengan Presiden A.S. Barack Obama pada November 2014.

Selain itu, beberapa sengketa teritorial Tiongkok melibatkan negara-negara yang menandatangani perjanjian sebagai sekutu A.S. yaitu Jepang dan Filipina. Meskipun A.S. tidak mengambil posisi resmi mengenai negara mana yang memiliki wilayah apa, cara sengketa ini diselesaikan menjadi perhatian strategis yang mendalam bagi A.S.

Militer Tiongkok tampaknya sedang menguji banyak negara. Tiongkok memprovokasi Jepang di Laut Cina Timur pada tahun 2013 dan 2014 dengan meningkatkan patroli Penjaga Pantainya yang semakin besar jumlahnya di sekitar gugusan pulau yang diperebutkan, yang dikenal di Jepang sebagai Senkaku dan di Tiongkok sebagai Diaoyu. Pada tahun 2012, Tiongkok merebut Scarborough Shoal dari Filipina dan pada Mei 2014 mencegat kapal-kapal Filipina yang mendekati Second Thomas Shoal.

Tindakan yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap Jepang dan Filipina sering kali muncul dalam bentuk pemaksaan dan tekanan militer terselubung. Menurut laporan di surat kabar The New York Times, Xi dan Perdana Menteri Shinzo Abe dari Jepang bertemu di Beijing pada November 2014 untuk membahas berbagai topik yang salah satunya adalah mengidentifikasi perbedaan posisi mereka di Laut Cina Timur. Keamanan sekutu-sekutunya tetap menjadi kepentingan nasional utama A.S., dan setiap potensi ancaman terhadap negara-negara yang menandatangani perjanjian sebagai sekutu A.S. diperlakukan dengan sangat cermat.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, kanan, berjalan melewati Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam upacara di forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Beijing pada November 2014. REUTERS
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, kanan, berjalan melewati Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam upacara di forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Beijing pada November 2014. REUTERS

Selain NTGPR, di forum kerja Partai Komunis Tiongkok pada Oktober 2013, Xi mengatakan bahwa salah satu sasaran kebijakan luar negeri Tiongkok adalah komunitas negara-negara yang damai dan terpadu di sepanjang pinggiran geografisnya. Laporan resmi Dewan Negara Tiongkok tahun 2011 “Pembangunan Damai Tiongkok” juga menyatakan bahwa Tiongkok berupaya untuk meningkatkan stabilitas, perdamaian, dan kemakmuran di kawasan itu. Akan tetapi, tindakan Tiongkok sekali lagi tampaknya melemahkan sasaran yang disebutkan ini, terutama di Laut Cina Selatan.

Tindakan tersebut tampaknya kontras dengan kebijakan Tiongkok sendiri untuk membangun kawasan yang stabil dan terintegrasi di sekitar batas luarnya. Kebijakan Jalur Sutera Baru dan Jalur Sutera Maritim Baru Tiongkok berusaha untuk lebih meningkatkan dan memperluas lingkup pengaruh Tiongkok dengan menciptakan lingkungan politik dan ekonomi yang stabil, terpadu, dan sejahtera yang kondusif bagi kerangka NTGPR yang diungkapkan Tiongkok, demikian menurut analisis yang diterbitkan dalam jurnal Hoover Institution Chinese Leadership Monitor oleh pakar tentang Tiongkok dan Asia Timur, Michael Swaine, peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace. Asia Tenggara merupakan bagian dari batas luar itu dan menyertakan negara-negara Asia Tenggara ke dalam kebijakan ini sangatlah penting bagi keberhasilan kebijakan tersebut. Akan tetapi, beberapa negara Asia Tenggara mengklaim daerah yang sama di Laut Cina Selatan tempat Tiongkok membangun pangkalan militernya. Membangun pulau buatan dan pangkalan militer di wilayah sengketa tentunya dapat meningkatkan ketegangan politik dan ketidakstabilan di kawasan itu, menurut komunike yang dikeluarkan oleh Filipina dan Vietnam pada tanggal 30 Januari 2015. Fokus komunike tersebut adalah untuk mengungkapkan keprihatinan yang mendalam “atas kegiatan reklamasi lahan besar-besaran yang sedang berlangsung yang menimbulkan ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas di kawasan serta kehidupan banyak orang di berbagai negara pesisir,” ungkap majalah The Diplomat pada Maret 2015.

Seperti yang mungkin ditemukan oleh Tiongkok, tidak ada insentif ekonomi yang akan dapat meyakinkan masyarakat Indo Asia Pasifik untuk mengabaikan masalah ini selagi Tiongkok membangun pangkalan Angkatan Laut dan Angkatan Udara di wilayah yang mereka klaim. Negara-negara di Laut Cina Selatan mungkin mulai menolak rencana ekonomi regional Tiongkok sebelum Tiongkok menanggapi kekhawatiran politik mereka. Seperti yang ditunjukkan oleh perjanjian antara Vietnam dan Filipina, tidak diragukan lagi bahwa negara-negara ini memandang pembangunan pangkalan militer di wilayah sengketa sebagai suatu pemaksaan. Jika Tiongkok tidak mengubah tindakannya, tak lama lagi negara-negara ini akan menolak program seperti Jalur Sutera Baru dan Jalur Sutera Maritim Baru.

JALAN UNTUK MENCAPAI STABILITAS

Jadi apa yang bisa dilakukan Tiongkok untuk mengatasi keprihatinan negara-negara tetangganya di Indo-Asia-Pasifik? Langkah pertama bisa mengikuti poin No. 1 dari NTGPR: Menekankan dialog dan mengomunikasikan tujuan strategis dengan jelas. Jika Tiongkok serius dengan upaya untuk mencapai tujuan yang dinyatakannya yaitu mempromosikan stabilitas, kemakmuran dan kerja sama regional, maka menguraikan pandangan dan tujuan Tiongkok secara diplomatis seharusnya tidak menjadi masalah. Dengan menguraikan keinginannya secara jelas dan tepat, terutama mengenai klaim teritorial, Tiongkok dapat mengurangi kecemasan regional sehubungan dengan tindakannya.

Pandangan udara dari pulau-pulau yang disengketakan di Laut Cina Timur, yang dikenal sebagai Senkaku di Jepang dan Diaoyu di Tiongkok REUTERS
Pandangan udara dari pulau-pulau yang disengketakan di Laut Cina Timur, yang dikenal sebagai Senkaku di Jepang dan Diaoyu di Tiongkok REUTERS

Selanjutnya, Tiongkok bisa menunjukkan bagaimana kebijakannya mendukung stabilitas, kemakmuran, dan kerja sama regional. Jika Tiongkok memiliki rencana yang jelas tentang bagaimana tindakannya di Laut Cina Selatan dan Timur mempromosikan sasaran yang dinyatakannya, maka negara ini seharusnya menyampaikan landasan pemikiran itu kepada negara-negara lain di Indo Asia Pasifik. Meskipun negara-negara tetangga Tiongkok tidak setuju dengan penilaian Tiongkok, membahas topik tersebut secara langsung akan memungkinkan semua pihak untuk meningkatkan pemahaman bersama dan mengatasi ketidaksepakatan dengan cara yang berarti. Jika negara-negara Indo-Asia-Pasifik mempergunjingkan masalah ini satu sama lainnya, penting untuk menyadarinya dan mengambil tindakan untuk memperbaiki masalah ini secepat mungkin untuk menghindari potensi konflik.

Tiongkok juga dapat mengambil langkah-langkah yang lebih konkret untuk menunjukkan niat baik dan kemauan untuk menciptakan kestabilan kawasan. Supaya membawa manfaat, langkah-langkah ini harus berhubungan secara langsung dengan topik keprihatinan regional. Misalnya, Tiongkok seharusnya menawarkan koordinat batas yang tepat untuk sembilan garis putus-putusnya di Laut Cina Selatan dan melengkapinya dengan deskripsi yang tepat dari isi klaim itu (tanah, laut berdaulat, dan zona ekonomi eksklusif). Hal ini akan memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa lainnya untuk memahami dengan jelas apa klaim Tiongkok, sehingga membantu mengurangi ketakutan mereka akan manipulasi.

Langkah lebih ambisius lainnya adalah membekukan pembangunan instalasi militer di Laut Cina Selatan. Upaya pembangunan berkelanjutan Tiongkok merupakan beberapa pendorong utama ketidakstabilan regional. Pembekuan konstruksi untuk memungkinkan dialog akan menjadi hal yang menyejukkan. Selain itu, oleh karena sifat dari beberapa klaim yang tumpang tindih di Laut Cina Selatan, dialog diplomatik dapat dilakukan antara Tiongkok dan ASEAN. Tindakan ini dapat memberi kesempatan bagi pihak-pihak terkait untuk bertukar pandangan secara dinamis dan efektif.

MENYELARASKAN TINDAKAN DAN UCAPAN

Kesenjangan antara niat yang diungkapkan dan tindakan aktual Tiongkok menimbulkan ketidakstabilan di Indo Asia Pasifik. Tiongkok mengklaim bahwa pihaknya berupaya membentuk perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan ini. Akan tetapi, tindakan Tiongkok di ranah politik dan keamanan tampaknya merusak sasaran ini.

Mungkin Tiongkok memiliki rencana yang koheren tentang bagaimana hal yang tampak kontradiktif ini dapat diungkap secara harmonis, tapi selama Tiongkok tidak menunjukkan hal tersebut kepada kawasan ini, maka ketidakamanan dan ketidakstabilan regional akan terus tumbuh. Jika Tiongkok tidak bisa mengatasi keprihatinan politik dan keamanan negara-negara tetangganya, maka semua aspirasi ekonomi, politik, dan keamanannya akan gagal.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button